Apa pun yang ditawarkan kafir Barat untuk semua konflik di dunia Islam, sejatinya tak akan membawa kebaikan pada umat ini. Sebaliknya, makin melanggengkan cengkeraman kapitalisme global hingga umat akan makin kesulitan membebaskan diri.
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dunia saat ini sedang tertuju pada Palestina. Perang antara Hamas dan Israel yang berlangsung tiga bulan lebih telah memakan puluhan ribu korban sipil Palestina. Perang pun melebar tak hanya ke dua belah pihak, negara-negara tetangga, kawasan Laut Merah yang melibatkan beberapa negara, bahkan seluruh dunia. Iran, Lebanon, serta Yaman dengan kelompok Houthi pun ikut terlibat.
Dukungan kepada Palestina pun tak hanya logistik dan persenjataan, namun juga dukungan psikologis dari umat Islam di belahan dunia lainnya. Unjuk rasa, pemberitaan di media, hingga serangan media sosial yang masif dari warga dunia, termasuk Indonesia dan Malaysia yang terbukti memberikan kontribusi bagi pelemahan mental tentara Zionis. Sedangkan Amerika dan kroninya pun masih terus mempertahankan kesombongannya dengan mendukung penjajah Israel.
Israel pun semakin keok, persediaan pangan mulai menipis, dan mengandalkan impor dari negara-negara penyokongnya melalui jalur Terusan Suez. Hal inilah yang disasar oleh milisi Houthi dengan menghancurkan kapal-kapal pembawa pasokan pangan tersebut. Tak sedikit kapal barang Amerika direbut dan dibuat tak berkutik oleh serangan kelompok tersebut di tengah lautan. Membuat negara Paman Sam itu meradang dan menggempur kelompok tersebut, hingga menewaskan setidaknya 10 orang anggota Houthi, dan memicu unjuk rasa besar-besaran di ibukota Yaman, Sanaa. Puluhan ribu pendukung Houthi menggelar unjuk rasa di Yaman, pada Jumat, 5 Januari lalu. Mereka turun ke jalan dalam rangka memperingati 10 pejuang angkatan laut Houthi yang dibunuh oleh angkatan laut Amerika pekan lalu. CNN Indonesia, Sabtu (06/1/ 2024).
Kronologi
Menyusul agresi yang dilakukan Israel di Gaza pada Oktober 2023 lalu, pemberontak Houthi pun turut menembakkan sejumlah rudal dan drone ke Israel. Selanjutnya pada November 2023, mereka menyergap dan menyita kapal kargo milik Israel di Laut Merah dan membawanya ke lepas pantai Yaman. Meski Israel membantah bahwa kapal itu milik mereka serta tidak adanya awak kapal yang berkewarganegaraan Israel, namun menurut sebuah laporan, ada kemungkinan kapal tersebut dimiliki warga Israel.
Mengutip dari AFP, pada Minggu waktu setempat, pemberontak Houthi mulai menaiki dan menguasai kapal kargo di lepas pantai Yaman yang merupakan kapal milik Israel. Hal ini membuat Amerika memerintahkan helikopter angkatan lautnya melakukan operasi dan menembaki kelompok Houthi, mengakibatkan setidaknya 10 anggota milisi Houthi tewas. CNBC Indonesia, Senin (1/1/2024).
Amerika membentuk satuan tugas angkatan laut multinasional di perairan yang mendukung 12% perekonomian global tersebut. Pihak AS menyatakan, mereka mendapatkan panggilan darurat dari sebuah kapal kontainer, Maersk Hangzhou. Kapal dagang milik Denmark yang sempat menangguhkan pelayarannya selama 48 jam setelah mengalami dua lusin penyerangan dalam enam pekan tersebut kembali diserang sebanyak dua kali selama 24 jam oleh kelompok Houthi ketika sedang transit di Laut Merah dalam perjalanannya dari Singapura ke Terusan Suez.
Sebelumnya, perusahaan pelayaran terbesar di dunia, Mediterranean Shipping Company mengatakan, pihaknya telah mengalihkan jalur pelayaran kapal-kapalnya menjauh dari Laut Merah. Begitu pula dengan CMA CGM, perusahaan Prancis, perusahaan Jerman Hapag-Llyod, perusahaan pelayaran Denmark Maersk, serta perusahaan minyak BP.
Houthi menembaki kapal itu dengan dua rudal antikapal, namun satu berhasil ditembak jatuh oleh AS, sementara satu lagi berakhir menghantam kapal tersebut. Kemudian Houthi membalas menembaki helikopter AS, dan terjadilah saling balas tembakan. Pihak AS mengaku berhasil menenggelamkan tiga perahu kecil yang datang dalam jarak 20 meter, dan membunuh tiga awaknya. Sementara itu, Huthi Yahya Saree, juru bicara militer Houthi mengonfirmasi bahwa 10 orang anggotanya hilang atau tewas dalam serangan itu.
Pertanyaannya adalah, apakah Amerika sudah tidak tahan lagi dengan aksi pemberontak Houthi yang memutus pasokan pangan Israel? Padahal kapal perusak milik AS, USS Mason, sebelumnya telah menjadi sasaran dua rudal balistik Houthi saat menanggapi panggilan darurat dari kapal Central Park, dan lima orang yang menaiki kapal tersebut di Teluk Aden ditahan. Akan tetapi, dua hari setelah peristiwa itu tepatnya Rabu 29 November 2023, Juru Bicara Regional Departemen Luar Negeri Amerika, Samuel Warburg, segera mengeluarkan pernyataan dengan tajuk, "Washington Tidak Berniat Menjatuhkan Sanksi Baru terhadap Houthi Hanya karena Satu Alasan."
Kerusuhan di Laut Merah
Selama penyerangan Israel di Gaza, kelompok bersenjata Houthi yang bersekutu dengan Iran di Yaman terus menargetkan dan menyerang kapal-kapal yang disinyalir terkait dengan Israel yang sedang melintas di Laut Merah. Kelompok Houthi mengakui, bahwa mereka akan terus melanjutkan serangan sampai Israel menghentikan serangannya di Gaza.
Pada tanggal 19 Desember lalu, AS telah membentuk satuan tugas angkatan laut global yang terdiri dari 20 negara koalisi untuk menjaga pelayaran di perairan tersebut. Akan tetapi, dari negara-negara yang tergabung dalam sekutu itu, hanya Inggris yang menyumbangkan secara langsung kapal perangnya. Hal ini memaksa Amerika untuk bekerja sendiri dalam mengamankan jalur pelayaran penting dunia itu.
Pemberontak Houthi terlihat makin sering menggunakan rudal balistik antikapal untuk menyerang kapal-kapal yang melintas. Wakil Laksamana AS, Brad Cooper, mengatakan kepada kantor berita The Associated Press, bahwa AS menyadari bahwa serangan Houthi kemungkinan akan terus berlanjut. Sedangkan Al-Jazeera melaporkan bahwa sejauh ini AS belum mampu menghalau kelompok tersebut. Dan bentrokan terbaru ini menandakan AS mulai meningkatkan serangan yang serius dengan tidak hanya menenggelamkan kapal Houthi tetapi juga membunuh anggotanya.
Konfrontasi semacam ini tentu dapat memicu kepanikan besar pada warga Yaman yang dikhawatirkan akan menimbulkan konflik meluas ke wilayah mereka, sehingga dapat menyebabkan perang lain yang akan merusak wilayah tersebut. Mengingat kerusuhan yang terjadi di Laut Merah adalah bentuk kemarahan seluruh Timur Tengah atas kehancuran di Gaza. Berlanjutnya agresi Israel pada wilayah Palestina selama hampir tiga bulan itu telah memakan korban tewas lebih dari 21.822 warga Palestina, termasuk di dalamnya 8.800 korban anak-anak.
Profil Houthi
Houthi merupakan kelompok bersenjata bentukan Hussein Al-Houthi yang berasal dari Zaidi, sebuah kelompok minoritas muslim Syiah di Yaman yang beraliansi dengan pemerintah Syiah Iran. Kelompok ini didirikan pada tahun 1990-an untuk melawan pemerintahan korup Presiden Ali Abdullah Saleh yang merupakan antek Amerika. Mereka menyatakan sebagai bagian dari poros perlawanan bersama Hamas dan Hizbullah pimpinan Iran untuk melawan AS, Israel, dan negara-negara Barat. Inilah alasan kenapa mereka menyerang kapal-kapal yang bertujuan ke Israel di kawasan Teluk. Houthi sendiri mengaku memerangi negara-negara imperialis yang memusuhi umat Islam.
Di luar bermusuhan di dalam berpelukan, begitulah hubungan antara Amerika, Iran, dan Houthi yang sarat dengan kepentingan. Sejatinya Washington sangat tertarik untuk mendukung pemberontak Houthi secara regional melalui Teheran. Hal ini terbukti sejak pemerintahan George W. Bush pada tahun 2001, berlanjut pada pemerintahan Obama, Trump, dan hingga saat ini pada pemerintahan Biden. Penyelarasan dengan rencana Washington ini bertujuan untuk memprovokasi konflik sektarian di Timur Tengah untuk mengubah perbatasan Amerika. Oleh karena itu, tindakan pemberontak Houthi yang sebelumnya tidak membuat marah Washington, dan malah sebaliknya, mereka menjalankan skemanya, namun mengapa kali ini mereka memilih menghukum Houthi?
Arab di Ambang Perang Besar?
Setelah pecahnya perang antara Palestina dan Israel yang telah menelan korban sipil hingga puluhan ribu jiwa, ketegangan pun melebar ke wilayah Timur Tengah. Selain Hamas di Palestina, Israel harus menghadapi serangan Hizbullah dari arah Lebanon, dan milisi Houthi di wilayah selatan yaitu Yaman serta Laut Merah yang menyerang kapal-kapal yang diduga mempunyai keterkaitan dengan Zionis Israel. Kedua kelompok ini mengaku tidak akan menghentikan serangan ke Israel selama Israel tidak menghentikan agresinya atas Palestina.
Israel yang didukung sekutu setianya, Amerika Serikat, pun tidak tinggal diam, dan terus melancarkan serangan ke Lebanon yang berhasil membunuh salah satu pimpinan Hamas Saleh Al-Arouri. Di front Selatan, AS juga mengirimkan armada perangnya. Dan helikopter angkatan laut Washington yang menembaki pasukan Houthi.
Dalam sebuah serangan terbaru di Baghdad, Irak, AS juga membunuh Mushtaq Thalib Al-Saidi, seorang komandan milisi pro-Iran yaitu Harakat Al-Nujaba, yang memicu kemarahan Perdana Menteri Irak, Mohammed Shia Al-Sudani sehingga mendorong banyaknya seruan pengusiran tentara AS di Irak.
Selain itu, terjadi serangan ledakan pada Rabu di Kemran, Iran. Serangan itu terjadi di tengah-tengah peziarah yang memadati makam Jenderal Garda Revolusi Qasem Soleimani yang tewas dalam serangan AS pada 2020 lalu, yang menelan korban 103 orang tewas. Iran pun menuding AS dan Israel pelakunya, namun dibantah pihak Washington.
Marwan Bishara, seorang analis politik senior Al-Jazeera, mengatakan bahwa awan gelap konflik yang terjadi di Timur Tengah saat ini kian meningkatkan ketegangan regional dan dapat menimbulkan pecahnya perang di wilayah itu. Ia mengatakan, "Ada begitu banyak kekerasan dan ketegangan di sana. Juga ada banyak konflik serta banyaknya bagian yang ikut bergerak. Semua wilayah di kawasan ini berpotensi melakukan eskalasi lebih lanjut. Dari Laut Merah sampai perbatasan Iran-Irak, serta Yaman, Teluk."
Pentagon sendiri akan mengaktifkan Gugus Tugas 153 bersama 20 dari 39 negara sekutu Amerika di antaranya, Australia, Belgia, Brasil, Prancis, Jerman, Yunani, India, Irak, Italia, Jepang, Korea Selatan, Norwegia, Kuwait, Portugal, Qatar, Singapura, Spanyol, Thailand, Turki, dan Inggris.
Badai Inflasi
Mengingat pentingnya wilayah Timur Tengah bagi dunia internasional, tentu eskalasi ini pun membawa efek global. Untuk menghindari serangan dari kelompok Houthi, beberapa perusahaan kapal raksasa dunia seperti Maersk, Ocean Network Express (ONE), Hapag Lloyd, Mediterranean Shipping Company (MSC), juga Hyundai Merchant Marine (HMM) memilih untuk menjauh dari perairan Laut Merah dan memutar arah ke Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika. Akibatnya produk-produk musim semi dan panas akan terlambat tiba. Hal ini tentu akan menciptakan badai besar dalam perdagangan global, khususnya pada sektor logistik.
Selain itu, perjalanan yang memakan waktu lebih lama juga dapat menunda sampainya barang-barang musim semi yang biasanya bertepatan sebelum Tahun Baru Imlek pada bulan Februari, di saat pabrik-pabrik telah tutup dan karyawan berlibur, yang berdampak pada kenaikan tarif pengiriman. Hal ini mengakibatkan tarif angkutan barang dari Asia ke Eropa Utara mengalami kenaikan lebih dari dua kali lipat pada pekan ini, berada di atas US$4.000 (Rp62 juta) per unit 40 kaki. Dari Asia sampai Pantai Timur Amerika Utara naik 55% menjadi US$ 3,900 (Rp60 juta) per kontainer berukuran 40 kaki. Pantai Barat sebesar 63% menjadi lebih dari US$2.700 (Rp42 juta).
Larry Lindsey, Presiden dan CEO Lindsey Group, kepada CNBC Internasional mengatakan, "Tekanan pada rantai pasokan yang telah menyebabkan inflasi sementara di tahun 2022 ada kemungkinan akan terulang, apabila masalah di Laut Merah dan Samudera Hindia terus berlanjut tak segera dihentikan.”
Minyak Membara
Sementara itu, situasi ini turut mengerek harga minyak dunia. Kenaikan juga dicatat untuk harga minyak dunia pasca memanasnya Timur Tengah dan jalur pelayaran Laut Merah. Seperti yang diketahui Terusan Suez yang ada di jalur Laut Merah telah mengakomodasi 12% perdagangan dunia. Tercatat, di London pada Kamis sore minyak naik sekitar 1%, yang dipicu pengiriman kapal perang Iran ke Laut Merah, meski belum terlihat aktivitas militer dari mereka. Sementara di Iran sendiri, harga minyak naik 3% pasca serangan ledakan pada Rabu lalu.
Sedangkan minyak acuan Amerika, West Texas Intermediate, sempat mengalami kenaikan 3,3% menjadi US$72,70 per barel, minyak mentah Brent North Sea, naik 3,1% menjadi US$78,25 per barel pada penutupan, namun segera turun seiring pengakuan ISIS sebagai penanggung jawab ledakan tersebut.
Posisi Umat Islam
Islam adalah satu-satunya alternatif masa depan dunia. Akan tetapi, apakah Islam mempunyai peluang dalam percaturan dunia yang sedang memanas saat ini? Jawabannya tentu bergantung dengan kondisi internal umat itu sendiri. Karena sejatinya konflik utama di Timur Tengah, termasuk Yaman, berasal dari intervensi langsung kekuatan kolonial lama dan modern di wilayah tersebut sejak jatuhnya Khilafah setelah berakhirnya Perang Dunia I.
Konflik ini terus berlanjut karena tidak adanya kekuatan Islam. Kekuasaan serta wilayahnya dibagi-bagi menurut perjanjian Sykes-Picot seiring dengan berdirinya entitas Yahudi. Perang Palestina melawan Israel harusnya menjadi cambuk bagi umat Islam, bahwa Islam harus segera ditegakkan dalam sebuah institusi negara yang bernama Khilafah. Umat harus diingatkan urgensi segera bersatu di bawah komando satu kepemimpinan.
Pengaruh konflik kekuatan kolonial hanya akan hilang dari jantung negeri-negeri muslim, Timur Tengah, dan seluruh dunia dengan berdirinya Khilafah yang berdasarkan metode Kenabian. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Hudzaifah, dalam musnad Imam Ahmad No. 18406, “...Kemudian akan ada Khilafah yang berdasar metode kenabian”. Kemudian Rasulullah diam.”
Maka, apa pun yang ditawarkan kafir Barat untuk semua konflik di dunia Islam, sejatinya tak akan membawa kebaikan pada umat ini. Sebaliknya malah akan semakin melanggengkan cengkeraman kapitalisme global hingga umat akan semakin kesulitan membebaskan diri. Untuk itu sudah sangat jelas, fokus umat Islam saat ini adalah bagaimana membangkitkan kekuatan umat Islam dalam satu kepemimpinan Islam untuk membebaskan segala perbudakan dan segala pembantaian kaum kafir atas umat Islam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Bagai efek domino nggih, Mbak. Nyesek jika melihat nation state mencabik ukhuwah Islam. Perang saudara bisa makin meluaassss
Andai seluruh kekuatan kaum muslim dikomandoi d bawah arahan khilafah, pasti akan menjadi super power yg sangat dtakuti oleh musuh2 islam
Ruwet ya, perang sudah melebar ke mana-mana. Saling terkait satu sama lain. Namun tetap saja, saat ini mayoritas negeri muslim tak punya nyali untuk membela Palestina.
Tulisannya komplit sekali, enak dibaca, barakallah
Maasyaa Allah. Gamblang, jelas dan kebayang ruwetnya konstelasi politik dunia di bawah sistem kapitalisme. Berteman karena ada kepentingan, bermusuhan pun ada kepentingan
penguasa muslim seharusnya mencontoh keberanian Yaman dalam membela Palestina.
MasyaAllah barakallah penulis, betapa ruwetnya dunia tanpa perisai dan keamanan dalam naungan khilafah Islam, makin buas tanpa khilafah.
Persatuan umat Islam di bawah naungan Khilafah adalah kunci untuk menghentikan segala kezaliman dan perlawanan terhadap umat Islam. Barakallah untuk penulis
Andai seluruh negeri2 muslim bersatu,, Israel dan sekutunya tidak akan berkutik.dan mereka tahu akan hal ini, sehingga mreka selalu berusaha memecah belah kita dengan paham nasionalisme ini..