Fenomena Godoksa Menghantui Korea Selatan

”Kehidupan sekuler menyuburkan berbagai perilaku maksiat yang akan berdampak pada nestapa hingga maut menjemput. Maraknya fenomena godoksa, sejatinya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan berawal dari penerapan sistem yang salah.”

Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Setelah resesi seks, kini fenomena “godoksa” melanda Korea Selatan (Korsel). Pada tahun 2021, sekitar 3.378 orang mengalami godoksa, di mana angka ini naik 2.412 sejak 2017 lalu. Kemudian, fenomena ini kembali mencuat di tahun 2022. Kekhawatiran publik meningkat seiring dengan banyaknya kasus godoksa yang terus terjadi.

Menanggapi hal ini, pemerintah Korsel membuat UU untuk mengidentifikasi dan membantu mereka yang berisiko. Beberapa kota, termasuk Seoul, Jeonju, dan Ulsan, telah meluncurkan aplikasi untuk mereka yang rentan mengalami godoksa. Lewat aplikasi ini, ponsel mereka secara otomatis mengirimkan pesan ke kontak darurat jika ponsel tidak aktif selama beberapa jam. Organisasi lain seperti nirlaba dan gereja telah meningkatkan layanan untuk menangani upacara pemakaman bagi yang tidak memiliki kerabat. (CNBC Indonesia, 24/12/2022)

Sejatinya, penyebab fenomena godoksa ini sangat kompleks dan tidak dapat diatasi dengan sekadar penanganan pada jasadnya saja. Solusi dan kebijakan pemerintah Korsel tidak menyentuh akar masalah yang menjadi faktor penyebab terjadinya godoksa. Lantas, mengapa fenomena godoksa bisa melanda Korsel? Bagaimana syariat Islam dapat mencegah dan mengatasi fenomena godoksa?

Seputar Godoksa

Godoksa (lonely death meninggal kesepian) adalah fenomena tewasnya seseorang tanpa diketahui orang sekitar. Terkadang selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, mayat mereka baru ditemukan dalam keadaan membusuk. Pada umumnya, laki-laki lebih rentan mengalami godoksa ketimbang perempuan, di mana jumlah pria 5,3 kali lipat lebih tinggi dari wanita. Sebanyak 60% kematian godoksa berusia 50 sampai 70-an tahun, dan 6% berusia 20 dan 30-an tahun.

Berdasarkan laporan Badan Statistik Korea, dari 2016 sampai 2021, jumlah rumah tangga dengan anggota keluarga tunggal (hidup sendiri) melonjak dari 5,39 juta menjadi 6,64 juta. Pada umumnya, maraknya keluarga tunggal disebabkan karena kemiskinan, perceraian, dan hidup membujang.

Setelah pensiun, laki-laki akan kehilangan posisinya dalam rumah tangga dan masyarakat. Laki-laki yang tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga memiliki risiko lebih tinggi mengalami godoksa karena telah merasa gagal memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis esensialnya. Seorang peneliti di Seoul Welfare Foundation, Song In Joo, mengamati bahwa laki-laki yang hidup sendiri menderita rasa kesepian lebih dalam daripada wanita, baik dalam isolasi emosional maupun fisik.

Dalam kasus lain, ada seorang lansia yang terpaksa hidup sendiri dan terisolasi secara sosial karena tidak memiliki keturunan. Terkadang, hidup sendiri juga disebabkan karena ikatan antara anak dan orang tua terputus dan melemah akibat penurunan kontak sosial. Pernyataan ilmiah dari American Heart Association, bahwa kesepian dan isolasi sosial dapat menurunkan kesehatan fisik, bahkan berisiko terjadinya sekarat akibat serangan jantung atau stroke. Mereka inilah yang tergolong kelompok paling rentan mengalami godoksa.

Tak Seindah Drama Korea

Korsel (Korea Selatan) memiliki citra yang positif di mata dunia internasional berkat kepopuleran konten hiburan dan dramanya yang romantis. Meski demikian, kehidupan dunia nyata berbeda jauh dari cerita romantis di dalam setiap dramanya. Realitasnya, jumlah orang yang meninggal akibat bunuh diri sepanjang 2021 sebanyak 13.352 orang. Penyebab kasus bunuh diri ini sangat kompleks, tidak hanya karena masalah ekonomi dan tekanan sosial, tetapi juga akibat masalah kesehatan pribadi dan mental. Tak sedikit fenomena godoksa juga disebabkan oleh kasus bunuh diri.

Gambaran laki-laki idaman dalam drama ternyata tidak bisa terwujud dalam kehidupan nyata mereka. Selain perselingkuhan, kasus KDRT juga meningkat pada beberapa tahun terakhir. Terdapat 11.075 kasus KDRT yang dilaporkan pada tahun 2019 lalu. Berawal dari banyaknya kasus yang mewarnai hubungan rumah tangga, Korsel menjadi negara dengan tingkat perceraian tertinggi di Asia Timur.

Meskipun awalnya perceraian adalah hal yang tabu, namun angka perceraian Korsel mencapai 108.700 pada tahun 2018 lalu. Kebanyakan para wanita yang bercerai tidak merasa dirugikan secara finansial. Selanjutnya, kasus ini berbuntut panjang dengan adanya paham kesetaraan gender yang membuat beberapa kelompok perempuan bersumpah untuk tidak ingin menikah.

Tentu saja semua ini akan berdampak menurunnya angka perkawinan dan mengancam penurunan populasi manusia. Jika terus berlanjut, maka akan menyebabkan resesi seks dan pertumbuhan ekonomi merosot. Sebab, transaksi ekonomi dan bisnis juga membutuhkan manusia untuk mengalami pertumbuhan.

Terbukti, saat ini Korsel adalah salah satu negara Asia yang mengalami penurunan demografis akibat resesi seks. Tingkat kelahiran terus menurun sejak 2015 lalu. Para ahli menduga hal ini terjadi akibat tuntutan budaya kerja, upah yang stagnan, dan kenaikan biaya hidup. Akibatnya, pada tahun 2016, lebih dari 43% warga Korsel yang berusia di atas 65 tahun berada di bawah garis kemiskinan. Keadaan tersebut semakin cepat memburuk jika mereka telah dikeluarkan dari pasar tenaga kerja.

Semua masalah ini akan berdampak pada menurunnya tingkat kesehatan dan keterpurukan karena kesulitan mengatur urusan hidup sehari-hari. Selain itu, terlambatnya bantuan pemerintah dan kurangnya perawatan di rumah lansia bagi penderita penyakit serius dan kronis semakin membuka peluang terjadinya godoksa. Semua problem hidup ini akan menyebabkan banyaknya orang yang hidup sebatang kara. Pada akhirnya, fenomena godoksa semakin marak dan terus meningkat setiap tahun.

Problem Sistemis

Sebagai negara yang menganut ideologi sekuler kapitalisme, Korsel sangat kental dengan kehidupan permisif, liberal, dan hedonis. Tidak heran banyak industri dan konten-konten yang mengarah pada kesenangan materi dan duniawi. Alhasil, klub malam, oplas, miras, dan perselingkuhan, serta perzinaan, menjadi gaya hidup kebanyakan masyarakat Korsel.

Segala problem hidup yang melanda Korsel menyirat potret kelam penerapan sistem kapitalisme. Kehidupan sekuler menyuburkan berbagai perilaku maksiat yang akan berdampak pada nestapa hingga maut menjemput. Maraknya fenomena godoksa, sejatinya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan berawal dari penerapan sistem yang salah.

Maraknya perceraian dan disharmonisasi dalam sebuah rumah tangga, semua berawal dari perselingkuhan (perzinaan) dan KDRT. Jelas semua itu bertentangan dengan syariat Islam. Sebaliknya, semua berawal karena kehidupan sosial dan pergaulan yang dijalankan mengikuti paradigma sekularisme, hedonisme, dan liberalisme.

Cara Islam Mengatasi Godoksa

Kehidupan yang sempit ditandai dengan banyaknya masalah yang menimpa hidup manusia. Syariat Islam tidak hanya mengatur masalah akidah dan ibadah yang bersifat pribadi, namun juga mengatur aspek muamalah, ekonomi, rumah tangga, bermasyarakat, dan bernegara.

Hukum-hukum syariat Islam ada yang bersifat khusus, umum, dan global. Semua aturan itu bersumber dari Allah Swt. yang menciptakan manusia dan alam semesta. Dengan begitu, syariat Islam mampu mengatasi problem manusia yang bersifat dinamis. Artinya, semua masalah yang dihadapi manusia, di mana pun dan kapan pun pasti dapat diselesaikan oleh Islam. Hanya saja, semua itu tidak akan menjadi riil dan faktual, kecuali jika syariat Islam diterapkan secara kaffah.

Adapun untuk memelihara keturunan, maka para wanita tidak diwajibkan untuk bekerja. Laki-laki yang bertugas sebagai pencari nafkah, sedang negara menjamin terpenuhinya hajat hidup rakyatnya. Sehingga, keluarga tidak perlu risau dan cemas jika memiliki keturunan dengan jumlah yang diinginkan.

Rasulullah Muhammad saw. pernah bersabda, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai banyak anak. Sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabi nanti di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)

Islam memandang naluri seksual adalah fitrah manusia yang harus dijaga dengan jalan pernikahan, dan melarang segala bentuk perzinaan, seperti perselingkuhan, LGBT, dan lain-lain. Saat syariat Islam kaffah diterapkan, maka sistem pergaulan dan hukum pidana wajib dijalankan. Syariat mengatur interaksi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan khusus dan umum. Pengaturan ini sebagai wujud penjagaan kehormatan dan kemuliaan manusia. Pelaku zina (perselingkuhan) akan diberi hukuman yang tegas dan mampu memberikan efek jera.

Cara berpakaian, komunikasi, dan interaksi akan dijaga dan diatur, sehingga naluri seksual akan tersalurkan di tempat yang benar. Dengan begitu, kasus perselingkuhan dan perceraian akan berkurang dengan sendirinya. Para suami tidak terlalu terbebani dengan kesulitan ekonomi, sebab pendidikan, kesehatan, dan keamanan diberikan secara gratis oleh negara.

Selain itu, seorang anak akan senantiasa menjalin hubungan baik dengan orang tuanya. Meskipun sudah menikah, silaturahmi akan terus terjalin karena mengurus orang tua adalah wujud taat kepada syariat.

Sementara di masyarakat, Islam menganjurkan untuk berkasih sayang dan peduli dengan sesama manusia, terlebih lagi pada tetangga. Sebagaimana Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya, …” (HR. Muslim)

Dengan begitu, penerapan syariat Islam kaffah mampu mencegah fenomena godoksa. Sebab, keluarga, masyarakat, dan negara berpegang kepada syariat Islam yang pasti akan membawa rahmat.

Khatimah

Maraknya fenomena godoksa disebabkan banyaknya angka perceraian, hidup membujang, dan renggangnya ikatan orang tua dan anak. Semua masalah tersebut menjadi bukti gagalnya sistem sekularisme dalam mengatur kehidupan manusia. Realitasnya, semua problem kehidupan justru berpangkal pada penerapan ideologi sekularisme-kapitalisme yang membuat setiap individu berpaham liberalisme. Dan fenomena godoksa tidak dapat dihilangkan dengan sekadar penanganan dan pelayanan prosesi pemakaman saja.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seluruh problem ini jelas bukan karena syariat Islam. Sejatinya, semua masalah dan kerusakan yang terjadi disebabkan oleh kemaksiatan yang dilakukan manusia akibat berpaling dari syariat Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya, “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al Quran), maka sungguh bagi dia penghidupan yang sempit… .” (QS. Thaha: 124). Wallahu a’lam bishawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Lalai Bertindak, TBC Merebak
Next
Berhentilah Menjadi Gelas dan Jadilah Seperti Lautan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram