Demonstrasi Israel Tolak Diktator PM Netanyahu

"PM Netanyahu sejak dulu terkenal sebagai rezim Israel yang paling kanan, fasis, apartheid, dan ekstrem. Di mana pemerintah sayap kanan memang terkenal paling keras dalam sejarah Israel."

Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kepolisian Israel melaporkan lebih dari 80.000 para demonstran membanjiri ruas-ruas jalan di Yerusalem, Haifa, kawasan HaBima, pusat kota Tel Aviv dan sekitarnya (14/1). Mereka memprotes rencana Perdana Menteri (PM) Netanyahu untuk mereformasi sistem hukum dan aturan MA (Mahkamah Agung). Pihak oposisi menganggap, hal ini dapat melemahkan independensi proses kehakiman, melanggar hak asasi kelompok minoritas, melindungi korupsi, dan dapat meruntuhkan kredibilitas sistem pengadilan.

Aksi demo diwarnai dengan slogan-slogan anti-pemerintah, seperti “pemerintahan memalukan”, “turunkan diktator”, dan lain-lain. Realitasnya, jika merujuk pada Channel 13 TV, memang sebanyak 53% responden menolak rencana reformasi aturan tersebut, dan hanya 35% yang setuju. Diperkirakan aksi demo kali ini merupakan yang terbesar sejak PM Netanyahu mengambil alih kekuasaan pada akhir Desember 2022. (CNN Indonesia, 16/01/2023)

Popularitas Netanyahu Menurun

Terakhir kali menjabat sebagai PM pada 13 Juni 2021, polisi Israel menduga bahwa Netanyahu telah melakukan penyuapan pada Bezeq, grup telekomunikasi terbesar di Israel dengan imbalan liputan positif dan tidak membuat berita negatif tentang dia dan istrinya. Meskipun polisi telah menemukan bukti yang cukup atas tuduhan penyuapan tersebut, namun tidak ada hukum yang mampu menjebloskan Netanyahu hingga saat ini.

Akibat kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) tersebut, Netanyahu mendapat citra buruk dan ini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi kelangsungan karier politiknya. Hal ini yang membuat popularitas Netanyahu semakin menurun, sebab ia berhasil menduduki jabatan PM saat masih terjerat sejumlah kasus KKN.

Semakin Otoriter

Benjamin Netanyahu kembali disumpah sebagai PM untuk ke-6 kalinya pada 29 Desember 2022 lalu, dengan mendapat dukungan sebanyak 63 dari total 120 suara di parlemen. Sebelumnya, Netanyahu pernah menjabat sebagai PM selama 15 tahun, yakni dari tahun 1996-1999, dan masa jabatan 12 tahun dari 2009-2021. Dengan masa jabatan selama itu, Netanyahu merupakan PM terlama dalam sejarah Israel. (CNN Indonesia, 29/12/2022)

Belum satu bulan menjabat, Netanyahu langsung berencana mengubah sistem hukum dan peradilan Israel. Para kritikus menilai, rencana tersebut akan membahayakan dan dapat merusak institusi demokrasi karena akan memberikan kekuasaan absolut kepada penguasa. Hal inilah yang membuat oposisi Israel mengajak seluruh rakyat turun ke jalan untuk menentang reformasi hukum PM Netanyahu, karena perubahan tersebut akan membuat pemerintah berkuasa atas lembaga yudikatif.

Selain itu, perombakan sistem peradilan dan sistem hukum tersebut dinilai akan menguntungkan Netanyahu yang saat ini masih berstatus sebagai terdakwa kasus korupsi. Meskipun hingga saat ini, Netanyahu membantah tuduhan suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan (breach of trust) atas dirinya, warga Israel tetap menilai bahwa penguasa kali ini makin otoriter. Dengan melemahkan sistem peradilan, menjadi bukti bahwa rezim berniat untuk melemahkan suara oposisi yang berniat mengkritik setiap kebijakannya. Ditambah lagi, saat aksi protes berlangsung, Itamar Ben-Gvir, selaku Menteri Keamanan Nasional, memerintahkan polisi untuk mengambil tindakan keras jika ada pengunjuk rasa yang memblokir jalan atau mengibarkan bendera Palestina.

Demikianlah, pola bagi para penguasa dalam sistem kapitalisme, demi menjaga citra diri, mereka melakukan manipulasi di media-media mainstream, lalu menciptakan UU untuk melindungi dirinya dari kasus pidana. Slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, sejatinya hanyalah ilusi yang sulit untuk terealisasi, sebab hukum akan dibuat berdasarkan keinginan penguasa. Terbukti, sistem ini justru melahirkan penguasa-penguasa diktator yang antikritik dan tidak ingin diberitakan sebagai sosok pemimpin yang buruk meskipun terkadang pemberitaan tersebut sesuai fakta.

Bumi Palestina Kembali Terancam

Bagi Palestina, dimenangkannya kembali Netanyahu sebagai PM bagaikan mimpi buruk. Sebab di masa jabatannya dahulu, ia selalu mengulur-ulur perjanjian perdamaian dan menolak adanya negara Palestina. Terbukti, pada 28 Desember 2022, pemerintah Israel, PM Netanyahu telah mengumumkan bahwa prioritas utamanya kali ini adalah untuk “memajukan dan mengembangkan permukiman di seluruh bagian tanah Israel”, termasuk Galilea, Gurun Naqab (Negev), dan dataran tinggi Golan Suriah. Selain itu, Netanyahu juga berjanji kepada partai Zionisme Religius yang merupakan salah satu mitra koalisi utamanya untuk mencaplok Tepi Barat yang diduduki. Di mana perjanjian itu mengatakan, “Orang-orang Yahudi memiliki hak alami atas tanah Israel”.

Diketahui, Netanyahu berkoalisi dengan partai ultra-Orthodoks dan partai sayap kanan yang mendukung penguasaan proyek perluasan atas seluruh wilayah dan pemukiman tepi Barat Palestina. PM Netanyahu sejak dulu terkenal sebagai rezim Israel yang paling kanan, fasis, apartheid, dan ekstrem. Di mana pemerintah sayap kanan memang terkenal paling keras dalam sejarah Israel.

Salah satu langkah paling kontroversial Netanyahu adalah berkoalisi dengan beberapa anggota sayap kanan Israel, seperti Itamar Band-Gvir, pendukung Kach yang dianggap sebagai kelompok teroris di Israel. Ben-Gvir bersama dengan pemimpin sayap kanan memiliki sejarah panjang dalam menentang kenegaraan Palestina dan mendukung perluasan kendali Israel atas Tepi Barat yang diduduki.

Baru tiga pekan menjabat, PM Netanyahu berencana untuk menindak lebih lanjut warga Palestina. Dan ini akan berdampak pada politik dan kebijakan internal Israel terhadap Palestina nantinya. Semua ini dibuktikan dengan masuknya Itamar Ben-Griv di kompleks Masjid Al-Aqsa pada 3 Januari 2023. Ben-Gvir selaku Menteri Keamanan Nasional sayap kanan tersebut, masuk secara provokatif dan memicu kemarahan warga Palestina.

Kemudian, pada 9 Januari lalu, Ben-Griv memerintahkan polisi untuk mencopot semua bendera Palestina di Yerusalem Timur dan menyebut bendera tersebut sebagai simbol terorisme. Padahal, di dalam hukum perdata Israel, tidak pernah melarang adanya bendera Palestina, dan polisi maupun tentara tidak memiliki hak untuk menyita apalagi sampai mengacaukan ketertiban umum di area tersebut. Langkah Ben-Griv ini menandakan adanya upaya peningkatan pembatasan ekspresi identitas warga Palestina. Kelompok hak asasi manusia Inggris, Amnesty Internasional, menyatakan bahwa larangan pengibaran bendera tersebut sebagai langkah awal Israel untuk membungkam warga Palestina. (Al Jazeera, 17/01/2023)

Meskipun gejolak konflik internal belum padam, tampaknya rezim Netanyahu tetap bersikukuh untuk menguasai wilayah Palestina. Belum puas telah membunuh jutaan muslim Palestina selama masa jabatannya dahulu, kini ia kembali merencanakan agenda penjajahan yang lebih luas. Kesombongan dan keberanian Netanyahu itu jelas beralasan, bagaimana tidak, PBB yang digadang-gadang sebagai lambang perdamaian dunia justru tidak membela hak asasi muslim Palestina. Alih-alih mendapat penolakan, Amerika Serikat sebagai negara adidaya justru memberikan bantuan dana militer kepada Israel sebesar US$38 miliar (Rp532 triliun) selama dekade 2017-2028.

Sejatinya, siapa pun yang menjadi pemimpin Israel, aksi penyerangan terhadap muslim Palestina akan terus terjadi. Bahkan, serangan biasa terjadi dua hingga tiga kali dalam setahun. Konflik Israel dan Palestina telah terjadi sejak pasca Perang Dunia I, saat Inggris memenangkan peperangan dan memberikan wilayah tersebut kepada bangsa Yahudi (Deklarasi Balfour 1917). Sejak saat itu, bangsa Yahudi menganggap kawasan Palestina sebagai tanah air mereka dengan terus melakukan penjajahan.

Menyelamatkan Palestina

Masalah Palestina merupakan bentuk penjajahan oleh Zionis Yahudi yang pokok masalahnya tidak bisa diselesaikan dengan sekadar memberi bantuan berupa makanan, obat-obatkan, dan pakaian. Rutinitas mengecam, mengancam, mengajak rapat darurat OKI, menyerukan gencatan senjata, seruan perdamaian, semua pernah dilakukan oleh penguasa-penguasa muslim. Namun, semua itu tidak membuat penjajah Yahudi jera dan takut untuk mengulang menyerang Palestina. Mirisnya lagi, justru ada beberapa penguasa muslim yang menjalin hubungan kerja sama dengan pemerintahan Israel, seperti Mesir, UEA, Turki, Maroko dan Bahrain. Sehingga, kecaman mereka pada Israel sebenarnya hanyalah tipu daya belaka.

Semua itu membuktikan, demokrasi dan nasionalisme telah menghancurkan persatuan umat muslim. Sistem demokrasi membuat penguasa hanya fokus melakukan pencitraan untuk mempertahankan kursi kekuasaan, namun takut untuk menolong umat muslim yang sedang tertindas. Padahal, untuk menyelamatkan Al-Quds dan membebaskan kembali Palestina dari cengkeraman kaum Zionis harus dengan jihad fisabilillah. Bukankah kewajiban untuk menolong sesama muslim yang teraniaya merupakan perintah Allah Swt., “Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan”. (QS. Al-Anfal: 27)

Selain itu, Rasulullah Muhammad saw. pernah bersabda, “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan dizalimi.” (HR. Bukhari)

Dalil di atas merupakan seruan keras yang diarahkan bagi kamu muslim, terutama para penguasa yang memiliki kekuasaan dan kekuatan militer. Karena, sebenarnya mereka mampu memberikan bantuan logistik dan pasukan untuk mengusir Israel dari tanah Palestina. Tentu saja seruan jihad ini akan semakin kuat pengaruhnya jika pemimpin dalam suatu negara yang menyerukannya. Maka, mengembalikan kehidupan Islam kaffah dalam bentuk negara menjadi bukti nyata pembelaan atas konflik Palestina. Tentu saja, pihak musuh menyadari kekuatan ideologi Islam, sehingga mereka akan terus melakukan kriminalisasi, persekusi, dan intimidasi terhadap syariat Islam. Oleh karena itu, kita tidak boleh lengah dan mari senantiasa berdakwah menyerukan penerapan syariat Islam di bawah naungan Khilafah Islamiah!

Khatimah

Ribuan aksi penolakan atas kebijakan rezim di Israel merupakan bukti bahwa sistem demokrasi melahirkan penguasa otoriter. Dan kembalinya Netanyahu sebagai PM Israel menjadi ancaman bagi muslim Palestina. Sebab, sejak awal ia tidak mengizinkan pembentukan negara Palestina dan akan terus memperluas wilayah kekuasaannya. Oleh karena itu, mengembalikan kehidupan Islam dalam politik bernegara merupakan solusi dan bukti nyata pembelaan umat muslim pada Palestina. Jihad fisabilillah merupakan solusi syar’i yang komprehensif atas masalah Palestina untuk menuntaskan penjajahan hingga ke akar-akarnya. Sebab, kekuatan dan kesatuan politik militer Islam hanya bisa diraih dengan menegakkan kembali Daulah Islam, yakni Khilafah. Wallahu ‘alam bishawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Musibah, Nikmat yang Tak Beraroma
Next
Indonesia Darurat "Marriage by Accident"
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram