"Gerakan reformasi dan modernisasi berbalut toleransi terus digalakkan. Menabrak nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam pun tak lagi dipersoalkan. Menggandeng para cendekiawan, ulama, pemuda, dan tak ketinggalan para pemimpin negerinya untuk memuluskan misi tersebut. Dengan begitu, kaum muslim perlahan-lahan akan meninggalkan aturan Islam yang sempurna sedangkan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme akan semakin erat dalam dekapannya."
Oleh. Neneng Sri Wahyuningsih
NarasiPost.Com-Beberapa waktu silam, Arab Saudi dihebohkan dengan perayaan Riyadh Season. Kali ini digemparkan dengan semarak menyambut perayaan hari kelahiran yang dianggap tuhan. Padahal sebelumnya perayaan tersebut sangat tabu dan dilarang di negeri ini. Namun, kini fakta berbicara lain.
Seperti diwartakan dalam Detik.com (26/12/2021), pemandangan Natal tahun ini sungguh berbeda. Beberapa ekspatriat mengatakan bahwa perayaan kali ini sangat istimewa karena di cafe, restaurant, dan beberapa tempat lainnya disulap dengan pernak-pernik khas Natal.
Miris. Negeri yang dikenal sebagai penjaga Haramain, kental dengan nuansa Islamnya, justru sekarang lebih liberal. Semeriah apakah perayaan Natal tahun ini? Sebenarnya mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah Arab Saudi telah terjebak dalam arus toleransi beragama? Lantas bagaimana pandangan Islam terkait toleransi tersebut?
Semarak Perayaan Natal
Jauh sebelum Raja Salman bin Abdul Aziz berkuasa, para penganut Nasrani dilarang merayakan Natal. Ketika pun mereka merayakannya, maka dilakukan secara diam-diam. Namun, keadaannya berbeda sejak tahun 2015. Pemerintah mulai membolehkan perayaannya secara bebas dan terang-terangan.
Toko-toko aksesoris dapat menjual bebas hiasan khas bertemakan Natal. Salah satu toko perlengkapan pesta di Riyadh mengungkapkan bahwa pada Oktober 2020 lalu, Good Ship Lollipop berani memajang empat pohon Natal, termasuk satu di jendela depan. Mereka sukses menjual 30 pohon palsu tahun itu. Lalu tahun ini pun mencobanya kembali. Menampilkan pohon beserta ornamen Natal lainnya. Bahkan sebulan terakhir ini, aksesoris tersebut menyumbang sekitar 70 persen dari penjualan. Pembelinya pun beragam, mulai dari penduduk setempat dan ekspatriat. (detik.com 26/12/2021)
Beberapa cafe juga menawarkan kalender dan hidangan dengan nuansa Natal. Bebasnya perayaan Natal tahun ini sangat dirasakan oleh beberapa ekspatriat yang tinggal di Arab Saudi. Saling berbagi hadiah dan melakukan tradisi lainnya yang kental dengan perayaan tersebut. Bahkan ada pula warga setempat yang notabene seorang muslim menyatakan bahwa dirinya tidak masalah mengikuti perayaan ini. Ia menganggap perayaan tersebut seperti perayaan tahun Hijriah. (cnnindonesia. 25/12/2021)
Adanya kebebasan seperti di atas memantik reaksi umat Islam, khususnya dari internal warga Arab. Masih ada di antara mereka yang tidak rela dan tidak suka dengan adanya budaya dan nilai-nilai dari luar Islam berkembang di negerinya.
Sebagaimana yang disampaikan Muneerah Al-Nujaiman, seorang guru bahasa Inggris di Universitas Putri Nourah. Ketika diwawancarai oleh Arab News, ia mengatakan bahwa banyak warga Arab Saudi yang telah keliru memahami gagasan toleransi. Mereka mengira toleransi terhadap budaya dan agama di luar Islam berarti kita pun ikut merayakan dan memeriahkannya. Padahal tidaklah demikian. Ketika kita membiarkan mereka merayakannya pun itu sudah termasuk sikap toleransi. Tidak perlu kita (muslim) ikut-ikutan merayakannya, karena sudah jelas tidak mencerminkan identitas dan agama kita. (tempo.co, 25/12/2021)
Ironis. Dulu negeri ini dikenal dengan sebutan ultrakonservatif, tetapi kini berubah menjadi lebih moderat. Budaya di luar Islam mulai diadopsi. Semua dilakukan atas nama toleransi.
Reformasi Kerajaan Arab Saudi
Ketika saat ini dunia menyaksikan negeri Saudi lebih moderat dibandingkan sebelum-sebelumnya, tentu hal tersebut tidak terjadi begitu saja.
Jika ditelisik, tren keterbukaan dan toleransi ini mulai terjadi sejak Raja Salman Bin Abdul Aziz dan Putra Mahkota Mohammed Bin Salman berkuasa pada tahun 2015. Mereka berusaha mereformasi negerinya. Keduanya mempublikasikan visi 2030 yang memuat perubahan besar-besaran, mulai dari perekonomian hingga sosial dan hukum di Arab Saudi. Di bawah kepemimpinannya, Arab Saudi ingin mengubah haluan bahwa negerinya bukan lagi negara yang kaku dan kuno terhadap budaya di luar Islam, serta ketat terhadap aturan agama, melainkan negara yang bebas dan terbuka bagi siapa pun dan agama mana pun.
Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong budaya toleransi. Menciptakan suasana yang 'hangat dan menyenangkan' antarsesama warga yang tinggal di Saudi. Adapun untuk mewujudkan suasana tersebut, maka pemerintah melonggarkan aturan-aturan yang ketat. Misalnya saja diberikan kebebasan dalam menonton di bioskop, konser musik, pertandingan olah raga, kaum perempuan tidak perlu menutup aurat, yang terpenting berpakaian sopan.
Begitu pun ketika bermalam di penginapan, tidak ada lagi aturan harus menunjukan identitas sebagai pasangan yang sudah sah. Bebas sekamar antara perempuan dan laki-laki yang bukan mahram. Selain itu, hukuman cambuk pun di cabut. Sedangkan dalam bidang ekonomi, negeri petrodollar ini tidak lagi bertumpu pada penghasilan minyak, sehingga melirik sektor pariwisata dan event-event budaya untuk menambah pemasukan negara. Ironis. Berbagai kebijakan yang mengarah pada kapitalisasi, liberalisasi, dan westernisasi terus digulirkan di negeri ini.
Terjebak Arus Toleransi Beragama
Menyedihkan. Negeri ini seolah berubah hampir tiga ratus enam puluh derajat. Hitam menjadi putih, putih menjadi hitam. Pelonggaran regulasi dilakukan demi menarik para investasi asing berkunjung ke negerinya. Bisa kita saksikan, semakin banyaknya turis asing dan pekerja asing nonmuslim di Arab Saudi, maka meningkat pula toleransi di negara tersebut.
Kerajaan Arab Saudi berupaya keras untuk meningkatkan toleransi beragama. Pada Maret 2018, Putra Mahkota Mohammed bin Salman bertemu dengan Uskup Agung Canterbury Justin Welby di London. Mereka membahas tentang agenda reformasi yang tengah dilakukan Arab Saudi. Tak berhenti di sana, tahun berikutnya delegasi pemimpin Kristen evangelis pun mengunjungi Arab Saudi untuk mempromosikan kerukunan antaragama, serta memerangi ekstremisme dan terorisme. (republika.co.id, 25/12/2020)
Dari pertemuan tersebut sangat jelas bahwa Barat akan terus mendorong agar kaum muslim mengadopsi pemikiran-pemikirannya. Gerakan reformasi dan modernisasi berbalut toleransi terus digalakkan. Menabrak nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam pun tak lagi dipersoalkan. Menggandeng para cendekiawan, ulama, pemuda, dan tak ketinggalan para pemimpin negerinya untuk memuluskan misi tersebut. Dengan begitu, kaum muslim perlahan-lahan akan meninggalkan aturan Islam yang sempurna sedangkan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme akan semakin erat dalam dekapannya. Lantas bagaimana toleransi dalam Islam?
Toleransi dalam Pandangan Islam
Islam merupakan agama yang menghargai keberagaman suku, agama, dan bahasa. Hanya saja, menghargai bukan berarti mengikuti ajaran dari agama lain atau menganggap bahwa semua agama itu sama, melainkan membiarkan mereka melakukan aktivitas keagamaannya tanpa turut campur di dalamnya dan tidak memaksakan mereka untuk masuk Islam.
Rasulullah saw. telah menasihati kita untuk tidak mengikuti kebiasaan orang-orang di luar Islam. Sebagaimana hadis beliau yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal. Bahkan andai mereka masuk lubang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, yahudi dan nasranikah mereka?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
Hadis di atas menjelaskan bahwa haram mengikuti akidah dan ibadah yang berasal dari luar Islam. Baik itu sebatas memberikan ucapan selamat, terlebih jika mengikuti perayaannya. Ketika kita mengikutinya, maka sama saja dengan meyakini kepercayaan mereka dan hal tersebut berbenturan dengan QS Maryam: 88-89 dan QS Al-Maidah: 72-74.
Meski demikian, Islam tetap membolehkan untuk berinteraksi dengan nonmuslim dalam hal-hal yang mubah seperti jual beli, saling menjenguk, dan bertetangga. Hal ini pernah juga dicontohkan oleh Rasulullah saw. yang bertetangga baik dengan orang Yahudi.
Di samping itu, kita sebagai umat Islam harus meyakini bahwa hanya Islamlah agama yang benar dan diridai oleh Allah Swt. Oleh karena itu, kita harus mencampakkan segala ide-ide moderasi agama yang menganggap bahwa semua agama sama. Pemikiran tersebut sengaja dihadapkan kepada umat Islam agar mereka semakin jauh dari ajarannya.
Demikianlah, makna toleransi dalam Islam. Perkara yang hak dan batil sudah sangat jelas perbedaannya, sehingga tidak asal-asalan mencampuradukkan agama agar bisa hidup rukun dengan yang berbeda keyakinan.
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6).
Wallahu a'lam bishshowab[]