Libya dan Dunia Butuh Konstitusi Islam

"Libya sebagai negeri muslim seharusnya bangkit dari keterpurukan. Kecamuk dan ketegangan yang terjadi seharusnya mampu membuka altar pemikiran pada kebangkutan hakiki. Hadirnya imperialisme gaya baru seharusnya mampu dihalau dengan konstitusi berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, begitupun dengan negeri muslim lainnya."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Sudah menjadi rahasia umum, setelah runtuhnya Khilafah islamiah, negeri-negeri muslim semburai dengan nasionalisme yang membekapnya. Inggris dan Prancis yang saat itu menjadi juara dalam perhelatan Perang Dunia I mencaplok negeri-negeri muslim dalam cengkeramannya, terutama wilayah Timur Tengah. Sebagaimana diketahui khalayak, Timur Tengah adalah mercusuar peradaban Islam. Di sanalah, ibu kota Khilafah Islam ada.

Libya menjadi salah satu lapangan penjajahan Inggris dalam menancapkan pengaruhnya. Konflik Timur Tengah seakan menjadi grand design, menjadi bagian konflik Inggris dan Amerika. Berdasar penjelasan kitab Mafahim Siyasiyah karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani, AS sendiri tak mampu menerobos tanduk Afrika, Libya dalam urusan perpolitikan tersebab pengaruh Inggris begitu kuat di sana. Sehingga, hal itu membuat AS memutar otak lebih keras lagi guna mengukuhkan hegemoninya di Timur Tengah, tak terkecuali dalam urusan eksploitasi minyak bumi di sana.

Libya dalam Pusaran Demokrasi

Gejolak muncul pada pertengahan Februari 2011 dengan dilatari kesumat rakyat sipil pada presiden saat itu, Muammar Khadafi. Topeng demokrasi di Libya bermetamorfosis dari jejaring aspirasi, mimbar demonstrasi, hingga perlawanan dengan senjata oleh rakyat demi menggulingan Khadafi. Arab Spring merambah ke Libya dan berakhir pada tewasnya sang pemimpin yang berkuasa lebih dari 40 tahun di tangan rakyatnya sendiri. Rakyat yang memendam bara sekam dengan luka yang senantiasa ditaburi garam represifnya sang presiden. (detiknews.com, 23/10/2011)

Libya menunaikan biaya demokrasi dengan sangat mahal. Tak cukup sumber daya alam berupa minyak yang porak-poranda di tangan Barat, perang saudara pun membayangi negeri muslim itu. Revolusi Libya 2011 merupakan salah satu strategi Barat dalam memasuki ranah dalam negeri. Dengan topeng demokrasi, Barat kembali mengatuk Libya sebagai pahlawan penyelamat negeri.

Ketegangan demi ketegangan di Libya bak lembaran novel yang alurnya begitu panjang tak berkesudahan. Sebuah anggapan akan konstitusi baru muncul laksana fajar menyingsing di ufuk timur. Perhelatan pemilihan yang direncanakan Desember tahun lalu usai gencatan senjata 2020 harus diundur karena adanya ketegangan baru. (CNNIndonesia.com, 24/1/2022)

Altar demokrasi memperparah kondisi Libya. Perdana Menteri (PM) sementara Libya, Abdulhamid Dheibah, menyerukan untuk membuat konstitusi baru sebelum pemilihan presiden dan parlemen yang tertunda. Dia memandang bahwa Libya tidak memiliki pandangan konstitusional. Tentu pandangan itu tidaklah salah, kebutuhan akan adanya konstitusi baru memang perlu bagi eksistensi politik dalam negeri Libya, terutama untuk menghalau Barat dalam menjarah emas hitamnya (minyak).

Namun demikian, topeng keramahan demokrasi amatlah semu. Sifat bebas yang ditawarkan tak akan membiatkan siapa pun berkeinginan untuk menerapkan atusan Tuhan. Sebab, demokrasi dalam asuhan kapitalisme memiliki akidah sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Tentu saja, arah perubahan konstitusi dalam naungan demokrasi tak akan jauh beda dengan singgasana penguasa sebelumnya.

Asas manfaat alias kepentingan akan terus menjadi hiasan di balik alasan atas nama rakyat. Padahal, imperialisme alias penjajahan Barat dalam mencengkeram Libya dan Timur Tengah tak akan pernah memberi ruang pada rakyat kecil bebas melaksanakan aturan Allah. Justru tuduhan radikalisme dan ekstremisme tersemat pada kaum muslim yang taat di sana dan di belahan bumi lainnya.

Konstitusi dalam naungan demokrasi tentu akan diramu berdasarkan akal manusia yang lemah, terbatas, dan butuh pada yang lain. Peluang bongkar pasang konstitusi bisa saja mewarnai perpolitikan Libya nantinya sebagaimana yang terjadi negeri-negeri muslim penganut demokrasi lainnya. Konstitusi buatan manusia amatlah rapuh, mudah terkoyak, dan gampang lapuk tersebab kedangkalan berpikir ala demokrasi. Hal yang pasti, konstitusi versi manusia adalah haram tersebab menandingi Allah dan meniadakan peran Allah Swt.

Libya dan Dunia Butuh Konstitusi Ilahi

Libya sebagai negeri muslim seharusnya bangkit dari keterpurukan. Kecamuk dan ketegangan yang terjadi seharusnya mampu membuka altar pemikiran pada kebangkutan hakiki. Hadirnya imperialisme gaya baru seharusnya mampu dihalau dengan konstitusi berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, begitupun dengan negeri muslim lainnya.

Islam bukan sekadar agama ritual, namun dilengkapi seperangkat aturan kehidupan, mulai dari mengurus diri sendiri hingga mengurus negeri, dari urusan kamar mandi hingga utusan politik luar negeri. Sejatinya, keteladanan telah terpampang nyata pada uswah manusia, Rasulullah saw. Beliau telah memberi contoh konkret dalam mengurusi pemerintahan. Beliau meri'ayah atau memelihara urusan umat sebagai aktivitas politik dalam Islam.

Konstitusi yang digunakan adalah konstitusi Ilahi yang penuh dengan keadilan dan kemaslahatan. Allah saja Yang Maha Pembuat Aturan, manusia hanya berijtihad atau menggali hukum apabila menemukan fakta baru dengan bersandar pada Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma' sahabat, dan qiyas. Konstitusi ini akan menjamin seluruh sistem kehidupan sesuai syariat Islam.

Segala urusan politik, ekonomi, budaya, hubungan luar negeri, dan lainnya diatur dengan konstitusi Islam. Asas manfaat tak akan pernah ditemukan dalam penerapan konstitusi Ilahi ini. Kaum muslim akan taat pada konstitusi Islam karena dorongan keimanan sehingga tak mudah diintervensi. Pergolakan, konflik, dan ketegangan akan sangat bisa dihindari jika konstitusi Islam diterapkan dalam institusi negara. Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum muslim, wabil khusus penguasa muslim untuk memperjuangkan penerapan konstitusi Islam dalam kehidupan bernegara, sehingga, dunia akan diliputi keberkahan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan.

Wallahu a'lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Penerapan K3 ala Kapitalis, Benarkah Melindungi Buruh?
Next
Menyisir Jalan Setapak ke Surga
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram