"Madiun tak akan pernah hilang dari ingatan bila berbicara tentang sejarah komunisme di Indonesia. Kota kecil ini pernah terkoyak akibat pemberontakan kaum komunis yang keji. Susah payah rakyat menyembuhkan luka yang bertahan hingga bertahun-tahun lamanya."
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tahukah Anda jika ada kota berjuluk Kota Pendekar? Kota manakah itu? Kalau begitu di sana banyak pendekarnya, dong?!
Tepat sekali. Madiun mendapat julukan Kota Pendekar karena ada banyak perguruan bela diri. Kota yang termasuk dalam Provinsi Jawa Timur ini memiliki belasan perguruan silat, di antaranya: Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW), Setia Hati Tuhu Tekad (SHTT), Ikatan Keluarga Silat Putra Indonesia (IKS PI) Kera Sakti, Perguruan Ki Ageng Pandan Alas, Pro Patria, Tapak Suci, Pagar Nusa, Merpati Putih, Cempaka Putih, Persinas ASAD, Persaudaraan sejati, dan Persaudaraan Pangastuti Tundung Mendung.
Wah, betulan ada banyak perguruan silat, ya?! Iya, dan otomatis jumlah pendekarnya juga banyaklah! Namun, hal itu ternyata menimbulkan masalah, yakni rentan terjadinya perseteruan antar kelompok bela diri. Namanya banyak kepala pasti banyak pemikiran dan pandangan yang berbeda. Kecintaan berlebihan pada kelompok sendiri sering kali menjadi penyulut emosi. Jadilah amarah mudah terbakar.
Karena itulah, pemerintah setempat kemudian mendirikan Kampung Pesilat di wilayah Kabupaten Madiun. Ini sebagai upaya untuk menjalin persatuan di antara perguruan silat yang ada. Biar enggak saling gesek maksudnya. Lucu dong bila sesama pendekar justru malah berantem sendiri. Kasihan masyarakat sekitar jadi terkena imbasnya.
Madiun sebagai Kota Pendekar ternyata memiliki masa lalu yang kelam. Sebuah kisah mengerikan dan tragis yang menjadi bagian darinya sampai kapan pun juga. Satu masa dengan peristiwa yang menimbulkan trauma panjang bagi penduduknya. Kisah apakah gerangan yang membuatnya juga tercatat dalam buku sejarah perjuangan negeri ini?
Pemberontakan Komunis
18 September 1948. Sebuah tanggal yang tak akan pernah terlupakan bagi rakyat Madiun. Pada tanggal itulah pecah pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa ini merupakan tragedi nasional yang amat memilukan. Ribuan orang menjadi korban kekejaman kaum komunis.
Pemberontakan yang dipimpin oleh Musso itu bertujuan untuk mendirikan Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun. Dari pemberontakan tersebut, ia kemudian membentuk Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun yang menguasai dan mempersatukan lima kabupaten: Madiun, Ngawi, Ponorogo, Magetan, dan Pacitan.
Musso sendiri adalah seorang komunis yang lama tinggal di Uni Soviet. Ia ditunjuk untuk menjadi utusan guna menyelaraskan haluan kaum komunis Indonesia dengan garis komunis internasional. Karena itulah, ia kemudian pulang ke Indonesia untuk memimpin gerakan komunis di Indonesia.
Dengan kedatangan Musso, kalangan komunis kian gencar beraksi. Musso yang mendapat mandat langsung dari Moskow kemudian membuat doktrin “Jalan Baru untuk Indonesia.” Doktrin ini menjadikan pergerakan kaum komunis makin masif. Kalangan komunis berpandangan bahwa mereka berusaha menghindarkan Indonesia agar tak jatuh dalam pengaruh Amerika.
Madiun Berdarah
Sejak awal September 1948, Musso dan sejumlah petinggi PKI telah melakukan perjalanan ke beberapa kota penting di Jawa seperti Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Wonosobo, Bojonegoro, Cepu, dan Purwodadi. Ini bagian dari rencana untuk menguasai kota-kota tersebut. Komunis melancarkan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya untuk bisa menguasai wilayah-wilayah strategis tersebut. Kota-kota pun memanas dan mencekam.
Mereka melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dipandang sebagai musuh. Mereka juga mengadu domba kesatuan-kesatuan yang ada di TNI (militer). Tak ayal, kondisi saat itu menjadi semakin genting dan sulit dikendalikan.
Rakyat juga berhasil diadu domba oleh komunis. Banyak yang kemudian bergabung dengan gerakan komunis karena termakan hasutan dan iming-iming mendapatkan bagian tanah atau harta benda lainnya. Mereka yang bergabung dengan pergerakan kaum komunis itu juga sekaligus menjadi mata-mata bagi PKI. Mereka membaur di tengah masyarakat dan menjadi informan untuk menyelidiki siapa-siapa saja yang menentang atau berseberangan dengan PKI.
Hingga akhirnya, kala fajar menyingsing tanggal 18 September 1948, Madiun jatuh ke tangan FDR (Front Demokrasi Republik) pimpinan Musso. PKI menangkap tokoh masyarakat, pejabat, polisi, ulama, kepala desa, guru dan siapa saja yang menentangnya. Mereka diikat, diseret, ditelanjangi, kemudian dieksekusi dengan cara yang biadab. Mereka dikumpulkan di tanah lapang dan alun-alun kota untuk dipancung, disembelih, dibakar, diberondong senjata api, serta metode pembantaian lainnya yang kejam.
Dalam sekejap, Madiun telah bersimbah darah. Mayat-mayat bergeletakan hingga beberapa lama dengan darah yang menggenangi jalanan. Bengawan Madiun menjadi tempat pembuangan mayat-mayat hingga airnya semerah darah. Tak jarang warga melihat ada kepala manusia atau potongan tubuh lainnya mengapung di sungai yang membelah Madiun itu. Sungguh pemandangan yang amat mengerikan sekaligus memilukan.
Mereka yang ditahan PKI tak pernah kembali lagi. Jasad mereka kemudian ditemukan di ladang pembantaian yang ada di wilayah Madiun dan sekitarnya. Jenazah mereka dimasukkan jadi satu dalam lubang yang sempit. Sungguh amat mengoyak hati.
Pondok-pondok dan madrasah menjadi sasaran utama karena merekalah kalangan yang amat dibenci komunis. Para kiai, guru mengaji, dan santri ditangkapi dan disiksa dengan amat kejam. Semuanya dihabisi. Pondok pesantren dan masjid dibakar bersama manusia di dalamnya. Al-Qur'an dan kitab-kitab disobek dan dibakar dengan cara yang hina. Setiap yang berkaitan dengan Islam dimusnahkan oleh kaum komunis. Mereka seolah meluapkan dendam kesumat yang begitu membara.
Banyak tokoh penting yang gugur dalam pemberontakan PKI di Madiun. Di antara mereka ada Gubernur Jatim, Raden Mas Suryo dan Kolonel Infanteri Marhadi. Pemberontakan PKI itu kemudian bisa ditumpas oleh Divisi Siliwangi pimpinan Kolonel Sadikin dan Divisi Jawa Timur yang dipimpin oleh Kolonel Sungkono.
Monumen Kresek
Salah satu tempat eksekusi tawanan PKI berada di Desa Kresek, Madiun. Rumah-rumah yang ada di sana dipakai PKI untuk menahan dan membantai korban-korbannya. Darah pun membanjiri area tersebut. Bau anyir begitu menyengat. Mayat bergelimpangan dengan kondisi yang amat mengenaskan. Jasad mereka dibuang pada satu lubang. Benar-benar tak berperikemanusiaan!
Sebagai pengingat akan peristiwa kelam itu, pemerintah kemudian membangun monumen di Desa Kresek. Pembangunan monumen dilakukan pada tahun 1987 dan selesai pada tahun 1991. Berdiri di atas lahan seluas 3,5 hektar, monumen ini kemudian diresmikan oleh gubernur Jatim pada waktu itu, Soelarso. Monumen yang berada di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun ini menjadi saksi sejarah dan pembelajaran bagi seluruh anak negeri akan kejahatan komunisme.
Monumen Kresek menjadi objek wisata sejarah yang banyak dikunjungi untuk mengetahui bagaimana gambaran peristiwa berdarah pada tahun 1948 silam. Yang datang ke sana bukan hanya dari Madiun saja, tetapi yang dari luar kota pun juga banyak. Tidak hanya untuk berwisata sejarah, area sekitar monumen ini juga sering dipakai untuk perkemahan anak-anak sekolah, outbond, olahraga, dan kegiatan outdoor lainnya. Terletak di daerah pegunungan yang berhawa sejuk dan dikelilingi pepohonan yang hijau dan asri, siapa menyangka ada kisah kelam di tempat itu berpuluh tahun yang lalu.
Sejarah Menjadi Pembelajaran
Madiun tak akan pernah hilang dari ingatan bila berbicara tentang sejarah komunisme di Indonesia. Kota kecil ini pernah terkoyak akibat pemberontakan kaum komunis yang keji.
Susah payah rakyat menyembuhkan luka yang bertahan hingga bertahun-tahun lamanya. Mereka menjadi korban dari orang-orang yang sebenarnya adalah keluarga, saudara, kerabat, dan teman mereka sendiri. Namun, akibat terpengaruh paham yang menentang ajaran Allah, semua hubungan itu menjadi tak berarti.
Setiap orang punya masa lalu. Setiap orang juga punya masa depan. Masa lalu menjadi pembelajaran dan masa depan menjadi kesempatan untuk melakukan perbaikan. Begitu pula dari kisah kelam di Kota Pendekar ini hendaknya dijadikan pelajaran agar tak terulang di masa depan. Kita pernah terperosok pada hitamnya lubang komunisme dan merasakan kepedihan yang mendalam. Karena itulah, jangan pernah memberi celah pada ideologi yang sesat ini untuk bangkit dan hidup kembali. Sejarah menjadi pengingat agar tak jatuh di lubang yang sama, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang mukmin tidak akan masuk ke dalam lubang yang sama dua kali.” (HR. Muslim)
Komunisme jelas bertentangan dengan Islam karena mengingkari keberadaan Sang Pencipta. Karena itulah, ia sama sekali tak layak diikuti oleh muslim apalagi diperjuangkan. Begitu pula dengan kapitalisme yang menyelisihi syariat Islam sudah pasti harus ditinggalkan. Sebab setiap yang bertentangan dengan Islam pasti membawa keburukan.
Sejarah telah mencatat banyak tragedi dalam peradaban manusia akibat dibiarkannya, bahkan diterapkannya aturan yang menentang kekuasaan Allah Swt.. Telah berulang kali kita menanggung derita karenanya. Maka, sangat bijak bila kita mengingat sejarah masa lalu untuk meninggalkan semua keburukan yang pernah terjadi dan selalu mengikuti apa yang telah ditunjukkan oleh-Nya. Sebab hanya dengan menuruti petunjuk-Nya sajalah kita bisa selamat di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bish-shawwab.[]