"Karena dikelilingi oleh Bengawan Solo, banyak daerah yang menggunakan perahu kecil sebagai sarana transportasi. Biasanya, perahu ini hanya digunakan masyarakat untuk menyeberang bengawan. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat dari Kecamatan Trucuk yang hendak ke Kota Bojonegoro."
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor Tetap. NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bojonegoro adalah sebuah kabupaten yang dilewati oleh Bengawan Solo. Sungai terpanjang di Pulau Jawa itu memisahkan Bojonegoro dengan 3 kabupaten yang terletak di bagian barat, utara, dan timur. Di bagian barat, sungai itu memisahkan Bojonegoro dengan Kabupaten Blora, di bagian utara, dengan Kabupaten Tuban, dan di bagian timur dengan Kabupaten Lamongan.
Mitos tentang Bengawan Solo
Karena itu, untuk mencapai Kota Bojonegoro, harus menyeberangi Bengawan Solo. Ada mitos yang menyebutkan bahwa siapa saja pemimpin negeri ini yang mengunjungi Bojonegoro, akan lengser setelahnya. Mitos ini berkembang dari kisah kekalahan Aryo Penangsang pada saat melawan pasukan Joko Tingkir. Aryo Penangsang adalah penguasa Jipang Panolan.
Ada kepercayaan di masyarakat saat itu, bahwa pasukan yang menyeberang Bengawan Solo terlebih dahulu akan mengalami kekalahan. Itulah yang kemudian terjadi pada Aryo Penangsang. Ia mengalami kekalahan setelah menyeberangi Bengawan Solo.
Apakah mitos itu dipercaya oleh para pemimpin di negeri ini atau tidak, faktanya tidak ada dari mereka yang berkunjung ke kabupaten penghasil minyak ini. Hingga 75 tahun setelah kemerdekaan Indonesia, baru Presiden Soekarno yang mengunjungi Kota Bojonegoro. Presiden setelahnya hanya mengunjungi daerah pinggiran yang tidak perlu menyeberang bengawan.
Kisah Sosrodilogo, Pejuang Kemerdekaan
Karena dikelilingi oleh Bengawan Solo, banyak daerah yang menggunakan perahu kecil sebagai sarana transportasi. Biasanya, perahu ini hanya digunakan masyarakat untuk menyeberang bengawan. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat dari Kecamatan Trucuk yang hendak ke Kota Bojonegoro.
Namun, sejak tahun 2019, mereka tidak perlu lagi menggunakan perahu untuk menyeberang. Sebuah jembatan yang kokoh telah dibangun untuk menghubungkan Kota Bojonegoro dengan Kecamatan Trucuk. Jembatan itu memudahkan masyarakat Trucuk yang hendak beraktivitas di kota, baik untuk bekerja maupun menuntut ilmu. Sebaliknya, masyarakat dari arah kota yang hendak berwisata ke Bendungan Gerak, atau ke Agrowisata Belimbing, juga dimudahkan dengan jembatan ini.
Nama jembatan ini diambil dari nama bupati Bojonegoro ke-15. Bupati bernama lengkap Raden Tumenggung Aria Sosrodilogo ini merupakan putra dari bupati ke-13, Raden Tumenggung Purwonegoro. Bojonegoro awalnya bernama Jipang dan berada di bawah kekuasaan Mataram.
Pada tahun 1677, Jipang diserahkan kepada Belanda akibat kekalahan Mataram dari Belanda. Belanda juga mengubah Jipang dari kadipaten menjadi kabupaten. Pada tahun 1725, Belanda memindahkan ibu kota Jipang dari Padangan ke Rajekwesi. Kabupaten ini kemudian diubah namanya menjadi Rajekwesi. Lokasinya sekitar 10 kilometer di sebelah selatan kota Bojonegoro saat ini.
Pada tahun 1925-1930, terjadi Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Perang yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro itu mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Perang ini sangat menyulitkan Belanda serta menguras kasnya. Banyak pasukan Belanda yang harus menemui ajalnya saat berusaha untuk memadamkan perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro.
Salah satu orang kepercayaan Pangeran Diponegoro ini adalah Raden Tumenggung Aria Sosrodilogo. Ia melawan penjajahan Belanda di wilayahnya, Jipang, hingga berhasil merebut Rajekwesi dari Belanda. Semangatnya yang tinggi membangkitkan perlawanan kaum muslimin di tempat lain, seperti Baureno, Bancar, dan Rembang. Mereka memahami bahwa mempertahankan negeri muslim merupakan jihad yang sangat besar pahalanya.
Namun, banyak pengikut Sosrodilogo yang kemudian berhasil ditangkap oleh Belanda. Akibatnya, kekuatan pasukan Sosrodilogo pun melemah. Rajekwesi berhasil direbut kembali oleh Belanda pada tahun 1828. Kemudian, pada tanggal 3 Oktober 1828, Sosrodilogo pun menyerahkan diri kepada Belanda.
Perlawanan Sosrodilogo ini menjadi trauma tersendiri bagi Belanda. Karena itu, Belanda berusaha untuk menghapus ingatan masyarakat Bojonegoro terhadap kepahlawanan Sosrodilogo. Belanda kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Bojonegoro dan mengganti namanya menjadi Kabupaten Bojonegoro pada tanggal 25 September 1828.
Menjadi Tempat Wisata
Jembatan bernama Sosrodilogo mulai dibangun sejak tahun 2016, pada saat Bojonegoro dipimpin oleh Dr. Suyoto, M.Si., yang biasa dipanggil Kang Yoto. Jembatan itu baru selesai dan diresmikan oleh pengganti Kang Yoto, Dr. Hj. Anna Muawanah, M.H., pada tahun 2019. Dengan panjang 145 meter dan lebar 9 meter, pembangunan jembatan itu menghabiskan biaya Rp100 miliar.
Yang menarik, jembatan ini dilengkapi dengan jalur khusus pejalan kaki dan sepeda ontel. Jalur itu terletak di kiri dan kanan jembatan. Ada pemisah antara jalur tersebut dengan jalur kendaraan bermotor. Dengan demikian, jalur itu aman bagi anak-anak.
Karena itu, sejak diresmikan, jembatan ini banyak dikunjungi masyarakat sekitar. Di pagi hari, saat jembatan masih sepi dari lalu lintas kendaraan, banyak yang datang di jembatan ini. Ada yang bersepeda, berjoging, atau sekadar berjalan-jalan menikmati udara pagi. Kadang-kadang, ada juga ibu-ibu yang melakukan senam pagi di atas jembatan. Di bulan Ramadan seperti ini, banyak juga warga yang menunggu azan Maghrib di atas jembatan sambil menikmati keindahan senja.
Selain menikmati udara pagi, mereka juga dapat menikmati indahnya matahari terbit di pagi hari atau matahari terbenam di sore hari. Posisi jembatan yang tinggi, membuat orang yang berada di atasnya leluasa menyaksikan datang dan perginya sang mentari tanpa terhalang bangunan-bangunan di sekitarnya.
Di malam hari, lampu berwarna-warni akan menambah keindahan jembatan yang mirip dengan Jembatan Suramadu di Surabaya ini. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri. Namun, selama pandemi, lampu warna-warni itu dipadamkan untuk mencegah berkumpulnya orang-orang di sana. Karena mirip dengan Jembatan Suramadu, masyarakat di sekitar Kabupaten Bojonegoro banyak yang datang ke sini. Kebanyakan mereka dari kabupaten tetangga Bojonegoro, seperti Tuban dan Lamongan. Biasanya, mereka menjadikan jembatan ini sebagai spot swafoto, dengan latar Bengawan Solo atau matahari terbenam.
Kedatangan para pengunjung ini, membawa berkah tersendiri bagi masyarakat di sekitar jembatan. Mereka pun berinisiatif untuk membuka usaha. Ada warung kopi, warung makan, hingga kafe. Salah satu yang viral adalah warung soto yang sangat murah. Satu mangkuk nasi soto harganya hanya seribu rupiah.
Sayangnya, keberadaan tempat wisata juga membawa dampak buruk. Sering kali tempat itu juga menjadi tempat maksiat. Salah satunya, dijadikannya tempat wisata itu sebagai tempat nongkrong anak-anak muda bersama teman-teman mereka. Laki-laki dan perempuan yang bukan mahram itu pun berinteraksi secara bebas di sana.
Bahkan, banyak pula di antara pengunjung itu yang merupakan pasangan kekasih. Aktivitas yang mereka lakukan itu dapat dihukumi perbuatan mendekati zina. Sayangnya, masyarakat menganggap hal semacam itu biasa saja. Padahal, perbuatan itu dilarang syarak. Allah Swt. telah menyampaikan larangan ini dalam Al-Qur'an Surah Al-Isra [17] ayat 32,
ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا
"Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya, hal itu merupakan perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan."
Semestinya, tempat wisata itu dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan terhadap Allah Swt. Melalui berbagai keindahan ciptaan-Nya itu, manusia semakin menyadari betapa banyaknya nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepada mereka. Hal itu akan menambah rasa syukur mereka. Rasa syukur itu mereka buktikan dengan menjalankan seluruh aturan-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Wallaahu a'lam bishshawaab.
Saya pernah ke Bojonegoro tapi belum pernah melewati jembatan ini. Pasti nyaman bisa lewat jika tidak banyak yang nongkrong di jembatan. Karena Jembatannya ada jalan khusus sepeda dan pejalan kaki.
Jembatannya tidak memungkinkan untuk dipakai nongkrong, Mbak. Ayo ke Bojonegoro lagi. Sekalian mampir ke rumah saya.
Mohon dukungan masyarakat Yogyakarta, Bojonegoro dan rekan sejarawan yang mencintai dan menghormati pahlawan bangsa.
Karena situasi kala itu, Eyang Sasradilaga sebenarnya tidak ingin diketahui keberadaannya. Tetapi karena saat ini makam beliau yang seharusnya menjadi cagar warisan sejarah dan budaya, diusik dijual untuk paket pesugihan dan dirusak tangan tangan tidak bertanggung jawab, maka twrpaksa saya mengungkap keberadaan beliau.
Setelah pangeran Diponegoro ditangkap, sebenarnya eyang Nggung menjadi tahanan kota di Yogyakarta, wafat karena usia dan ingin tetap dimakamkan di Yogya. Selebihnya monggo rekan rekan sejarawan meneliti makam sederhana beliau di kota gede yang sebenarnya adalah makam keluarga beliau dan para pengikut setia yaitu 9 orang kepala pasukan, eyang senopati, eyang Pergolo & eyang Lowo ijo.
Makam sederhana beliau yaitu makam Sambirejo terletak di pedukuhan Sambirejo, Jl. Nyi Wiji Adhisoro, kecamatan Kotagede, kodya Yogyakarta, DIY.(makam Sambirejo, di Waze dan google map sudah ada).
Terima kasih.
Masya Allah ....
Terima kasih atas tambahan ilmu sejarah yang diberikan. Meskipun makam beliau sederhana, tetapi jasa beliau akan tetap diingat oleh masyarakat.
Sekedar informasi, saat ini makan Eyang Gung (begitu kami biasa menyebutnya) sedang dalam proses renovasi bangunan
Mohon doanya semoga semuanya dilancarkan.