"Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 179)"
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor Narasipost.Com)
NarasiPost.Com-Di antara makna qishas secara bahasa adalah mengikuti jejak yang seolah-olah pelaku pembunuhan mengikuti atau menempuh jejak suatu pembunuhan. Namun Al-Fayumi mengatakan bahwa qishas lebih sering digunakan dalam kaitan membunuh orang yang melakukan pembunuhan, melukai orang yang melukai dan memotong bagian tubuh orang yang memotong bagian tubuh orang lain.
Sedangkan menurut makna istilah, kata qishas sering didefinisikan sebagai diperlakukannya pelaku jarimah atau kejahatan selayaknya dia memperlakukan hal yang demikian kepada korbannya. Makna sederhananya adalah qishas merupakan hukuman bagi pelaku kejahatan yang prinsip dasar ditegakkannya berdasarkan kesetaraan bentuk kejahatannya.
Dalam kitab tafsirnya Ruhul Ma’ani (2/113), Al-Alusi mengatakan, “Bentuk kata al-qishas adalah isim ma’rifah yang menunjukkan jenis, yang bermakna tentang hakikat hukum ini, meliputi hukuman balasan berupa pukulan, pencederaan, pembunuhan dan sebagainya.”
Sehingga dikatakan qishas adalah salah satu bentuk hukuman yang ditetapkan sebagai bentuk pembalasan yang setara bagi suatu perbuatan pembunuhan ataupun pencederaan.
Di dalam Tafsir Ath-Thabari (3/381—383 disebutkan bahwa sesungguhnya di dalam qishas ada jaminan kelangsungan hidup. Para ulama mengartikan hal itu sebagai berikut:
Qatadah berkata, “Makna qishas adalah jaminan kelangsungan hidup yakni hukuman dan peringatan bagi manusia yang kurang berakal lagi pandit.”
Mujahid mengatakan, "Makna dari jaminan kelangsungan hidup adalah suatu hukuman yang dijadikan peringatan bagi orang lain."
Sedangkan Ar-Rabi’ menegaskan, “Qishas sebagai ibrah atau pelajaran.”
Sementara Ibnu Juraij mengatakan, “Qishas sebagai pencegahan.”
Abu Shalih, as-Suddi, ats-Tsauri, dan Ibnu Zaid mengatakan, “Hal itu bermakna ketetapan juga kekekalan.”
Sedangkan Adh-Dhahhak mengatakan, “Maknanya adalah kebaikan dan keadilan.”
Di sisi lain, Al-Alusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/1130), “Arti dari qishas sebagai jaminan kelangsungan hidup tidak lain adalah kelangsungan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Jaminan kelangsungan hidup di dunia ini jelas, sebab dengan disyariatkannya qishas diharapkan seseorang akan takut melakukan kejahatan berupa pembunuhan dan pencederaan. Sehingga qishas menjadi faktor penyebab berlangsungnya hidup manusia. Adapun kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan faktor sanksi Islam sebagai zawajir, yaitu orang yang membunuh jiwa dan dia telah diqishas di dunia oleh negara Islam, kelak di akhirat ia tidak akan dituntut dan diazab untuk memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”
Hukuman yang setara bagi pelaku kejahatan pembunuhan adalah dengan cara membunuhnya. Begitu pula dengan penjahat yang melukai orang lain atau perbuatan yang mengakibatkan cacat fisik, maka hukuman yang setara adalah qishas, yaitu dilukai atau dibuat cacat sebagaimana korbannya. Nyawa untuk nyawa, mata untuk mata, telinga untuk telinga.
Sayangnya pemahaman terhadap qishas di masyarakat masihlah sangat rendah, sehingga qishas sering dianggap sebagai sesuatu yang sadis, kejam, menakutkan, dan tidak manusiawi, melanggar HAM, sehingga pemahaman inilah yang akhirnya menimbulkan fenomena Islamofobia. Sebagaimana yang terjadi di Afganistan baru-baru ini, yang menimbulkan pro kontra dari kalangan aktivis hak asasi manusia dan pembenci Islam. Padahal Allah Azza wa Jalla menggambarkan qishas dalam firman-Nya surah al-Baqarah ayat 179:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian bertakwa."
Imam As-Syaukani rahimahullah menjelaskan terkait ayat ini dalam Fathul-Qadîr 1/179 dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqh 2/47: “Artinya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum yang Allah syariatkan ini, karena jika seseorang mengetahui akan dibunuh secara qishas karena ia membunuh orang lain, maka pastilah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari menganggap enteng pembunuhan serta terjerumus padanya."
Oleh karena itu, sama seperti jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk balagah atau sastra tingkat tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah menjadikan qishas yang sejatinya adalah kematian, menjadi sebuah jaminan kelangsungan hidup, dilihat dari akibat yang dihasilkan yaitu dapat mencegah manusia saling bunuh. Hal ini tentu dalam rangka menjaga eksistensi jiwa manusia dan keberlangsungan kehidupan mereka.
Allah pun menjelaskan ayat ini diperuntukkan bagi ulul albab yaitu orang yang berakal. Sebab merekalah orang-orang yang dengan menggunakan akal dan ilmunya berpandangan jauh ke depan sehingga mereka berlindung dari bahaya yang muncul kemudian hari. Sedangkan orang yang jahil, dikarenakan kebodohan, mereka berfikiran pendek dan mudah emosi, sehingga tidak mempertimbangkan akibat yang akan datang dan tidak berfikir tentang masa depannya.
Hubungan antara Qishas dengan Jinayat
Hubungan qishas dengan jinayat sangatlah erat, yang bahkan sering disamakan penyebutannya dalam banyak kesempatan. Namun sesungguhnya istilah itu tetaplah berbeda. Al-Jurjani mengartikan jinayat secara istilah, sebagai, "Segala perbuatan yang terlarang dan berhubungan dengan dharar atau sesuatu yang membahayakan baik bagi diri sendiri ataupun bagi orang lain"
Hubungan qishas dengan jinayat merupakan hubungan sebab akibat. Perbuatan jinayat atau kejahatan yang dilakukan oleh seseorang akan mengakibatkan dirinya dijatuhi hukum qishas. Contohnya, ketika seseorang membunuh dan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja, maka dia telah melakukan perbuatan jinayat. Untuk itu sebagai hukuman yang harus diterimanya adalah dia dapat dijatuhi hukuman qishas yaitu dihukum mati.
Akan tetapi jika pihak keluarga korban memaafkannya, hukum qishas bisa saja dianulir, sehingga pelaku tak perlu dibunuh, namun cukup dengan membayar diat atau denda saja. Bahkan jikalau keluarga korban telah dengan ikhlas memaafkan, maka pelaku dapat dibebaskan dari ancaman hukum qishas juga diat.
Pengajar tetap Masjid Nabawi, Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza'iri menjelaskan detail syarat penerapan hukum qishas dalam kitab Minhajul Muslim yang harus dipenuhi, yaitu:
Pertama, jika pelaku adalah pelaku zina yang sudah menikah (muhsan) dan murtad keluar dari Islam. Sementara untuk korban yang keluarganya berhak menuntut qishas adalah yang jiwanya terlindungi yaitu seorang muslim.
Kedua, pelaku pembunuhnya adalah seorang mukalaf yaitu dewasa yang telah balig atau telah berakal. Jika dia seorang anak kecil atau hilang akal alias gila, maka tidak ada qishas atas pembunuhan yang telah dilakukan.
Ketiga, kedudukan pelaku pembunuhan setara dengan korban dalam hal agama, kebebasan, dan penghambaannya. Kedua belah pihak harus berada di posisi yang seimbang, sehingga dapat menuntut ganti rugi atau denda.
Keempat, pelaku bukanlah orang tua, baik bapak ataupun ibu, kakek ataupun nenek dari korban. Karena orang tua tidak dapat menerima qishas terkait pembunuhan yang dilakukannya pada anaknya.
Begitupun penuntut qishas terkait aturan hukuman mati dalam Islam juga harus memenuhi beberapa syarat bisa mendapatkan haknya: Yaitu penuntut harus mukalaf atau dewasa. Jika masih anak-anak maka ditunggu dewasa dan apabila gila ditunggu sampai ia sadar atau sembuh. Setelah itu penuntut berhak mengajukan qishas, mengambil diat, ataukah memaafkan pelaku.
Begitu pula pengajuan qishas harus disepakati oleh seluruh anggota keluarga. Jika sebagian anggota keluarga memaafkan pelaku, maka tidak ada qishas bagi keluarga korban. Dan bagi yang tidak memaafkan akan mendapat diat.
Menjamin eksekusi tidak akan melebihi batas luka serta tidak membunuh orang lain selain pelakunya. Jika pelakunya adalah wanita yang sedang hamil, maka eksekusi akan ditunggu hingga pelaku melahirkan dan menyapih anaknya.
Eksekusi tersebut harus dilakukan di hadapan penguasa negara Islam atau Khilafah. Eksekusi pun harus dilakukan dengan alat yang tajam sehingga tidak menyakiti.
Sungguh di dalam qishas itu terdapat banyak hikmah, di antaranya:
Pertama, menjaga masyarakat dari meremehkan kejahatan dan menahan tangan setiap orang yang akan menumpahkan darah sesamanya. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 179 di atas.
Kedua, mewujudkan keadilan dan membantu yang terzalimi dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas pelaku setara dengan apa yang dilakukan pelaku kepada korban. Dalam surah Al-Isra‘ ayat 33 Allah berfirman:
"Dan siapa saja yang dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya mereka adalah orang yang mendapat pertolongan."
Ketiga, menjadi sarana tobat dari dosa yang telah dilakukannya, karena qishâs menjadi kafarat atau penghapus dosa pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
"Berbaiatlah kalian kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri juga tidak berzina, tidak membunuh anak kalian, tidak melakukan kebohongan dan berbuat durhaka dalam hal kebaikan. Barang siapa menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah, dan siapa yang melanggar sebagiannya kemudian dihukum di dunia, maka hukuman itu sebagai kafarat atau penghapus baginya, dan siapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi perbuatannya, maka urusannya ada pada Allah. Jika Dia berkehendak maka Dia mengazabnya dan jika Dia menghendaki maka Dia mengampuninya."
Wallahu a'lam[]