"Pemuda di era kapitalisme ini beranggapan bahwa kebahagiaan itu adalah ketika diri mendapat pengakuan dan penghargaan dari orang lain yang dicapai melalui jalan popularitas, harta berlimpah, fisik, dan penampilan yang sempurna serta memiliki posisi dalam suatu jabatan."
Oleh. R. Bilhaq
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Telah dimaklumi bersama bahwa setiap manusia yang hidup di dunia ini akan berharap kebahagiaan selalu menyertai perjalanan hidupnya setiap saat, kapan pun dan di mana pun dirinya berada. Namun, pemahaman yang salah dalam memandang kebahagiaan ini justru membuat manusia itu sendiri terjerumus ke dalam jurang kehancuran di dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan dalam pandangan Islam adalah ketika manusia mendapat keridaan dari Allah Swt. Sang Pencipta. Untuk mendapat keridaan tersebut tentunya manusia harus melakukan apa-apa yang Allah Swt. inginkan, yakni menaati segala perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya sebagaimana yang termaksud dalam Al-Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya, “Tidaklah Ku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Di zaman era media sosial ini, sangatlah mudah melihat dunia luar melalui ponsel yang mana sering dijadikan ajang untuk memamerkan diri hingga tak jarang membuat para pemuda salah satunya tergiur untuk berada di posisi yang sama. Untuk apa? Ya, tujuannya tak lain hanyalah ingin mendapat pengakuan dan penghargaan dari banyak orang sebagaimana yang telah diraih orang-orang sukses dalam anggapan mereka.
Alhasil, tak heran jika mereka menjadi pribadi yang haus akan berbagai macam pujian. Namun, karena ketidakberdayaan mereka dalam mencapai itu semua akhirnya malah membuat diri mereka menjadi pribadi yang insecure. Ya, mereka pun menjadi pribadi yang tidak bersyukur atas besarnya nikmat Allah Swt. yang telah diberikan pada diri mereka.
Semakin besar insecure mengakar dalam diri mereka, semakin besar pula kemungkinan diri mereka akan selalu merasa lelah. Oleh sebab inilah, mereka melarikan diri dengan healing yang merugikan diri seperti nongkrong tak jelas di tengah malam, konsumsi minuman keras, menggunakan narkoba, tawuran, perundungan, pacaran, zina hingga mencapai tahap mengakhiri hidup, sungguh betapa mirisnya.
Tak seperti potret pemuda tersebut di atas, pemuda di zaman kegemilangan Islam pada masa lalu adalah pemuda yang sangat bahagia sebab diturunkannya agama Islam ini ke muka bumi. Mereka pun dikenal sebagai pemuda yang bertakwa karena ketaatannya pada Allah Swt. dan juga Rasul-Nya, Muhammad saw. Nabi yang mulia. Berbanding terbalik dengan pemuda di era kapitalisme ini yang justru banyak terjerumus dalam kubangan kemaksiatan. Berawal dari salah kaprahnya dalam memandang kebahagiaan itu sendiri. Pemuda di era kapitalisme ini beranggapan bahwa kebahagiaan itu adalah ketika diri mendapat pengakuan dan penghargaan dari orang lain yang dicapai melalui jalan popularitas, harta berlimpah, fisik, dan penampilan yang sempurna serta memiliki posisi dalam suatu jabatan.
Dunia ini memang akan selalu terus dipenuhi dengan segala macam hiruk-pikuknya berbagai urusan. Namun, kondisi seperti ini janganlah sampai membuat diri para pemuda berpaling dari tujuan akhir yang sebenarnya, yakni kehidupan akhirat. Anggaplah kehidupan dunia ini sebagai peluang besar untuk terus beramal saleh guna mendapat keridaan Allah Swt. sampai batas waktu yang ditentukan.
Sungguh Allah Swt. tak pernah sekalipun memandang pribadi manusia dari kekayakannya, fisik, apalagi jabatan. Allah Swt. hanyalah memandang ketakwaan yang ada dalam diri tiap-tiap hamba-Nya.
Telah diketahui bersama bahwa di awal-awal dakwahnya Rasululllah saw. dalam menyebarkan agama Islam di Mekkah, para pemuka Quraisy pun sangat merasa gelisah dan khawatir kaumnya akan semakin banyak yang masuk ke dalam agama Islam. Akhirnya pemuka Quraisy tersebut memberikan penawaran kepada Rasulullah saw. dengan berbagai macam kesenangan dunia berupa harta kekayaan, kemuliaan, dan kedudukan dengan syarat berhenti menyebarkan risalah agama Islam yang dibawanya. Apakah Rasulullah saw. Tergiur begitu saja dengan tawaran tersebut? jawabannya tentu tidak, yang ada Rasulullah saw. justru semakin giat dalam berdakwah menyampaikan risalah Islam ini guna mengharapkan keridqoan Allah Swt. Rabb Yang Maha Agung.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya kebahagiaan hakiki itu datangnya hanyalah dari Allah Swt. semata. Dan bisa juga disimpulkan bahwa semua berbagai macam kesenganan di dunia ini tak akan mampu menandingi kenikmatan di kehidupan akhirat kelak. Perlu ditekankan juga bahwa kemaksiatan sama sekali bukanlah sumber kebahagiaan. Jika ada seseorang yang mengaku bahagia ketika berbuat maksiat, ketahuilah itu hanyalah murni sebuah kebohongan yang dilatarbelakangi oleh hawa nafsunya semata. Yakinlah bahwa Allah Swt. satu-satunya yang mampu memberikan penghargaan terbaik bagi para hamba-Nya, di dunia maupun di akhirat kelak.
Ingatlah, bahagianya manusia adalah ketika dirinya melabuhkan hatinya hanya pada Allah Swt. saja. Hatinya hanya akan tenang dengan mengingat asma-Nya dan rida menjalani kehidupan dunia ini dengan berlandaskan pada syariat-Nya. Kuatkan iman agar tidak terpengaruh dengan berbagai masifnya gempuran pemikiran kaum kafir penjajah yang terus mempromosikan kebahagiaan semu pada umat Islam. Percaya penuh sajalah dengan balasan berupa kenikmatan yang telah Allah Swt. janjikan dan yakinlah bahwa hanya dengan aturan Islam yang rahmatan lil’alamin inilah seluruh makhluk yang patuh pada-Nya pasti akan memperoleh kebahagian hakiki yang sempurna.