“Tidak termasuk ke dalam golongan kami siapa saja yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, serta tidak memahami hak para ulama. (Imam Ahmad)”
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor Narasipost.Com)
NarasiPost.Com-Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Ilmu akan mengangkat kemuliaan seseorang, bahkan orang yang berilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah beberapa tingkatan. Allah berfirman dalam surat Al-Mujadillah ayat 11:
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ
"Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti dari apa yang kamu kerjakan."
Memang berilmu adalah suatu kemuliaan bagi manusia, ilmu adalah jalan menuju kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Ketika ilmu diraih maka bukan tidak mungkin segala sesuatu pun bisa dicapai. Baik perkara dunia terlebih perkara akhirat membutuhkan ilmu. Dengan ilmu manusia dapat menyelesaikan masalah duniawinya, dengan ilmu pula ia akan menjalankan tugasnya sebagai hamba yaitu menyembah Allah. Dengan ilmu manusia mencapai kedudukan mulia dan derajat yang tinggi sebagai seorang hamba.
Akan tetapi, ada perkara yang lebih tinggi kedudukannya dari pada ilmu, yaitu adab atau akhlak. Dikatakan bahwa orang yang beradab sudah pasti ia berilmu, tetapi orang yang berilmu belum tentu ia beradab. Ilmu tanpa disertai adab laksana api tanpa kayu bakar, sementara adab tanpa ilmu layaknya jasad tanpa ruh. Bahkan disebutkan bahwa kemuliaan seseorang tergantung adabnya. Begitulah setinggi apa pun ilmu seseorang, namun jika tanpa dihiasi dengan adab atau akhlak yang mulia, maka dapat menjerumuskan dirinya dalam perilaku laksana hewan. Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan “Al adabu fauqol ‘ilmi” artinya adab lebih tinggi daripada ilmu.
Begitu pentingnya adab, bahkan para ulama terdahulu begitu fokus mengingatkan kita untuk lebih dulu mempelajari adab sebelum menuntut ilmu. Karena begitu pentingnya adab dalam menyertai keilmuan seseorang. Syekh Shaleh Al ‘Ushaimi pernah berkata, “Dengan memperhatikan adab maka ilmu akan mudah diraih. Namun, jika adab kurang diperhatikan, maka ilmu akan diabaikan.”
Karena itulah para ulama salaf sangat memperhatikan adab hingga mereka sangat serius mempelajarinya. Di antaranya adalah Ibnul Mubarok yang berkata, “Kami belajar masalah adab selama 30 tahun sementara kami belajar ilmu hanya selama 20 tahun.” Juga ada Ibnu Sirin yang berkata, "Para ulama terdahulu mempelajari tentang adab selayaknya mereka menguasai suatu ilmu.” Juga Makhlad bin Al Husain menyampaikan kepada Ibnul Mubarok, “Kami lebih membutuhkan belajar adab daripada menguasai hadis lebih banyak.” Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ menyebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata, “Kami lebih banyak nukil terkait adab daripada ilmunya " Imam Malik sendiri pun pernah berkata dalam Al Madkhol, 1: 164, “Dulu aku diperintahkan oleh ibuku untuk duduk bermajelis dengan seorang fakih di Madinah pada masanya yaitu Rabi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman . Ibuku mengatakan, 'Kisah-kisah tentang para ulama serta duduk membersama mereka lebih aku cintai daripada menguasai beberapa bab dalam bidang fikih. Karena diajarkan berbagai adab dan akhlak yang mulia dalam kisah mereka.'”
Sungguh ini yang terjadi di zaman mereka para ulama salaf, bagaimana dengan zaman kita ini? Ketika adab sudah tak lagi diperhatikan, akhlak mulia seakan telah sirna, para murid yang jauh dari akhlak mulia terhadap gurunya, pemuda yang tak menghormati yang tua, serta norma-norma agama yang disepelekan.
Dalam bahasa Arab, adab berarti budi pekerti, sopan santun, atau tata krama. Imam Al-Ghazali menyebutkan makna adab adalah moral, etika, atau nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat. Seorang manusia yang dapat menjaga adabnya maka ia telah berhasil dalam segala hal. Dan di dalam agama Islam, adab haruslah bersumber dari dua hal yaitu Al-Qur'an dan sunah yaitu segala perilaku nabi, baik perkataan, perbuatan, maupun diamnya beliau.
Akan tetapi, pepatah Arab "Adab di atas ilmu" lebih tepat jika digunakan bagi mereka yang telah menguasai ilmu. Sehingga ia akan berusaha untuk menyempurnakan ilmunya dengan kemuliaan adab. Dan pepatah Arab ini kurang tepat jika ditujukan kepada orang jahil yang tak berilmu, karena malah akan membuatnya mengira bahwa ilmu itu tidak penting, yang akhirnya ia akan merendahkan ahli ilmu dan membenarkan kebodohannya.
Maka bagi para pencari ilmu, salah satu adab yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bagaimana adab kita terhadap para guru kita. Karena guru adalah salah satu faktor terbesar dalam penyebaran ilmu, terutama ilmu agama. Mereka para guru agama, adalah para pewaris nabi. Mereka laksana bintang penunjuk jalan di tengah gelapnya samudra bagi para pelayar. Mereka laksana cahaya di tengah gulitanya malam. Merekalah jalan kita menemukan cahaya Islam di tengah kebodohan kita.
Ingatlah pesan Rasulullah yang bersabda dalam sebuah hadis riwayat Imam Ahmad, “Tidak termasuk ke dalam golongan kami siapa saja yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, serta tidak memahami hak para ulama.” Dari hadis tersebut jelaslah bahwa, sebagai murid kita harus menghormati para ulama, dan wajib bagi kita untuk memperlakukan mereka sesuai dengan haknya.
Di antara adab terhadap guru yang harus kita lakukan adalah:
Pertama, menghormatinya. Para pendahulu kita, para teladan terbaik setelah Rasulullah untuk manusia telah mencontohkan adab mulia dalam hal menghormati guru. Imam Bukhari meriwayatkan dari seorang sahabat Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “Di kala kami sedang duduk-duduk di masjid, keluarlah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kemudian beliau duduk di depan kami. Maka serasa di atas kepala kami ada burung. Tak seorang pun dari kami berani berbicara”
Sepupu Rasulullah, ulama umat ini, Abdullah Ibnu Abbas seorang sahabat yang alim, pernah menuntun tali kekang kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari dan berkata,"Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami." Juga Abdurahman bin Harmalah Al Aslami yang berkata, “Tidaklah seseorang yang berani bertanya kepada Said bin Musayyib, hingga dia meminta izin, layaknya kepada seorang raja.” Ar-Rabi’ bin Sulaiman murid Imam Syafi'i juga berkata, “Demi Allah, aku tidak berani minum air di kala Asy-Syafi’i menatapku karena seganku kepadanya."
Kedua, tawaduklah kepada mereka. Tawaduk adalah sikap merendahkan hati. Tidak merasa tinggi hati dan sombong merupakan sikap tawaduk kita kepada guru kita. Dengan berharap mereka rida dengan ilmu yang mereka berikan kepada kita. Karena Khalifah Umar bin Khattab mengingatkan kita, dalam riwayat Imam Al-Baihaqi, “Tawaduklah kalian terhadap orang yang mengajari kalian ilmu." Begitu pun Imam As Syafi’i pernah berkata, “Dulu aku akan dengan sangat lembut dalam membolak-balikkan kertas di depan Imam Malik, dikarenakan rasa seganku padanya, dan agar dia tak terganggu sebab mendengarnya."
Betapa mulia akhlak para suri teladan umat ini, maka tidaklah mengherankan jika akhirnya mereka menjadi ulama besar yang ilmunya bermanfaat hingga hari ini. Sungguh keberkahan ilmu mereka merupakan buah dari akhlak mulia mereka terhadap para gurunya. Inilah yang harus kita contoh dan terapkan dalam kehidupan kita. Di tengah arus kerusakan zaman yang telah mengikis nilai-nilai Islam yang mulia.
Maka berdoalah agar kita mempunyai adab dan akhlak yang mulia layaknya akhlak para ulama terdahulu. Rasulullah pun telah mengajarkan kita berdoa meminta petunjuk kepada Allah agar kita mudah berprilaku dengan akhlak yang baik, dalam hadis riwayat Imam Nasa’i No. 896 yang disahihkan oleh Syekh Al-Albani.
اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, tunjukilah aku agar dapat beramal dengan sebaik-baik amalan, sebaik-baik akhlak, tidak ada yang dapat menunjuki untuk berbuat baik kecuali Engkau. Dan lindungilah kami dari buruknya amalan juga buruknya akhlak, dan tidak ada yang melindungi dari keburukannya kecuali Engkau."
Wallahu a'lam[]