"Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena agamanya, nasabnya, hartanya dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya, maka kamu akan selamat." (HR Bukhari Muslim)
Oleh: Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Berita pernikahan Putri Mako dari Kekaisaran Jepang dengan kekasihnya, Kei Komuro, beberapa waktu lalu menjadi perhatian media massa dunia. Sebagaimana diwartakan Kompas, 31/10/2021, keputusan Putri Mako untuk menikah dengan Kei Komuro membuatnya kehilangan status kerajaannya. Secara nasab Putri Mako merupakan keponakan dari Kaisar Jepang saat ini, Naruhito. Dalam aturan hukum di Jepang, anggota keluarga kekaisaran perempuan harus melepaskan status mereka. Jika ingin menikah dengan orang biasa, hal ini tidak berlaku bagi anggota kerajaan laki-laki. Kei Komuro yang kini resmi menjadi suaminya Putri Mako adalah seorang pekerja biasa tidak memiliki darah biru kekaisaran.
Pernikahan adalah akad suci yang saling mengikat. Sama halnya dengan syariat Islam yang mengatur nikah untuk menjaga keturunan dan kehormatan manusia. Bukan semata-mata untuk mendapatkan kenikmatan syahwat (gharizah nau), melainkan pula tuntunan syariat yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Namun, bedanya Islam tidak mensyaratkan adanya kafa’ah atau sekufu bagi mereka yang akan melangsungkan pernikahan.
Pernikahan sejatinya dilandasi kerelaan masing-masing pasangan dan lebih penting lagi adalah kesadaran tentang akad nikah sebagai ikatan yang Allah Swt. ridai. Memilih pasangan harus memperhatikan beberapa hal, seperti bibit, bebet dan bobot agar di kemudian hari masing-masing pihak bisa saling memahami kekurangan dan kelebihan pasangannya. Namun demikian, bukan berarti menikah mensyaratkan sederajat atau adanya kesepadanan (kafa’ah) agar pernikahan bisa langgeng.
Syariat Islam Tidak Mensyaratkan Kafa’ah
Ada yang berasumsi bahwa kafa’ah merupakan syarat bagi calon suami, tidak bagi calon istri. Di dalam hukum adat daerah tertentu, calon suami harus “menyesuaikan” dengan calon istrinya dalam sifat-sifat yang biasanya diperhitungkan dalam pergaulan sosial, termasuk marga atau garis keturunan dan harta kekayaan. Seorang wanita yang akan dinikahi dianggap memiliki “harga jual” yang harus “dibeli” dengan nilai yang sepadan. Kehormatan mempelai wanita seolah dinilai dari seberapa besar nilai “mahar” atau status sosial mempelai lelakinya. Persoalan seperti ini dalam syariat Islam tidak pernah dikenal, bahkan Al-Qur'an pun tidak pernah menyinggung soal kafa’ah ini, kecuali beberapa hadis dan itu pun statusnya hadis palsu.
Nilai kesepadanan (sekufu) menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab "An Nidzam Al Ijtimai" merupakan kesalahan dalam menafsirkan beberapa hadis yang sebenarnya memiliki makna tentang harus adanya kerelaan seorang wanita saat dipinang atau dinikahi. Menikah harus dilandasi kerelaan bukan karena harus sepadan (sekufu). Dalam hal ini masing-masing pasangan harus memperhatikan beberapa kriteria yang bukan karena fisik dan hartanya saja, melainkan masalah pemahaman agamanya yang utama. "Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena agamanya, nasabnya, hartanya dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya, maka kamu akan selamat." (HR Bukhari Muslim)
Banyaknya kasus perceraian dalam kehidupan rumah tangga saat ini, tidak lain karena nilai agama sering dipinggirkan, terlebih aturan kehidupan yang diterapkan adalah sekularisme. Tuntutan ekonomi yang tinggi karena negara mengabaikan pengurusan masyarakat secara umum dan menyeluruh. Budaya hedonisme dan konsumerisme menjadikan orang cenderung untuk memilih pasangan yang sepadan (sekufu). Lebih parah lagi jika pernikahan dianggap akad ijarah, yang menjadikan wanita bisa “disewakan” jasanya sebagaimana dalam nikah kontrak. Unsur kerelaan atau suka sama suka tidak ada nilainya dalam nikah kontrak.
Menikah bukanlah ijarah (sewa jasa), melainkan istibahah, artinya orang yang melakukan pernikahan adalah pasangan yang sama-sama dihalalkan atas jasa pasangannya, namun tidak boleh memindahkan jasa tersebut kepada orang lain. Karena itu, haram hukumnya nikah kontrak. Akad nikah menuntut kesetiaan masing-masing pasangan dan menjaga keharmonisan yang dilandasi nilai ketakwaan.
Mencari pasangan yang sekufu (sepadan) sering dianggap solusi agar pernikahan tidak berjalan seumur jagung. Jika masing-masing pasangan memiliki kesamaan derajat atau kedudukan kelas sosial, maka dianggap bisa membangun keharmonisan dalam kehidupan berumah tangga. Padahal, keharmonisan dan bahagianya kehidupan berumah tangga ada pada nilai ketakwaan yang dilandasi keterikatan pada hukum syariat Islam yang dijalankan individu, masyarakat dan negara.
Bercermin pada Pernikahan Bilal
Rasulullah saw. menikahkan sepupu perempuannya, Zaynab binti Jahsyi al Asadiyah dengan maula (hamba sahaya) yang telah dimerdekakan, Zayd Ibn Haritsah. Pun Bilal bin Rabah dengan saudara perempuannya Abdurrahman bin Auf. Jika mengingat tingkat derajat mereka masing-masing tentu sangat timpang. Namun, inilah pelajaran penting bahwa kemuliaan manusia tidaklah terletak pada nasab (garis keturunan), kasab (pekerjaan) ataupun status sosial berupa harta kekayaan. Bilal, misalnya kemuliaannya bukan karena menikah dengan seorang sepupu hartawan Abdurrahman bin Auf, melainkan nilai ketakwaan dan kesetiaannya mengikuti risalah yang dibawa Rasulullah saw.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
Tidak mengherankan, jika pernikahan Bilal bin Rabah menjadikan cermin bahwa aturan Islam dalam pernikahan tidak harus mencari yang sekufu. "Aku melihat saudara perempuan Abdurrahman bin Auf berada di bawah tanggung jawab (menjadi istri) Bilal bin Rabah." (HR Ad Daruquthni)
Perbedaan warna kulit, etnis dan juga status sosial bukanlah penghalang untuk melangsungkan pernikahan karena tidak ada istimewanya orang Arab dengan bukan orang Arab. "Tidak ada keistimewaan bagi orang Arab atas yang non Arab, kecuali dengan takwa." (HR Ahmad). Manusia hanya dibedakan berdasarkan nilai ketakwaannya dan itu terkait nilai-nilai agama yang harus disamakan persepsinya karena sudah menyangkut akidah, bukan lagi persoalan kafa’ah. Dalam perkara ini, seorang wanita muslim (muslimah) tidak boleh memilih pasangannya dari lelaki nonmuslim, sekalipun itu ahlul kitab dan menarik hatinya.
Wallahu’alam bish Shawwab.[]