Peran pemerintah (khalifah) dalam menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan yang mencukupi bagi rakyatnya juga akan menjamin rakyatnya bisa berdaya dalam memenuhi hajat hidupnya. Rakyat tak perlu lagi mengemis pada asing untuk mengentaskan masalah pengangguran dan kemiskinan.
Oleh: Dewi Purnasari
(Aktivis dakwah)
NarasiPost.com - Banyak orang berkata, “Nikmat itu sederhana, cukup ada sepiring nasi hangat dan sambal, yang penting badan sehat dan perut dalam kondisi lapar.” Sesimpel itukah? Kenyataannya tidak. Bagi banyak orang di negeri ini, tak mudah walaupun hanya untuk mendapatkan sepiring nasi hangat dan sambal. Apalagi mempunyai badan yang sehat, lebih sulit lagi. Kalau perut lapar, itu barulah kondisi yang sering dialami rakyat negeri yang kaya sumber daya alam ini.
Mendapatkan bahan kebutuhan pokok (sembako) di negeri ini faktanya semakin sulit karena menurunnya daya beli. Hal ini bukan disebabkan oleh tidak tersedianya bahan pokok, tetapi karena melemahnya daya beli masyarakat, bahkan hingga untuk membeli bahan makanan pokok sekalipun. Sedangkan melemahnya daya beli masyarakat terjadi karena masyarakat semakin minim dalam memiliki uang guna membeli bahan makanan. Hal ini di antara sebabnya karena banyaknya masyarakat yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Ketika lonjakan angka pengangguran semakin meningkat sejak masa pandemi Covid-19 di Indonesia, pemerintah terlihat kualahan mengatasinya. Pemerintah yang sejak awal gagap dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, tampak semakin kebingungan untuk menekan laju pengangguran akibat PHK.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2020 angka pengangguran bertambah menjadi 6,8 juta orang di Indonesia. Angka ini kemudian ditambah dengan jumlah pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat kondisi perekonomian yang tidak menentu selama masa Pandemi. Dari data Kementerian Ketenagakerjaan, pekerja yang dirumahkan pada masa pandemi sebanyak 3,5 juta orang, sehingga total angka pengangguran terbuka di Indonesia menjadi 10,3 juta orang.
Sedangkan saat ini jumlah angkatan kerja lulusan SMK dan Perguruan Tinggi yang siap diterima di dunia kerja tersedia sebanyak 137,91 juta orang. Angkatan kerja baru ini tentu memerlukan lapangan pekerjaan yang harus disediakan oleh pemerintah. Jika tidak, maka angkatan kerja yang baru lulus ini tentu akan menambah angka pengangguran di tanah air.
Peran pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menyediakan lapangan pekerjaan seharusnya sangat besar. Bahkan di dalam sistem perekonomian Islam, pemerintahlah institusi utama yang harus menyediakannya. Tetapi di sistem Demokrasi, pemerintah bukan pemain utamanya, bahkan menurut masyarakat, pihak swasta diyakini lebih besar perannya dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Bahkan masyarakat juga meyakini bahwa perusahaan swasta asing juga bisa menjadi tumpuan penyedia lapangan pekerjaan.
Muhammad Qodari, Peneliti Utama Puslitbang Diklat LPP RRI pada 29 Februari 2020 merilis angka dari hasil Survey terbaru di National Integrated Newsroom RRI bahwa, masyarakat menganggap pengusaha berperan besar hingga 52,9 persen dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Kemudian perusahaan swasta berperan sebesar 33,3 persen, dan investor sebesar 13,7 persen dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dibaca bahwa, peran pemerintah dalam hal ini sangatlah kecil.
Besarnya peran swasta baik domestik maupun asing pada akhirnya diyakini dapat memberikan solusi yang lebih signifikan bagi penekanan angka pengangguran. Pendapat masyarakat ini anehnya oleh pemerintah bukannya dibantah, tetapi justru dijadikan pembuka celah bagi kemudahan masuknya investasi baik dari swasta domestik maupun asing. Tengoklah Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR dengan terburu-buru, merupakan salah satu cara untuk memuluskan jalan masuknya investasi tersebut. Padahal investasi, terutama yang bersumber dari asing faktanya lebih banyak menguntungkan pihak asing dari pada menguntungkan Indonesia sendiri.
Pasca disahkannya UU Cipta Kerja, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa 153 perusahaan swasta asing siap memasukan investasinya ke Indonesia. Bahlil menambahkan bahwa, pengesahan UU Cipta Kerja terbukti semakin mendorong gairah investasi di Indonesia. Senada dengan Bahlil, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meyakini bahwa dengan semakin banyaknya investasi masuk ke Indonesia, maka akan semakin banyak tercipta lapangan pekerjaan.
Dari tatapan realitas di atas dapat dibaca bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut Demokrasi, tidak memiliki kemampuan dalam mengatasi masalah pengangguran. Pemerintah Indonesia juga tidak memiliki kemandirian untuk mengurus keperluan rakyatnya dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Hal ini terbukti dari diperlukannya peran swasta secara signifikan untuk membantu negara mengatasi masalah pengangguran.
Berbeda 180 derajat dalam pengaturan hal ini menurut sistem Islam. Islam sebagai sebuah sistem yang kompak dan fundamental, tidak akan menjadikan keikutsertaan pihak swasta dan individu sebagai pengurus rakyat yang dominan dalam negara. Hal ini karena filosofi swasta ataupun individu belum tentu didasari oleh keinginan untuk mengurus rakyat. Swasta dan individu bisa saja berkontribusi di masyarakat dengan paradigma mencari keuntungan materi bagi dirinya.
Sedangkan pemerintah, sebagai pemegang amanah kepemimpinan yang harus mengurus (meriayah) rakyatnya, memang seharusnya menjadi pelaksana yang utama. Hal ini menjadi suatu kebaikan manakala pemerintah dengan filosofi ini mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas pihak-pihak lain. Apalagi terhadap pihak swasta yang melakukan eksploitasi terhadap rakyat, pemerintah dalam sistem Islam akan menindak tegasnya, sebagai upaya untuk melindungi kepentingan rakyat.
Satu contoh yang dilakukan oleh Rasulullah ketika menarik kembali pemberian tambang garam milik negara dari Abyadh. Pembatalan pemberian tambang garam tersebut adalah karena tambang itu ternyata menghasilkan garam dalam jumlah besar. Digambarkan dalam Hadits Rasulullah, ‘bagaikan air yang mengalir,’ sehingga kebutuhan garam bagi rakyat bisa terpenuhi dari tambang tersebut.
Tergambar dari kebijakan Rasulullah tersebut, bahwa penguasaan sumber-sumber tambang dan kekayaan alam lainnya harus berada di tangan pemerintah, bukan di tangan individu ataupun swasta. Apalagi jika penguasaan sumber daya alam dikelola oleh swasta asing yang pastinya berorientasi pada keuntungan kapital semata, maka hal ini diharamkan dalam Islam.
Penanaman investasi atau pemberian modal oleh pihak asing yang berstatus negara kafir yang memerangi Islam (Kafir Harbi) juga sangat dilarang dalam Islam. Hal ini karena, hubungan dengan negara kafir harbi hanya didasari oleh permusuhan semata, tidak ada kerjasama apapun. Sehingga, kerjasama yang menguntungkan negara dan pihak swasta kafir harbi tersebut tidak akan pernah terjadi. Kemudian Daulah Islam tidak akan mendapatkan kerugian apapun, dan pemerintah dapat melindungi rakyatnya dari hegemoni negara asing kepada rakyatnya.
Alhasil, dengan penguasaan penuh pemerintahan Islam dalam mengelola sumber daya alam akan menjadikan Daulah Islam mandiri dalam mencukupi kebutuhan rakyatnya. Peran pemerintah (khalifah) dalam menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan yang mencukupi bagi rakyatnya juga akan menjamin rakyatnya bisa berdaya dalam memenuhi hajat hidupnya. Rakyat tak perlu lagi mengemis pada asing untuk mengentaskan masalah pengangguran dan kemiskinan.
Namun hal ini hanya bisa terwujud jika ada kemauan dan upaya sungguh-sungguh untuk mencampakkan Demokrasi berikut Sistem Ekonomi Kapitalisnya. Kemudian setelah itu menggantinya dengan penerapan Sistem Ekonomi Islam dalam naungan institusi kekhilafahan Islam. Dengan begitu, sepiring nasi hangat beserta lauk pauk yang bergizi sebagai kebutuhan primer akan mudah didapat, bahkan dijamin ketersediannya untuk tiap individu dalam Daulah Islam, tanpa kecuali. []