"Agar silaturahmi tak terputus, pinjam dulu seratus."
Oleh. Atien
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sahabat, postingan kalimat di atas sempat heboh di media sosial. Entah siapa yang mengunggah pertama kali. Namun, yang jelas, para netizen langsung gercep beramai-ramai saling mengomentari. Sebuah ungkapan yang cukup menggelitik sekaligus membuat hati terusik.
Mungkin ada yang merasa tersindir dan menganggap hal itu sebagai kalimat nyinyir,terutama bagi kalangan yang hobinya pinjam uang alias suka berutang. Intinya setiap orang pasti akan memberikan tanggapan yang berbeda-beda tergantung cara pandang.
Bukan Gurauan
Persepsi atau cara pandang seseorang terhadap sesuatu pasti akan sehati dengan pemahaman yang dimilikinya. Mungkin ada yang menganggap kalimat tersebut hanya sebatas bercanda. Ada pula yang berpikir hal itu sebagai sesuatu yang harus diluruskan karena tidak sesuai dengan aturan yang semestinya.
Sahabat, bagi segelintir orang, hal itu mungkin tak perlu diseriusi. Namanya juga postingan. Tentu siapa pun boleh berkomentar. Entah itu komentar positif ataupun negatif, tak jadi soal. Wajar saja, sebab hal itu merupakan salah satu kebebasan yang diberikan di sistem saat ini. Sebuah kebebasan berekspresi yang tidak dibatasi sama sekali. Semua orang seolah-oleh memiliki pembenaran dalam berargumentasi. Bahkan tidak peduli saat komentarnya membuat orang lain sakit hati. Hal itu jelas-jelas dilindungi oleh undang-undang atas nama hak asasi.
Namun, yang membuat hati tak nyaman adalah isi kalimatnya yang menjadikan silaturahmi sebagai ajang gurauan. Seolah-olah hal itu bukan sebuah amalan yang berarti.
Sifat Materialistis
Betapa sedih dan miris hidup di tengah-tengah masyarakat yang menjunjung tinggi kebebasan. Untuk urusan silaturahmi pun disamakan seperti barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Bahkan dianggap mampu memberikan nilai materi yang menjanjikan. Astagfirullah. Bukankah silaturahmi merupakan aktivitas yang dianjurkan dalam Islam? Sebab di dalamnya ada hikmah, kebaikan, dan keutamaan. Namun, apa daya, ketiganya terkalahkan oleh pemahaman yang menyesatkan.
Hal itu menggambarkan betapa pemahaman masyarakat saat ini sudah seperti para kapitalis. Apa-apa tak bisa dilepaskan dari urusan bisnis. Parahnya, pemahaman tersebut ternyata membuat orang jadi materialistis. Itulah mantra berbahaya dari sistem yang mampu menghipnotis diri. Sebuah sistem yang membawa ide menyesatkan atas nama kepuasan dunia yang penuh ilusi. Di dalam ide tersebut, kehidupan hanya fokus kepada materi. Hal itu membuat para penganutnya begitu rakus ketika bicara hal yang satu ini, sebab yang berada di benaknya hanya kepuasan jasmani.
Tolok ukurnya tentang kebahagiaan pun bukan menggapai rida Allah Swt. Namun, yang dipikirkan hanya meraih setinggi-tingginya kenikmatan dunia. Itulah gambaran sistem kapitalisme liberal. Seonggok sistem buatan manusia yang masih terus dipertahankan.
Baca juga : https://narasipost.com/syiar/11/2023/menjaga-kekerabatan/
Alhasil, kondisi tersebut membuat masyarakat jauh dari ketaatan. Aktivitas kesehariannya pun tidak jauh-jauh dari canda dan gurauan. Mereka hanya serius di ranah ibadah ritual. Sedangkan di ranah umum, aturan Allah Swt. diabaikan. Manusia merasa bebas dalam melakukan apa saja menurut hukum buatannya sendiri.
Padahal dalam dirinya tak ada power sama sekali. Andalan baginya hanyalah kemurahan Sang Maha Abadi. Namun hal itu sering kali tak mereka sadari. Mungkin semua itu dianggapnya muncul secara alami.
Bukankah segala sesuatu yang ada di dunia ini ada yang menciptakan dan mengaturnya? Tentu kita harus tunduk dan menaati-Nya. Semua hal yang dikerjakan oleh manusia pun ada pertanggungjawabannya. Tak ada yang terlewat dari pengawasan Allah Swt.
Namun, sayangnya, manusia tetap saja semaunya sendiri. Benar salah tak diperhatikan lagi. Hawa nafsu senantiasa diikuti. Ego dalam diri menjadi kebenaran hakiki.
Pentingnya Ilmu dan Dakwah
Semua itu disebabkan oleh tingkah laku manusia yang tidak menghiraukan aturan Allah Swt., padahal manusia diciptakan sebagai makhluk paling mulia karena diberi akal untuk berpikir. Dengan akalnya, manusia nantinya mampu membedakan benar dan salah, baik dan buruk, halal dan haram, dan seterusnya. Semua itu hanya bisa diketahui ketika dirinya mau menuntut ilmu agama.
Ilmu ibarat cahaya yang akan menuntunnya dalam menjalani kehidupan. Bila seorang hamba tidak mau mencari ilmu, pasti dirinya akan kesulitan dalam menyusuri lorong-lorong kehidupan yang penuh liku. Langkahnya tentu akan tersesat karena hanya kegelapan yang ada di depannya.
Oleh karena itu, Islam memberikan panduannya secara sempurna untuk dipelajari oleh umatnya. Disinilah pentingnya umat muslim untuk belajar ilmu agama. Hukumnya wajib untuk seluruh orang Islam. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang artinya,
"Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah)
Ilmu yang sudah dipelajari tersebut haruslah diamalkan atau diterapkan dalam kehidupan. Sebab ilmu agama bukan sekadar teori pelajaran, tetapi merupakan sebuah pemahaman yang harus direalisasikan. Jika ilmu agama hanya sekadar sebagai pengetahuan, tentu tidak membawa penganutnya kepada derajat keimanan dan ketakwaan.
Bukankah keimanan itu tidak hanya diucapkan di bibir saja? Akan tetapi, lebih dari itu, seorang hamba harus tunduk dan meyakini dengan sepenuh hatinya. Tak cukup sampai di situ, dirinya pun harus melaksanakan apa yang sudah menjadi ketetapan Allah Swt. Dengan begitu, ilmu yang didapatkan akan menjadikan diri seorang muslim senantiasa terikat dengan aturan agama di seluruh aspek kehidupan.
Hal itu sesuai dengan kaidah syarak yang berbunyi, "Hukum asal setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syarak."
Ilmu yang dimiliki tentu saja bukan hanya untuk dirinya sendiri. Islam telah mengajarkan umatnya untuk saling berbagi. Hal itu merupakan bukti dan rasa peduli sebagai muslim sejati. Adanya kepedulian tersebut terdapat di dalam Al-Qur'an agar sesama muslim senantiasa saling mengajak dan mengingatkan dalam kebaikan.
Hal itu sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surah Ali Imran ayat 104 yang artinya,
" Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (kelompok) yang mengajak kepada kebaikan (Islam) dan melakukan amal makruf nahi mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung."
Aktivitas mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan dari kemungkaran inilah yang dinamakan dakwah. Amalan ini tentu bukan sesuatu yang mudah. Apalagi ajakan dakwah untuk berislam kaffah. Hal itu membutuhkan sebuah niat yang ikhlas dan tekad yang kuat agar diri tak mudah mengeluh. Tidak lupa pula adanya sikap istikamah dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai masalah. Sikap itulah yang harus dimiliki oleh seorang pengemban dakwah.
Dengan dakwah, ilmu yang dipelajari akan bermanfaat bagi orang lain. Sebab dari yang tidak mengerti akan menjadi tahu karena adanya aktivitas yang mulia ini. Begitu juga dari yang awalnya awam menjadi paham karena adanya ajakan untuk sama-sama belajar. Dengan demikian, makin banyak orang yang tercerahkan dengan dakwah. Semua itu karena ilmu yang disampaikan bisa menjadi jalan seseorang untuk menggapai hidayah. Ketika hidayah diperoleh, orang pasti cenderung mudah menerima kebaikan. Kebaikan inilah yang akan terus-menerus membawa keberkahan.
Pahala Tak Bertepi
Keberkahan dari ilmu yang kita sampaikan kepada sesama menjadi sesuatu yang luar biasa. Hal itu akan mendapatkan balasan istimewa dari Allah Swt. Ilmu yang diberikan kepada orang lain menjadi amal kebaikan yang akan terus mengalir kepada yang menyampaikan. Bahkan ketika diri sudah menghadap Ilahi, balasan pahalanya tetap tak terhentikan.
Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang artinya,
"Apabila anak Adam (manusia) telah wafat, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Penjelasan dari hadis di atas semoga membuat kita makin semangat untuk terus belajar Islam, merealisasikannya di dalam kehidupan, dan menyampaikannya kepada sesama. Ketika kita belum mampu bersedekah dengan harta, semoga sedikit ilmu yang kita punya mampu menjadi salah satu amalan yang akan menambah timbangan kebaikan setelah diri meninggalkan dunia ini. Saat kita belum memiliki anak yang saleh, masih ada ilmu yang bisa kita investasikan untuk mendapatkan jalan keselamatan di akhirat nanti.
Itulah amalan-amalan kebaikan yang pahalanya tak mengenal kata uzur. Limpahan kebaikannya akan terus dibawa sampai ke alam kubur. Tak ada kata merugi ketika kita patuh kepada aturan Ilahi. Semua amalan akan diperhitungkan meskipun itu hanya sekecil biji sawi.
Mungkin ilmu yang kita sampaikan belum mampu membawa umat kepada kebangkitan. Namun, upaya dan usaha kitalah yang akan dinilai serta mendapatkan balasan. Satu hal yang pasti bahwa tidak ada amalan kebaikan yang sia-sia di hadapan Allah Swt. Sebagaimana silaturahmi yang juga penuh dengan keutamaan dan keberkahan yang tiada tara.
Yuk, kita ganti postingan di atas dengan bunyi, "Silaturahmi jangan terputus agar keberkahan dari Allah Swt. jalan terus."
Wallahu a'lam bishawab.[]
Tidak ada amalan kebaikan yang sia-sia di hadapan Allah Swt. Sebagaimana silaturahmi yang juga penuh dengan keutamaan dan keberkahan yang tiada tara. Yup, bahkan sekadar senyum pun bernilai sedekah..
Alhamdulillah...
Barakallah mb Atien..emang nih kapitalis bikin pikiran jadi materialis, bahkan rela ngemis demi bisa eksis, bukannya malu malah narsis, gaya hedonis bikin miris..
Sepakat mba. Sedih dan miris. Hampir tiap hari dengerin anak-anak kecil ngomong itu. Astaghfirullah, kalau yang begituan anak-anak langsung hapal.
Masyaallah tabarakallah naskah ini begitu gamblang dan menjelaskan betapa pentingnya seorg hamba belajar ilmu agama. Agar dlm menjalani kehidupan sesuai hukum syarak dan tdk menjadikan syariat sebagai bahan candaan yg merendahkan.
Semoga naskah ini makin tersebar luas dan dibaca khalayak ramai. Agar tercerahkan dgn pemahaman yang benar tentang makna silaturahmi. Jazakillah khairan mb Atien naskah kerennya. So I Like.
Aamiin. Iya mba. Waiyakki. Jadi miris kalau baca postingan sekarang yang tidak mengindahkan norma agama.
Alhamdulillah. Akhirnya , bisa kirim tulisan. Jazakillah Khoir mom dan Tim NP
Bener, akibat kebebasan berekpresi semua jadi bahan candaan, walaupun menabrak syariat. Yang anehnya banyak kalangan muslim latah dengan tren itu
Iya mba, dari anak kecil sampai yang dewasa ikut-ikutan latah. Di mana-mana denger kalimat itu. Astaghfirullah,