Kita seharusnya menyadari ketika menyerukan kebaikan (Islam) jangan tunggu menjadi seorang yang Fasih dan Faqih Fiddin sehingga enggan bahkan tidak mau berdakwah.
*****
Oleh : Novida Sari
NarasiPost.com - Tatkala menelurusi sirah perjalanan hidup Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka akan ditemukan bahwa Beliau adalah seseorang yang bernasab mulia, berwajah tampan, memiliki fisiknya baik dan kuat, juga menjadi kepercayaan masyarakatnya. Hingga melekat gelar al-amin pada diri beliau sebelum diutus menjadi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Meskipun demikian, dari sirah juga dapat diketahui yang menjadi pengikut setia Rasulullah teramat sedikit tatkala ia menjadi Nabi Utusan yang terakhir di muka bumi. Bahkan perlakuan buruk mulai dari fitnah, penganiayaan, pemboikotan dan ancaman nyawa telah ditempuh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam menyebarkan syariat Islam di jazirah arab.
Jika kita dapati Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam lahir dan dibesarkan di tengah keluarga besarnya yang mencintainya tanpa terkecuali, maka berbeda dengan Nabi Musa 'Alaihissalam. Musa 'Alaihissalam justru lahir dari sepasang suami istri dari kalangan Bani Israil, Imran bin Qahats dengan Yukabad/Ayadzakahtu. Beliau dilahirkan pada saat Fir’aun yang menjadi penguasa saat itu mengeluarkan ultimatum agar seluruh anak laki-laki yang lahir pada tahun tersebut dibunuh. Sebagai seorang ibu, tentunya ibunda nabi Musa 'Alaihissalam merasa khawatir. Namun Allah Subhanahu Wa Ta'aala mengilhamkan kepadanya
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلا تَخَافِي وَلا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Artinya: “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul.” (QS. Al-Qashash: 7)
Rumah ibu Musa berada di tepi Sungai Nil. Maka ia membuat sebuah peti dan dipersiapkannya sedemikian rupa, lalu ia menyusui bayinya dengan tenang. Apabila masuk ke dalam rumahnya seseorang yang ia takuti, maka ia pergi dan menaruh bayinya di dalam peti itu, lalu ia hanyutkan ke Sungai Nil, tetapi peti itu diikatnya dengan tali yang berhubungan dengannya. Pada suatu hari datanglah kepadanya seseorang yang ia takuti masuk ke dalam rumahnya, maka ia pergi dan meletakkan bayinya ke dalam peti itu, lalu ia hanyutkan ke Sungai Nil. Tetapi karena terburu-buru, ia lupa mengikatnya dengan tali. Maka peti itu terbawa hanyut oleh aliran Sungai Nil sehingga melewati istana Raja Fir'aun. Maka dipungutlah peti itu oleh dayang-dayangnya, dan para dayang membawa peti itu kepada istri Fir'aun. Allah menjatuhkan rasa cinta ke dalam hati istri Fir'aun terhadap Musa saat memandangnya. Sehingga ia berniat untuk mengangkatnya menjadi anak atas kehendak Allah sebagaimana Allah berkehendak menjadikan suaminya menjadi orang yang celaka karenanya.
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا
Artinya: “Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.”
Muhammad Ibnu Ishaq dan lain-lainnya mengatakan bahwa huruf lam dalam ayat ini mengandung makna aqibah (akibat), bukan lam ta'lil (penyebab) karena mereka tidak berniat untuk mencari musuh dan kesedihan dengan memungut bayi itu. Tidak diragukan lagi bahwa makna lahiriah lafaz memang menunjukkan pengertian itu. Tetapi jika ditinjau dari segi konteksnya, sesungguhnya lam tersebut tetap bermakna ta’lil, dengan pengertian bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'aala telah menetapkan mereka memungutnya sebagai musuh dan kesedihan bagi mereka, sehingga pengertiannya lebih kuat dalam membatalkan sikap hati-hati mereka terhadapnya. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya
إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
Artinya: “Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. (QS. Al-Qashash: 8)
وَقَالَتِ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ قُرَّةُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ
“Dan berkatalah istri Fir’aun, "(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu…”
Ketika Fir'aun melihat bayi itu, hampir saja ia membunuhnya karena merasa takut bahwa bayi itu dari kalangan kaum Bani Israil, seandainya saja tidak ada Asiah istrinya yang menentangnya dan melindungi bayi itu serta meminta kepadanya agar mengasihaninya. Namun Fir’aun menjawab, “Itu adalah bagimu, tetapi bagiku tidak”
عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا…
“…Mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita”. Di perjalanan hidup Asiah istri Fir’aun kelak, ia akan mendapatkan petunjuk melalui Musa 'Alaihissalam dan ditempatkan di surga karenanya.
أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا…
“…atau ia kita ambil menjadi anak.” Asiah bermaksud menjadikan Musa sebagai anak angkatnya, karena ia tidak memiliki anak dari Fir’aun.
وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ…
“…sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS. Al-Qashash: 9). Mereka tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah melalui penemuan (pemungutan) mereka terhadap Musa, padahal di dalamnya terkandung hikmah yang besar dan hujjah yang pasti.
Para ulama tafsir menyebutkan pada waktu kecil, Musa 'Alaihissalam pernah menarik janggut Fir’aun hingga Fir’aun naik pitam dan semakin yakin bahwa Musa 'Alaihissalam kecil ini berasal dari Bani Israil dan akan menghancurkan kedudukannya yang ia percayai sebagai Tuhan. mereka tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah melalui penemuan (pemungutan) mereka terhadap Musa, padahal di dalamnya terkandung hikmah yang besar dan hujjah yang pasti. Namun istri Fir’aun menghalangi niat suaminya, dan mengatakan bahwa dia anak kecil yang belum berakal, untuk membuktikan hal tersebut, maka Musa kecil diuji dengan kurma dan bara api, kemudian umumnya anak kecil menyukai sesuatu yang bercahaya, sehingga Musa kecil memakan bara, yang mengakibatkan lidahnya kelu.
Bani Israil sebagaimana di dalam Alquran terkenal sebagai umat yang keras kepala, suka ingkar janji, tidak sabaran, juga nyinyir meskipun mereka telah melihat sendiri berbagai mukjizat secara langsung. Namun Nabi Musa tetap sabar berdakwah kepada mereka di tengah-tengah kondisi masyarakatnya yang seperti itu. Dengan lidah yang kelu, dan pulang dari pelarian setelah membunuh salah seorang dari kaumnya Fir’aun tentu bukanlah perkara yang mudah. Sehingga Allah Subhanahu Wa Ta'aala mengajarkan doa
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Musa berkata Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS. Thoha: 25-28)
Kita seharusnya menyadari ketika menyerukan kebaikan (Islam) jangan tunggu menjadi seorang yang Fasih dan Faqih Fiddin sehingga enggan bahkan tidak mau berdakwah. Sebagaimana kondisi Nabi Musa 'Alaihissalam, latar belakang dan kekurangannya tidaklah menjadi halangan baginya dalam berdakwah mengesakan Allah Subhanahu Wa Ta'aala. Malulah pada diri yang memiliki fisik yang sempurna. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah berkata,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]