"Pencukupan berbagai nafkah dan kebutuhan ini telah diletakkan oleh Allah Swt. kepada pundak suami sebagai shahibul qawwam, yang wajib memimpin dan melindungi anak istrinya sepanjang berada di bawah tanggung jawabnya dengan batas kesanggupannya dengan cara yang makruf."
Oleh. Novida Sari, S.Kom.
NarasiPost.Com-Bukanlah sama status harta yang dimiliki oleh suami dengan harta yang dimiliki oleh istri. Rasulullah saw. menyebutkan di dalam Hadis Sahih Ibnu Majah nomor 1500, bahwa:
أَن تُطْعمَها إِذَا طَعِمْتَ ، وتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسيْتَ ولا تَضْربِ الْوَجهَ، وَلا تُقَبِّحْ ، ولا تَهْجُرْ إِلاَّ في الْبَيْتِ
“Beri makanlah istrimu jika kamu makan dan beri pakaianlah jika kamu berpakaian dan janganlah memukul wajahnya dan jangan mencelanya dan jangan memisahkannya kecuali (tetap) di dalam rumah.”
Hadis ini menjelaskan bahwa adanya keseimbangan harta yang harus diberikan oleh suami kepada istrinya, meskipun yang mendapatkan harta itu adalah suami melalui jalan bekerja atau mendapatkan pemberian dari pihak lain. Sebagaimana suami makan dan berpakaian, maka seperti itulah istri mendapatkan makan dan pakaian, harus seimbang. Seperti juga yang diperkuat oleh Allah Swt. di dalam Surat Al Baqarah [2] ayat ke 228 yang menyebutkan bahwa,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya : “Dan bagi mereka para wanita (istri) hak yang sama (seimbang) atas diri mereka dengan cara yang makruf.”
Jika terdapat perbedaan, maka ini adalah perkara zalim di dalam Islam. Apalagi jika kemudian suami menahan nafkah dan jatuh pada tindakan bakhil. Bakhil bukanlah perkara yang sama seperti yang dipahami masyarakat hari ini, bakhil dalam artian pelit karena tidak berbagi hal-hal yang diinginkan orang umum. Namun bakhil dalam pengertian syara’ adalah tindakan menahan nafkah yang semestinya dikeluarkan oleh suami atau ayah kepada istri dan anaknya.
Islam memberikan pujian kepada suami yang menafkahkan harta untuk istrinya. Seperti sabda Rasulullah saw., “Sungguh tidaklah sesuatu yang dinafkahkan olehmu karena niat mencari wajah Allah melainkan kamu diberi pahala atasnya, sampai pada perkara yang kamu berikan ke mulut istrimu akan mendapat ganjaran.” (HR. Al Bukhari no. 56, dari Sa’ad Bin Abi Waqqash)
Artinya tidaklah seorang suami menafkahkan sesuatu untuk keluarganya dengan niat mencari wajah ataupun keridaan Allah, sampai Allah memberikan keridaannya bahkan untuk perkara kecil berupa makanan yang diberikan oleh suami ke mulut istrinya.
Bahkan Rasulullah saw. mengecam laki-laki yang menelantarkan orang-orang yang wajib dinafkahinya, terutama istri. Bersabda Rasulullah saw., “Seseorang itu cukup dikatakan berdosa apabila dia menahan makanan dari orang-orang yang berhak mendapatkan makanan darinya.” (HR. Muslim nomor 996)
Imam Ash Shan’ani berkata di dalam Kitab Subulus Salam, “Hadis ini merupakan dalil tentang wajibnya seseorang memberi nafkah kepada orang yang berada di bawah tanggungannya dan tanpa disertai dengan dosa yang lain maka seseorang itu sudah cukup untuk membinasakannya.
Jika pada waktu menikah dulu calon suami dan calon istri diikat dan diatur dengan aturan syariat melalui ijab qabul yang sangat sakral, maka seharusnya para suami memenuhi nafkah istri dan anak-anaknya juga sesuai dengan hukum syariat yang berlaku. Meskipun kenyataannya seiring berjalannya pernikahan, rumah tangga yang sudah dirajut justru tidak berjalan sesuai dengan syariat. Apalagi jika suami melihat istri memiliki penghasilan sendiri, sehingga suami menelantarkan haknya sebagai pemberi nafkah untuk keluarganya.
Hindun Binti Utbah pernah mengadukan suaminya, Abu Sufyan kepada Rasulullah saw., “Ya Rasul, Abu Sufyan adalah orang yang bakhil. Dia tidak mencukupi nafkah untukku dan nafkah untuk anakku sehingga hal ini membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Berdosakah aku ya Rasulullah berbuat demikian?” Maka Rasulullah saw. berkaata, “Ambillah hartanya (abu sufyan) sesuai kebutuhanmu dan anakmu.” (HR. Al Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)
Dari jawaban Rasulullah saw. tampak jelas meminta Hindun untuk mengambil harta suaminya untuk kebutuhan dirinya dan anak-anaknya, tidak meminta hindun untuk menggunakan hartanya sendiri, karena Hindun ini bukanlah orang biasa, ia adalah orang kaya raya, seorang bangsawan yang memiliki banyak harta.
Dari penjelasan nabi ini, tampak bahwa tidak ada kewajiban apa pun dari harta suami untuk diberikan kepada suami. Sementara di dalam harta suami, terdapat harta istri dan anak sehingga ada hak bersama yang dipergunakan di dalam mencukupi nafkah dan kebutuhan sehari-hari. Namun, tidak ada hak suami ataupun hak anak atas harta yang dimiliki oleh istri. Sehingga untuk menafkahi nafkah sehari-hari, tempat tinggal, pendidikan, pengobatan dan kebutuhan lain, maka ini semua masuk kepada harta suami.
Suami harus memberikan nafkah untuk makan dan pakaian yang juga include terhadap semua hajat dan kebutuhan perempuan. Apakah itu sepatu, sandal, kosmetik, ataupun aksesoris lain sesuai dengan kebutuhan bukan untuk foya-foya ataupun secara berlebihan. Suami tentu ingin istrinya tetap tampil cantik, bersih dan terawat. Sudah menjadi kewajibannya untuk memberikan semua hajat yang dibutuhkan istri apakah itu terasa manfaatnya secara langsung atau tidak.
Pencukupan berbagai nafkah dan kebutuhan ini telah diletakkan oleh Allah Swt. kepada pundak suami sebagai shahibul qawwam, yang wajib memimpin dan melindungi anak istrinya sepanjang berada di bawah tanggung jawabnya dengan batas kesanggupannya dengan cara yang makruf.
Pengaturan yang dirancang oleh Allah Swt. sebagai Zat yang Mahasempurna dalam pengaturan dan perancangan terbaik bagi ciptaan-Nya. Kepemilikan itu memang harus jelas di dalam Islam apalagi yang berkenaan dengan harta. Karena pada dasarnya, harta istri adalah miliknya sendiri sedangkan di dalam harta suami, ada hak istri dan anak di dalamnya. Sehingga jika terjadi sesuatu di suatu keluarga, maka akan mudah menempatkannya pada hukum yang telah Allah Swt. tentukan. Bukan dalam rangka hitung-hitungan namun hanya pada status kepemilikan.
Meskipun demikian, rumah tangga tidak melulu terkait kewajiban meskipun rumah tangga itu memiliki kewajiban. Namun harus senantiasa dibingkai dengan kasih sayang dan memiliki pondasi akidah. Wallahu a’lam.[]