"Bersikap baiklah kalian apabila kalian memegang kekuasaan, dan berilah maaf atas kesalahan hamba sahayamu." (HR. Ibnu Laal dalam bab Akhlak-Akhlak yang Mulia)
Oleh. Mariyah Zawawi
NarasiPost.Com-Hakikatnya, setiap manusia adalah pemimpin. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyatnya. Seorang direktur adalah pemimpin bagi karyawannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya. Seorang majikan adalah pemimpin bagi pegawainya. Bahkan, seorang istri adalah pemimpin dalam urusan manajerial rumah tangganya.
Dalam Islam, setiap perbuatan ada tuntunannya. Setiap perbuatan ada adabnya. Adab itu harus diperhatikan oleh setiap orang yang hendak melakukannya. Ada adab makan, bertamu, berbicara, bahkan saat di kamar kecil. Melaksanakan suatu perbuatan atau amal sesuai dengan adabnya akan mendatangkan pahala bagi pelakunya.
Adab merupakan perkara yang sangat penting. Itu sebabnya, Imam Malik memerintahkan untuk mempelajari adab sebelum mempelajari ilmu. Termasuk adab saat menjadi seorang pemimpin. Dalam sebuah hadis dari Abu Sa'id al-Khudry ra., Nabi saw. bersabda,
أحسنوا إذا وليتم واعفوا عما ملكتم
"Bersikap baiklah kalian apabila kalian memegang kekuasaan, dan berilah maaf atas kesalahan hamba sahayamu." (HR. Ibnu Laal dalam bab Akhlak-Akhlak yang Mulia)
Menurut Abdullah Muhammad Ash-Shiddiq al-Ghumary al-Idrisy dalam kitabnya al-Ahaadiits al-Mukhtaarah fii al-Akhlaaq wa al-Aadaab, hadis mengandung dua poin penting.
Pertama, perintah untuk bersikap baik pada saat memegang kekuasaan. Misalnya, pada saat menjadi kepala negara atau kepala desa, ia wajib bersikap ihsan saat berinteraksi dengan masyarakat yang dipimpinnya. Ia harus bersikap lemah lembut dan tidak mempersulit urusan mereka.
Ia harus bersikap lemah lembut karena pada hakikatnya ia adalah pelayan dari rakyat. Ia diangkat menjadi seorang pemimpin untuk memelihara urusan rakyatnya. Namun, yang terjadi saat ini, banyak pemimpin yang bersikap sebaliknya. Mereka justru ingin dilayani oleh rakyat. Mereka bahkan mendapatkan pelayanan yang terbaik dengan kualitas yang terbaik pula. Segala kebutuhan hidupnya telah terjamin. Sementara rakyatnya harus bersabar dengan segala kekurangan dan penderitaan.
Seorang pemimpin harus dekat dengan rakyatnya. Ia tidak boleh menjauh dari mereka. Kedekatan itu akan membuatnya lebih memahami apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Ia juga bisa mengetahui sendiri kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.
Berbeda halnya jika pemimpin itu menjaga jarak dengan rakyat. Ia tidak mengetahui secara langsung persoalan yang dialami oleh mereka. Ia selesaikan persoalan mereka hanya berdasarkan laporan dari bawahannya. Jika bawahannya jujur, ia akan mendapatkan laporan yang sebenarnya. Sehingga, persoalan dapat terselesaikan dengan baik. Namun, jika bawahannya seorang penjilat, yang selalu ingin membuat pemimpinnya senang, tentu akan banyak laporan yang tidak sesuai fakta. Akibatnya, persoalan tidak terselesaikan. Bahkan, bisa jadi akan muncul persoalan-persoalan baru yang membuat semakin rumit keadaan.
Seorang pemimpin juga tidak boleh mempersulit urusan rakyatnya. Dalam sahihnya, Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah saw. mendoakan seorang pemimpin. Beliau saw. berdoa,
اللهم من ولي من أمر أمتي شيىٔا فشق عليهم فاشقق عليه ومن ولي من أمر أمتي شيىٔا فرفق بهم فارفق بهم
"Ya Allah, siapa saja yang mengurusi satu perkara dari umatku, kemudian ia menyulitkannya, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang mengurusi satu perkara dari umatku, kemudian ia memudahkannya, maka permudahlah ia."
Pemimpin yang bertakwa, tentu akan merasa takut dan khawatir jika didoakan yang buruk oleh Rasulullah. Maka, ia akan menjalankan amanahnya dengan baik, agar didoakan yang baik oleh Rasulullah.
Poin kedua dari hadis ini adalah bahwa jika seseorang memiliki pembantu, bawahan, karyawan, atau apa pun namanya, harus bersikap baik kepada mereka. Saat berinteraksi dengan mereka, ia harus bersikap lemah lembut, menghormati, dan memaafkan kesalahan mereka. Memaafkannya sekali, dua kali, bahkan untuk kesalahan yang dilakukannya berkali-kali. Karena itu, ia harus menjauhkan dirinya dari sikap pemarah. Terlebih lagi, memarahi mereka di hadapan banyak orang. Tentu hal itu membuat mereka merasa dipermalukan. Akibatnya, bisa muncul rasa sakit hati atau dendam dalam diri mereka.
Di dalam sahihnya, Imam Muslim menceritakan sebuah hadis yang disampaikan oleh Abu Mas'ud al-Badary. Abu Mas'ud bercerita bahwa ia memukul seorang budak laki-lakinya menggunakan sebuah cambuk. Kemudian terdengar seseorang di belakangnya berkata, "Ketahuilah wahai Abu Mas'ud." Abu Mas'ud tidak mendengarnya akibat kemarahannya. Setelah orang itu mendekat, ternyata ia adalah Rasulullah saw.
Kemudian Rasulullah saw berkata, "Ketahuilah Abu Mas'ud, sesungguhnya Allah 'azza wa jalla lebih berkuasa atas budakmu ini dibandingkan dirimu." Maka, aku berkata, "Ya Rasulullah, dia bebas karena Allah ta'ala." Kemudian Rasulullah bersabda, "Seandainya engkau tidak melakukan hal itu, maka api neraka akan menyentuhmu."
Dalam hadis lainnya diceritakan, bahwa Rasulullah mengutus pembantu perempuannya untuk suatu urusan. Namun, ia datang sangat lambat karena saat berjalan pulang, ia menonton anak-anak yang sedang bermain. Hingga Ummu Salamah ra. menyuruhnya untuk segera pulang.
Ketika ia datang, Rasulullah saw. bersabda sambil kedua tangannya menunjuk ke sebuah sikat, "Demi Allah, kalau tidak karena takut kepada kisas Allah pada hari kiamat, aku pasti akan menyakitimu dengan sikat ini."
Seperti itulah seharusnya gambaran seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang memahami adab. Pemimpin yang memahami bagaimana seharusnya ia memperlakukan orang-orang yang dipimpinnya. Baik itu pembantu, karyawan, ataupun rakyat. Ia harus menghormati dan memperlakukan mereka dengan baik. Dengan demikian, ia akan terhindar dari murka Allah 'azza wa jalla. Wallaahu a'lam bishshawaab.[]