“Katakanlah, 'Apakah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Aku melihat orang berilmu itu mulia
Meskipun ia dilahirkan dari ayah yang buruk
(Imam Asy-Syafi'i dalam Syarah Diwan Imam Asy-Syafi'i)
Cuplikan syair ini memiliki makna yang sama dengan penjelasan Imam Al-Mawardi dalam kitabnya, Adabu Ad-Din Wa Ad-Dunya. Di dalam kitab ini, beliau menyampaikan ucapan sebagian ahli hikmah, bahwa ilmu itu merupakan keutamaan bagi orang yang tidak memiliki kadar. Yakni, orang yang awalnya bukan siapa-siapa, namun karena ilmunya ia menjadi seorang ustaz, ulama, atau menjadi pemimpin.
Banyak kita saksikan mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, yang tidak dikenal, menjadi ulama atau pemimpin karena keilmuannya. Salah satu di antaranya adalah Imam Asy-Syafi'i. Beliau telah ditinggal ayahnya menghadap Al-Khaliq saat usianya masih dua tahun. Dalam kesederhanaan, sang ibu pun membesarkan putranya seorang diri. Namun, berkat didikan sang ibu serta ketekunannya, Imam As-Syafi'i pun berhasil menjadi seorang mujtahid mutlak dan seorang imam mazhab.https://narasipost.com/2021/06/22/kaya-ilmu-tetapi-miskin-adab/
Sebaliknya, banyak pula mereka yang lahir dari keluarga terpandang dan berada, hidupnya menderita dan terhina. Mereka memang kaya harta. Namun, manusia memandang rendah mereka karena keburukan akhlak atau kebodohan mereka. Hal itu karena mereka tidak memanfaatkan semua kesempatan yang dimiliki untuk mencari ilmu. Padahal mereka memiliki harta yang dapat digunakan untuk mengejar cita-cita.
Inilah perbedaan antara orang yang berilmu dengan yang bodoh. Maka, sebagian ahli hikmah mengatakan bahwa tidak ada yang mendahului kemuliaan ilmu. Artinya, tidak ada kemuliaan yang lebih utama dibanding keutamaan ilmu. Karena itu, Allah Swt. berfirman dalam surah Az-Zumar [39]: 9,
قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون
"Katakanlah, 'Apakah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui?"
Ayat ini memang berupa kalimat tanya ( istifham). Namun, dalam ayat ini, Allah Swt. menolak untuk menyamakan orang yang alim dengan yang bodoh. Hal itu karena orang alim telah diberi keistimewaan dengan kemuliaan ilmu. Dengan ilmunya, orang alim akan memahami apa-apa yang diperintahkan Allah Swt., serta segala larangan-Nya. Dengan demikian, ia akan mengetahui bagaimana menghindarkan dirinya dari perbuatan yang dibenci Allah Swt. Hal itu terdapat dalam surah Al-Ankabut [29]: 43,
وما يعقلهآ إلا العٰلمون
“Dan tidak memahami, kecuali orang-orang yang berilmu."
Kemuliaan ilmu akan semakin bertambah jika ilmu diamalkan dan diajarkan. Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhah mengatakan bahwa ilmu itu bertambah jika diinfakkan. Yaitu, dengan cara mengajarkan. Ketika seseorang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya, pintu-pintu ilmu yang lain akan terbuka. Saat mengamalkan serta mengajarkan ilmu, akan muncul pertanyaan dan persoalan. Dari situ, ia akan mencari tahu jawaban serta penyelesaiannya. Karena itulah, ilmu dalam dirinya semakin tumbuh dan berkembang.
Selain itu, orang yang berilmu juga dicintai oleh Allah Swt. Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi disebutkan,https://narasipost.com/2021/09/06/ancaman-bagi-para-pencari-ilmu/
"Allah mewahyukan kepada Ibrahim a.s., 'Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui, mencintai setiap orang yang berilmu."
Orang yang berilmu juga lebih utama dibandingkan dengan seorang ahli ibadah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasulullah saw. saat ditanya tentang keduanya. Dalam hadis riwayat Abu Umamah itu, Rasulullah saw. menyatakan bahwa keutamaan orang alim atau orang berilmu atas seorang ahli ibadah adalah seperti kemuliaan beliau atas orang yang paling rendah di antara para sahabat.
Karena begitu istimewanya kedudukan orang berilmu, maka untuk memperolehnya dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan. Karena itu, perintah untuk mempelajari ilmu dinyatakan dengan menggunakan wazan تَفَعَّلْ. Seperti yang disampaikan oleh Abdul Malik bin Marwan kepada keturunannya,
تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ فَإنْ كُنْتُمْ سَادَةً فُقْتُمْ وإن كنتم وَسَطا سُدْتُمْ وإن كنتم سُوْقَةً عِشْتُمْ
"Pelajarilah ilmu. Maka, jika kalian berasal dari kalangan atas, kalian akan mendapatkan kedudukan tertinggi. Jika kalian berasal dari kelas menengah, kalian akan menjadi menjadi pemimpin. Jika kalian berasal dari kelas bawah, kalian akan bisa bertahan hidup."
Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu kehidupan. Yaitu, ilmu yang memahamkan kepada akidah dan hukum syarak. Ilmu yang akan menanamkan keimanan kepada Allah Swt. Keimanan itu akan menjadi cahaya kehidupannya sehingga ia akan selalu optimis dan siap dalam mengarungi kehidupan. Sebab, keimanan itu membuatnya yakin bahwa Allah Swt. yang menciptakannya akan selalu melindungi serta menjaganya.
Sedangkan hukum syarak akan menjaganya dari ketergelinciran. Ia akan terus berada di rel yang benar sesuai dengan kaidah agama. Maka, rida Allah Swt. pun akan diraihnya. Karena itu, keduanya sangat penting bagi keberlangsungan peradaban umat manusia.
Tidak berlebihan jika sebagian ahli adab menyatakan bahwa ilmu adalah sebaik-baik peninggalan. Peninggalan ilmu itu dapat berupa kitab atau murid yang berilmu. Imam Al-Khalil, gurunya Imam Sibawaih, meninggalkan seorang murid yang menjadi pakarnya ilmu nahwu. Kitab Imam Sibawaih masih dijadikan sebagai rujukan tata bahasa Arab hingga sekarang.
Karena itu, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menuliskan dalam kitab Nidham Al-Iqtishad , bahwa kekayaan pemikiran merupakan kekayaan terbesar bagi umat manusia, termasuk umat Islam. Jika kekayaan material umat dihancurkan oleh musuh, mereka akan mampu mengembalikan kekayaan material yang telah hancur. Syaratnya, masih ada kekayaan pemikiran dalam benak mereka.
Hal itu telah dibuktikan oleh umat Islam. Setelah pasukan Mongol menguasai Baghdad pada tahun 1258, mereka membakar dan menenggelamkan ribuan manuskrip ke dalam Sungai Tigris dan Dajlah. Mereka juga meratakan bangunan dengan tanah, mengangkut barang-barang berharga, serta menghancurkan semua bangunan yang ada. Mereka juga membunuh semua orang, termasuk Khalifah Al-Mu'tashim dan keluarganya.
Namun, tanpa membutuhkan waktu yang lama, umat Islam mampu membangun kembali peradabannya. Hal itu karena kekayaan pemikiran yang telah dihancurkan oleh tentara Mongol masih tersimpan dalam benak para ulama. Mereka tidak sekadar memahami, tetapi juga hafal di luar kepala. Seperti yang dilakukan oleh para ulama di Mauritania.
Inilah bukti bahwa kekayaan pemikiran lebih penting dibandingkan kekayaan materi. Maka, sudah seharusnya generasi umat ini fokus untuk mempelajari pemikiran Islam yang benar. Dengan pemikiran ini, mereka akan dapat membangun kembali peradaban yang telah hancur.
Wallaahu a'lam bishshawaab[]
Photo : Pinterest