“Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Islam adalah agama kasih sayang. Hal itu tergambar jelas dalam kewajiban amar makruf nahi mungkar, yaitu saling menasihati dalam kebaikan. Amar makruf nahi mungkar harus ada dan terus ada di tengah-tengah umat. Baik berlangsung sesama umat, ulama kepada umat, ulama kepada pemimpin, maupun umat kepada penguasa, agar kehidupan tetap berjalan sesuai syariat sehingga kezaliman dapat dicegah.
Rasulullah pun bersabda dalam hadis riwayat Imam Muslim, dari Abu Ruqayyah yakni Tamim bin Aus Ad Daari r.a. berkata, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Agama itu nasihat." Para sahabat bertanya: Untuk siapa, ya, Rasulullah? Jawab beliau; Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya juga para pemimpin umat Islam, serta bagi orang Islam pada umumnya.”
Dalam Al-Qur'an sendiri, kewajiban menasihati tak hanya kepada sesama rakyat biasa, tetapi juga kepada pemimpinnya. Perintah ini dapat ditemukan dalam berbagai ayat, contohnya dalam surah Thaha ayat 43-44: "Pergilah engkau berdua menuju Fir’aun. Sungguh ia telah melampaui batas. Maka, berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut. Semoga ia ingat atau takut.”
Menasihati penguasa dengan menjabarkan kesalahan dalam mengambil kebijakan sehingga menzalimi umat dan melanggar ajaran Islam adalah kewajiban. Aktivitas ini juga merupakan sebuah jihad. Bahkan, ia disebutkan sebagai jihad paling utama sebagaimana dalam hadis Rasulullah riwayat Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Hadis ini dinyatakan hasan oleh Al Hafizh Abu Thohir. Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda,
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.”
Dalam kitab sunannya, Abu Daud menempatkan hadis ini pada bab “Al Amru wan Nahyu,” yaitu menyeru pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Sementara At-Tirmidzi menempatkan hadis ini dalam bab “Mengingkari kemungkaran dengan tangan, lisan atau hati.” Sementara Ibnu Majah menempatkan hadis tersebut dalam bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.” Begitu pula Imam An-Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin yang membawakan hadis ini dalam bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran” dan menempatkannya pada urutan no. 194.
Tingginya keutamaan menasihati penguasa tidak lepas dari akibat yang ditimbulkan darinya. Menasihati atau mengkritik kebijakan pemimpin tentu mempunyai risiko yang tidak ringan. Bisa saja nyawa terancam karena tidak sedikit pemimpin yang dikritik merasa tidak suka dan marah sehingga menggunakan kekuasaannya untuk membungkam suara-suara yang tidak sependapat dengannya. Bagaimana dengan pemimpin Islam yang tertuang dalam sejarah?
Khalifah dan Kritikan
Nasihat dan kritik yang membangun merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari agama Islam. Khalifah Umar bin Khattab r.a. adalah khalifah yang sering dijadikan contoh sebagai pemimpin yang menyukai nasihat dan kritikan. Sudah sangat dimaklumi bahwa semasa menjadi khalifah, beliau mempunyai kebiasaan blusukan ke kampung-kampung atau daerah pelosok negeri. Salah satu tujuan beliau melakukannya adalah untuk mencari tahu tentang aib dan kekurangan dirinya dalam memimpin. Dengan begitu, masyarakat tidak segan dan berani untuk memberikan kritikan yang membangun kepadanya.
Khalifah Umar pun bersikap sangat bijak dan lembut ketika ada masyakarat yang menasihati atau mengkritiknya. Beliau tak marah, apalagi menjadikan kekuasaannya sebagai alat menindak rakyat yang berani mengkritiknya. Contohnya, pada suatu saat beliau dicegat di jalanan oleh seorang perempuan tua yang bernama Khaulah binti Tsa’labah dan memintanya untuk berhenti. Sang Khalifah cukup lama berhenti untuk menyimak apa yang disampaikan oleh perempuan tersebut.
Khaulah menasihati beliau sebagai berikut: “Wahai Umar, dulu engkau dipanggil Umair (Umar kecil), lalu berubah menjadi Umar, kemudian sekarang engkau dijuluki “Amirul Mukminin.” Saya berpesan kepadamu: "Wahai Umar, takutlah engkau kepada Allah, sebab barang siapa yang mengimani adanya kematian, ia pasti cemas akan_hilangnya peluang, dan barang siapa yang mengimani adanya penghisaban, ia pasti akan takut menghadapi azab.”
Karena terjadi di jalan, peristiwa itupun menimbulkan keheranan bagi orang-orang yang menyaksikannya. Salah seorang dari mereka pun bertanya kepada Sang Khalifah, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau rela berhenti di jalan hanya untuk mendengarkan perempuan tua itu?”
Khalifah Umar pun dengan lembut menjawab, “Seandainya perempuan itu meminta saya supaya berhenti di tempat ini dari awal siang hingga akhir siang, saya pasti tidak akan beranjak kecuali untuk salat. Tahukah kalian semua, siapakah perempuan tua itu?” Dengan serempak, mereka menjawab, “Kami tidak tahu, wahai Amirul Mukminin.”
Khalifah Umar kembali menjelaskan, “Dia tak lain adalah Khaulah binti Tsa’labah, seorang perempuan yang ucapannya didengar langsung oleh Allah Swt. dari atas langit ketujuh. Pantaskah Umar enggan mendengar ucapan perempuan itu? Sementara Allah sendiri mau mendengarkannya.”
Diketahui kisah tentang Khaulah binti Tsa’labah ini terjadi ketika Khaulah yang menikah dengan Aus bin Shamit bin Qais yang merupakan pejuang Perang Badar dan Perang Uhud, tengah berselisih. Kemudian, terucaplah kata-kata yang dipenuhi kemarahan dari mulut suami Khaulah. Sang suami berkata, "Engkau bagiku layaknya punggung ibuku." Lalu, suaminya itu meninggalkan rumah.
Khaulah dengan sedih dan sakit hati mengadu kepada Rasulullah tentang kata-kata zihar suaminya itu. Kasus ini sendiri baru pertama kali terjadi dalam sejarah Islam. Peristiwa tersebut diabadikan Allah dalam surah Al-Mujadillah ayat 1: “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (perkaranya) kepada Allah, dan Allah Maha Mendengar percakapan antara kalian berdua. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kisah lain yang sangat terkenal adalah ketika Khalifah Umar bin Khatab kembali dikritik oleh seorang perempuan setelah menyampaikan kebijakannya terkait uang mahar. Kisah ini pun diabadikan dalam kitab tafsir oleh Syekh Jalaluddin As Suyuthi dalam karyanya Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur pada bab penjelasan surah An-Nisaa ayat 20.
Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar guna berpidato di hadapan masyarakat. ”Wahai manusia, janganlah kalian terlalu banyak memberikan mahar atau maskawin kepada istri. Sebab mahar Rasulullah saw. dan para sahabatnya hanya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Jika saja memperbanyak mahar mempunyai nilai takwa di sisi Allah juga kemuliaan, niscaya kalian tidak akan melampaui mereka. Saya tidak pernah melihat ada seorang lelaki yang menyerahkan mahar lebih dari 400 dirham.”
Rupanya kebijakan ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan yang juga hadir di sana. Maka, setelah khalifah berkhotbah, majulah seorang perempuan menyampaikan protes. "Wahai Amirul Mukminin, kau melarang manusia memberikan maskawin kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protesnya. Khalifah Umar menjawab, ” Ya.”
“Tidakkah engkau pernah mendengar Allah menurunkan ayat 20 dalam surah An-Nisa,” yang artinya: "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?" kata wanita itu.
Khalifah Umar pun tersentak sambil berkata, ”Setiap orang lebih paham daripada Umar.” Beliau pun kembali naik mimbar dan merevisi kebijakannya sesuai kritik yang disampaikan oleh rakyatnya.
Tak hanya itu. Kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat dikritik anaknya pun begitu masyhur dalam sejarah. Suatu hari, setelah selesai mengurus pemakaman jenazah khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun pulang ke rumah untuk istirahat sejenak. Tiba-tiba Abdul Malik bin Umar, putranya, menghampirinya seraya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, hal apakah yang membuat Anda membaringkan diri di siang hari seperti ini?” Khalifah Umar bin Abdul Aziz terkejut ketika putranya memanggilnya dengan julukan Amirul Mukminin, bukan ‘ayah’ seperti biasanya.
Umar lalu menjawab, “Aku lelah dan aku perlu istirahat sebentar.”
Putranya kembali berkata, “Patutkah engkau beristirahat sekarang, sedangkan masih banyak rakyat Anda yang teraniaya?” Khalifah Umar menjawab, “Wahai anakku, aku menjaga pamanmu semalam suntuk. Nanti setelah zuhur aku akan mengembalikan hak-hak mereka yang teraniaya."
Kembali putranya menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang dapat menjamin umurmu sampai zuhur apabila Allah menetapkanmu mati saat ini juga?” Khalifah Umar pun kembali terkejut mendengar ucapan anaknya. Ia kemudian memerintahkan anaknya untuk datang mendekat, ia mencium anak itu sembari berkata, “Segala pujian hanya milik Allah yang telah menganugerahkanku anak yang membuatku menegakkan agama.”
Dan selanjutnya, ia perintahkan wazirnya untuk membuat pengumuman kepada seluruh rakyat, “Barang siapa yang merasa dizalimi, hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah.”
Dalam sejarah Islam yang panjang, kisah tentang umat yang menyampaikan kritiknya terhadap para khalifah bukanlah sekali terjadi, namun cukup banyak dan sering. Dengan begitu, tegaklah agama. Segala penyimpangan terhadap syariat dan juga kezaliman terhadap umat bisa dicegah. Para pemimpin harusnya terbuka dan wawas diri serta senang. Karena dengan rakyat yang mengawasinya, ia terhindar dari perbuatan mungkar dan kezaliman. Bukannya malah marah membabi buta dan menjebloskan para pengkritik ke penjara, apalagi terhadap seorang ulama yang harusnya dimuliakan.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab[]
Photo : Pinterest