"Sesungguhnya, jujur dalam kebenaran merupakan nikmat yang besar di sisi Allah Swt. untuk senantiasa meraih keridaan. Akan tetapi, dusta dapat menghantarkan pada kebinasaan, sebagaimana Allah Swt. membinasakan orang-orang yang mendustakan Rasul-Nya."
Oleh: Novida Sari, S.Kom
NarasiPost.Com-Sesungguhnya, menjadi orang yang benar itu sulit. Dalam artian, sulit untuk diakui dan diaplikasikan karena pasti mendatangkan resiko dan konsekuensi tertentu. Akan tetapi, orang yang benar dan selalu mengelakkan dusta, memiliki kedudukan yang luar biasa. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat mulia Rasulullah saw., Ka’ab Bin Malik.
Dikatakan oleh Muhammad bin Ishaq Al Muththalibi di dalam sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Rasulullah saw. menetap antara bulan Dzulhijjah dan Rajab di Madinah. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan sahabat-sahabatnnya bersiap-siap untuk menyerang Romawi di bulan Rajab pada tahun ke sembilan Hijriyah.
Hal ini terjadi pada saat musim kemarau, saat kaum muslimin tengah mengalami masa-masa yang sulit. Cuaca sangat panas dan buah-buahan penduduk mulai ranum. Orang-orang di Madinah lebih suka dengan buah-buahan mereka yang sebentar lagi akan panen dan juga sebagai tempat berteduh mereka. Sehingga dengan kondisi seperti itu, untuk berangkat perang adalah sesuatu yang tidak disukai, apalagi yang akan diserang kali ini adalah salah satu pemilik kekuatan besar (negara adidaya pada saat itu), Romawi.
Rasulullah saw. dengan siasat perangnya, senantiasa merahasiakan tujuan dan semua hal ihwal peperangan tatkala keluar untuk perang, kecuali perang Tabuk. Karena perjalanan yang jauh di bawah cuaca panas dengan masa-masa yang sangat sulit, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa beliau akan menyerang Romawi, si kulit kuning.
Sampai-sampai ada yang meminta izin karena takut terjerumus pada fitnah, khawatir tertarik pada wanita-wanita berkulit kuning.
Kemudian Allah Swt. berfirman di dalam Surat At Taubah Ayat ke 49,
وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ ٱئْذَن لِّى وَلَا تَفْتِنِّىٓ ۚ أَلَا فِى ٱلْفِتْنَةِ سَقَطُوا۟ ۗ وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةٌۢ بِٱلْكَٰفِرِينَ
Artinya : “Dan di antara mereka ada orang yang berkata, ‘Berikanlah aku izin (tidak pergi berperang) dan janganlah jadikan aku terjerumus ke dalam fitnah.’ Ketahuilah, mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sungguh, Jahanam meliputi orang-orang yang kafir.”
Lelaki yang meminta tidak ikut berperang karena takut kena fitnah atas wanita romawi, sesungguhnya telah jatuh kepada fitnah yang jauh lebih besar, yakni tidak ikut berperang karena ia lebih suka pada dirinya sendiri daripada Rasulullah saw. sehingga Allah Swt. mengatakan bahwa jahanam itu meliputi orang kafir, yang mengingkari perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Sebagian orang munafik berkata kepada yang lain, janganlah kamu berangkat pada musim panas seperti ini. Mereka merasa berat hati dan mencoba menghalangi manusia untuk berjihad dengan mengecilkan makna jihad. Mereka mencoba membuat keragu-raguan di dalam hati manusia, membuat keragu-raguan akan kebenaran, dan menggoyahkan Rasulullah saw.
Lalu Allah Swt. menurunkan ayat tentang orang-orang ini di dalam Surat At Taubah ayat ke 81-82, yang artinya:
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, dan mereka berkata: ‘Janganlah kamu berangkat (berperang) di panas terik ini.’ Katakanlah: ‘Api neraka Jahanam itu sangat panas, jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka itu sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”
Karena itu, banyak orang yang tidak ikut berperang, termasuk Ka’ab bin Malik. Ka’ab bin Malik sendiri sebenarnya termasuk sahabat yang pertama masuk Islam, senantiasa mengikuti peperangan kecuali perang Badar. Hal ini karena perang Badar bukanlah perang yang diprediksi sebelumnya. Tidak ada perjanjian perang sebelumnya, bahkan Rasulullah saw. dengan sahabat-sahabatnya keluar untuk menghadang kafilah Quraisy. Akan tetapi, Allah Swt. mempertemukan dengan musuh, sehingga orang-orang yang tidak mengikuti perang Badar, tidak ditegur oleh Rasulullah saw.
Selain itu, Ka’ab bin Malik adalah orang yang mengikat dirinya dengan perjanjian (baiat) Aqabah. Ia bersumpah setia untuk melindungi Rasulullah saw. beserta ajaran agama yang dibawanya untuk ditegakkan di negerinya, Madinah Al Munawarah, dengan perlindungan melebihi perlindungan pada dirinya dan semua hal yang dia cintai. Akan tetapi, pada persiapan perang Tabuk ini, ia berlalai-lalai sehingga tertinggal dari pasukan yang segera berangkat menuju medan jihad.
Ka’ab bin Malik berencana untuk menyusul dengan kendaraannya. Akan tetapi, ia larut dalam kelalaian berhari-hari, hingga sadar, ia takkan mampu lagi menyusul Rasulullah saw. Semenjak itu, Ka’ab bin Malik pun dirundung kesedihan, merasa diri jatuh ke dalam kemunafikan. Ia sempat berniat untuk berdusta, untuk menyelamatkan diri jikalau ditanya Rasulullah saw. tentang alasannya tidak ikut berperang. Akan tetapi, Ka’ab bin Malik mengurungkan niatnya tersebut.
Setelah tiba di Madinah, Rasulullah saw. masuk ke dalam masjid dan melaksanakan salat dua rakaat seperti kebiasaannya. Lantas, Rasulullah saw. pun memanggil dan menanyai orang-orang yang tidak ikut berperang. Jumlah yang tidak ikut berperang sekitar delapan puluh orang. Rasulullah saw. menerima lahiriah mereka, memintakan ampunan Allah Swt. bagi mereka. Akan tetapi, yang berkenaan dengan isi hati, Rasulullah saw. menyerahkan kepada Allah Swt.
Maka, orang-orang munafik berbicara dengan kemunafikan mereka, orang uzur dengan keuzurannya. Akan tetapi, Ka’ab bin Malik mengatakan apa adanya perihal kelalaiannya, yaitu tidak ada uzur syar’i pada dirinya. Bahkan, ia dalam keadaan lapang beserta kemudahannya. Ia tetap menjaga kebenaran atas dirinya apa adanya. Hingga akhirnya, Rasulullah saw. melarang kaum muslimin untuk berinteraksi dengan Ka’ab bin Malik beserta tiga sahabat lain, bernama Murarah bin Rabi’, Hilal nin Umaiyah, dan Abu Khaitsamah, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Ishaq.
Sejak saat itu, Ka’ab bin Malik pun merasa tersiksa. Ia merasa tanah tempatnya berpijak bukanlah tanah yang ia kenal, merasa terasing, dan sendirian. Ketiga sahabatnya yang lain akhirnya menangis di dalam rumahnya. Akan tetapi, Ka’ab bin Malik tetap pergi salat berjamaah dan berkeliling pasar seperti biasa. Namun, tidak ada satu orang pun yang mau berbicara dengannya.
Hingga pada hari ke limapuluh, Allah Swt. menerima taubat mereka dengan turunnya Surat At Taubah Ayat ke 119.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
Di samping Allah Swt. menerima taubat Ka’ab bin Malik beserta sahabat lain yang berkata benar, ayat ini juga merupakan pujian kepada mereka. Sesungguhnya, jujur dalam kebenaran merupakan nikmat yang besar di sisi Allah Swt. untuk senantiasa meraih keridaan. Akan tetapi, dusta dapat menghantarkan pada kebinasaan, sebagaimana Allah Swt. membinasakan orang-orang yang mendustakan Rasul-Nya.
Seseorang bisa saja berdusta dan selamat di hadapan manusia di dunia. Akan tetapi, ia tidak akan bisa mendustakan Allah Swt. yang telah menyiapkan neraka Jahanam sebagai balasannya. Semoga kita senantiasa menjadi orang yang benar di dalam kebenaran. Wallahu a’lam[]