“Orang bodoh bisa menimpakan kebodohannya kepada sesuatu yang lebih berat (perbuatan) dibanding dengan kesalahan (pelanggaran) yang dilakukan oleh orang fajir (maksiat).”
(HR. Imam Ahmad)
Oleh. Novida Sari, S.Kom.
NarasiPost.Com-Sejak pengingkaran untuk sujud kepada Nabi Adam as. di surga, iblis telah bersumpah untuk senantiasa menyesatkan manusia dari segala penjuru. Dengan menggunakan bala tentaranya dari kalangan jin dan manusia, segala tipu daya dan bisikan akan dikerahkan demi tersesatnya manusia dari penghambaan yang lurus kepada Allah Swt.
Akan tetapi, Allah Swt. menciptakan akal yang sempurna bagi manusia. Jika akal ini dioptimalkan, maka sungguh iblis, setan dan bala tentaranya akan mudah dikalahkan. Sebagaimana yang terjadi pada kisah nabi Isa as. tatkala digoyahkan keimanannya oleh setan melalui pertanyaan, “Bukankah kamu telah mengatakan bahwa, Allah Swt. tidak akan menimpakan musibah kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah?” Nabi Isa as. pun menjawab, “Ya.” Kemudian iblis melanjutkan pernyataannya, “Kalau begitu, lemparkanlah dirimu dari atas gunung itu ke bawah. Maka engkau akan selamat.” Lantas Nabi Isa as. menjawab, “Wahai makhluk terlaknat! Yang punya hak untuk menguji hamba adalah Allah, bukan hak hamba untuk menguji Tuhan-Nya.”
Imam Mawardi menyebutkan di dalam kitab Adabu Din Wa Dunya bahwa tidak aneh jika jawaban seperti itu datang dari seorang nabi, karena para nabi itu ditopang, didukung dan ditolong oleh Allah Swt. Akan tetapi, kecerdasan seperti ini adalah sesuatu yang menakjubkan apabila datang dari manusia yang memiliki kecepatan dan ketepatan.
Dari sini dapat dilihat, ada 2 ciri akal yang memiliki kemampuan yang luar biasa, yaitu kecepatan dan ketepatan dalam berpikir. Bukankah penyesalan itu terjadi karena manusia itu kalah cepat dalam berpikir? Apalagi kalau buah pikirannya tidak tepat. Sebagaimana pertanyaan yang dilontarkan kepada Ibnu Abbas ra. "Ke mana perginya ruh ketika terpisah dan pergi dari jasadnya?" Maka Ibnu Abbas ra. menjawab, “Ke mana pelita itu pergi ketika dipadamkan?.”
Kemudian lihatlah bagaimana Ali ra. menjawab pertanyaan, “Bagaimana Allah Swt. meminta pertanggungjawaban kepada manusia yang jumlahnya sangat banyak?" Sebuah pertanyaan yang berada di luar jangkauan akal manusia, yang dilontarkan oleh orang-orang yang mencoba menggugat kekuasaan Allah Swt. seperti pertanyaan terhadap Ibnu Abbas tadi. Maka Ali ra. menjawab, “Seperti bagaimana cara Allah Swt. memberi rezeki manusia meskipun jumlah mereka sangat banyak.”
Juga jawaban Ali ra. ketika ditanyakakan, "Berapa jarak antara langit dengan bumi?” padahal waktu itu, kondisi orang Arab belum memahami perhitungan fisika, belum mengetahui mana batas langit dan bumi. Akan tetapi Ali ra. menjawab bahwa, “Jarak antara langit dan bumi seperti doa mustajab.”
Jawaban-jawaban yang diberikan memang tidak senantiasa terkait dengan soalan yang diajukan. Tetapi jenis pertanyaan yang dilontarkan ini yang mencoba menggugat kekuasaan Allah Swt., mencoba menguji nalar keimanan, bukanlah pertanyaan yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan. Sehingga dibutuhkan jawaban yang cepat dan tepat, yang oleh Imam jawaban yang dibutuhkan adalah jawaban yang muskip (membungkam) yang lahir dari kecerdasan akal manusia.
Kecerdasan akal manusia yang cepat dan tepat ini tidak muncul begitu saja, sehingga tidak semua manusia memilikinya. Pengoptimalan potensi akal sangat dibutuhkan dalam beribadah dan berdakwah. Bahkan Rasulullah saw. pernah mempertanyakan akal seseorang manakala sahabat Anas Bin Malik memuji seseorang yang lewat di hadapan Rasulullah saw. Anas Bin Malik kagum akan akhlak, adab, dan ibadah orang tersebut. Sehingga Rasulullah saw. menanyakan, “Bagaimana akalnya?”
Sahabat pun heran, ketika dinyatakan akhlak, adab dan ibadah orang tersebut, Rasulullah saw. malah menanyakan akal. Lantas menanyakan mengapa Rasulullah saw. menanyakan hal demikian. Kemudian Rasulullah saw. menjawab bahwa, “Orang bodoh bisa menimpakan kebodohannya kepada sesuatu yang lebih berat (perbuatan) dibanding dengan kesalahan (pelanggaran) yang dilakukan oleh orang fajir (maksiat).” (HR. Imam Ahmad)
Dari hadis ini dapat diambil ibrah, bahwa ada 2 golongan yang celaka, yakni: orang bodoh tetapi ahli ibadah dan orang yang fajir dengan kemaksiatannya.
Khatimah
Manusia harus memfungsikan akalnya dengan benar dan optimal. Ia harus mampu berpikir dengan cepat dan tepat agar bisa mengalahkan setan beserta tipu dayanya selama menjalankan kehidupan di muka bumi. Karena tidak ada satu pun umat Muhammad saw. yang akan terlepas dari tipu daya dan bisikan setan. Setan ataupun iblis akan senantiasa mengajak manusia untuk ramai-ramai masuk ke neraka bagaimanapun caranya, mulai yang paling halus sampai pada dosa terbesar yang tidak dapat diampuni oleh Allah Swt. Manusia harus waspada, khususnya ketika hidup di tengah sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Tidak ada yang menjamin akidah dan perbuatan amal ibadah umat Islam saat ini kecuali dirinya, semoga Allah Swt. memudahkan kita untuk mengalahkan setan agar selamat di jembatan sirat menuju kehidupan hakiki bernama akhirat. Wallahu a’lam.[]