“Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah : 245)
Oleh : Mak Ayu
NarasiPost.Com-Ketika berbicara pinjaman di dunia, sering kali orang mengernyitkan dahi, tanda berpikir. Karena pinjaman yang berarti memberi utang, justru memberikan ganjalan dalam hati. Mengapa begitu? Sebab pinjaman yang kita keluarkan sering tidak sesuai harapan yang diinginkan. Peminjam tidak tepat waktu saat membayar, bahkan ada yang tidak mau membayar, lucunya ada peminjam yang lebih galak dari sang pemberi pinjaman saat ditagih.
Tapi itu adalah pinjaman materi pada manusia (makhluk). Jadi ketika memberi pinjaman luruskan niat dahulu, tujuannya adalah mau membantu karena Allah. Ketika Allah adalah tujuan, maka tidak akan ada pengharapan-pengharapan pada makhluk lain, karena yang mampu menggerakkan hati manusia adalah Allah. Meskipun juga harus tetap diingatkan akan akad saat meminjam.
Apalagi ketika pinjaman itu diberikan pada orang yang tepat sasaran, penangguhan-penangguhannya justru makin memperbanyak nilai pahala, hingga batas yang kita lihat memang tidak lagi mampu untuk mengembalikannya. Maka, lebih baik lepaskan (dengan akad baru). Karena melepaskan pinjaman untuk orang-orang yang membutuhkan yang disertai ikhlas pada Allah justru akan memberikan nilai keuntungan yang berlipat ganda.
Sebagaimana firman Allah Swt, “Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah : 245)
Pinjaman baik yang dimaksud di sini adalah infak (sedekah) yang dikeluarkan di jalan Allah, semata mengharapkan balasannya dari Allah. Karena meyakini, bahwa Allah akan melipatgandakan dengan nilai yang banyak. Siapa yang tidak ingin ganti yang berlipat ganda? Padahal kita tahu bahwa janji Allah pasti akan ditepati.
Seberapa Yakin Kita pada Janji Allah?
Secara kasatmata, yang tampak sehari-hari adalah kehidupan nyata dunia, sedang ada kehidupan lain yang sama sekali tidak terlihat, namun pasti juga keberadaannya yaitu kehidupan akhirat yang kekal. Pinjaman di dunia sepintas akan mengurangi/menghabiskan harta atau bentuk materi lainnya. Jika tidak dibangun dari ketakwaan, mungkin akan sulit melepas materi tersebut untuk urusan akhirat.
Tapi bagi orang yang beriman dan menyakini kebenaran janji Allah, maka dia tak akan segan melepaskan semua hartanya di dunia. Untuk apa? Untuk menyambut janji surga sebagai buah pinjaman yang telah Allah janjikan. MasyaAllah.
Sebagaimana kisah seorang sahabat bernama Abu Dahdah usai mendengar Rasulullah yang bernegosiasi dengan pemilik sebatang pohon kurma yang cabangnya masuk ke halaman rumah seorang pemuda yatim piatu yang hendak memagar batas tanahnya. Namun terhalang batang pohon kurma tetangganya. Pemuda itu berniat membelinya, namun pemilik pohon kurma bersikukuh menolaknya. Maka dia mengadukan itu pada Rasulullah.
Rasulullah menawarkan, “Berikanlah batang kurma itu kepada saudaramu (agar ia bisa memagar tanahnya), engkau akan mendapatkan ganti sebuah kebun kurma di surga,” pinta Rasulullah, tapi pemilik pohon tetap tidak mau.
Majulah Abu Dahdah menghampiri Rasulullah menanyakan kebenaran kata-kata Rasulullah, apakah berlaku untuk orang lain juga? Dan Rasulullah mengiyakan. Dengan wajah berseri, maka Abu Dahdah meminta pada pemilik satu pohon kurma itu untuk menjualnya padanya, “Juallah sebatang pohon kurmamu itu kepadaku. Aku beli dengan seisi kebunku,” ujarnya.
Pemilik sebatang pohon kurma terkejut, tapi langsung menyetujuinya, karena kebun Abu Dahdah terkenal subur dan memiliki 600 pohon kurma disertai sumurnya, vila, dan taman-taman indahnya. Tidak sebanding dengan hanya satu pohon kurma miliknya. Dijadikannya dunia sebagai tolok ukur kebahagiaan.
Sementara Abu Dahdah dan keluarga rela keluar dari rumah dan kebun yang indah itu dengan tertawa riang, karena yakin akan mendapatkan ganti yang berlipat ganda dari Allah. Apalah arti kekayaan dunia yang hanya sementara dibandingkan dengan kehidupan kekal di surga. Dia mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda ketika meminjamkan hartanya di jalan Allah Swt. Tolok ukur kebahagiannya adalah rida Allah semata.
Rasulullah bersabda, “Alangkah banyaknya tandan kurma yang harum baunya milik Abu Dahdah di surga kelak.”
Dia memperoleh surga karena transaksi jual belinya dengan Allah, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka” (QS. At-Taubah : 111).
Pinjaman yang menguntungkan dengan merelakan infak di jalan Allah. Kita bisa memetik pelajaran dari kisah ini :
Jika memberi pinjaman (sedekah), maka niatkan untuk Allah semata. Kehidupan dunia hanya sementara, maka mulailah memikirkan bekal untuk kehidupan akhirat. Jangan kikir karena akan merugikan diri sendiri. Sebanyak apa pun harta dunia, jika tidak dibelanjakan dengan benar, maka tidak bisa memberi manfaat untuk diri sendiri.
Itulah sepenggal kisah yang bisa memberi contoh bagaimana mengelola harta dengan tepat. Sehingga mampu mengantarkan pemiliknya masuk ke dalam surga. Wallahu’alam bishawab.
Ngawi, 17 Agustus 2021[]