Generasi muslim bisa melakukan perubahan secara terstruktur dan berkala dalam barisan jemaah dakwah. Sebuah aktivitas mulia, aktivitas para nabi, sahabat, dan kaum muslim yang muttaqin. Karenanya, "A Day in My Life" akan menjadi mimbar memesona yang berisi kemuliaan dan keagungan Islam.
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dunia medsos (media sosial) begitu berkilau bagi generasi zaman now. Scroll up sana-sini, speak up itu-ini, komentar sana-sini, show up begitu begini sudah menjadi hal yang dilazimi. Pemandangan flexing, free style, dan segudang eksistensi lainnya terus menghantui.
Gemerlap medsos dengan sajian sejumlah konten eksistensi tak pernah ada habisnya. Berbagai aplikasi turut mendukungnya. Mulai konten alamiah dan sederhana hingga konten profesional untuk mencairkan sejumlah dana merupakan sekuel yang amat biasa. Konten mendidik, informasi, komedi, basa-basi, hingga konten aneh bin nyeleneh yang tak layak ditonton juga kerap menyapa.
Medsos bak mimbar eksistensi yang tak terpenuhi di dunia nyata. Generasi milenial bahkan orang dewasa juga menggilai pengakuan diri di medsos. Memosting rutinitas dan foto atau video diri tanpa menakar dampak baik dan buruk sudah menjadi hal "ordinary."
Fenomena "A Day in My Life" Menjerat Generasi Muslim
Dewasa ini, perkembangan teknologi tentu memiliki dampak positif juga negatif. Buat anak-anak atau generasi zaman now yang begitu lahir langsung melek teknologi ( native digital), melihat dan menggunakan ponsel pintar dan canggih adalah makanan sehari-hari. Medsos yang banyak digemari banyak kalangan, terutama generasi muslim milenial, salah satunya adalah TikTok. TikTok menjadi media sosial unggul yang paling banyak menyuguhkan konten generasi muda. Baik itu have fun, jualan, mengumpulkan cuan lewat konten, semua ada.
Selain kebutuhan hiburan dan jualan, ternyata banyak influencer yang menjadikan TikTok sebagai ajang speak up berbagai masalah. Sudah lazim kritik dan unjuk kebolehan mewarnai TikTok dan medsos lainnya. Curhatan dan unjuk gigi alias eksistensi paling dominan merajai medsos.
"A day in my life" dianggap menjadi surga pemenuhan eksistensi, terutama bagi generasi yang tak paham jati diri. Selain itu, fenomena ini memang amat digandrungi. Sebut saja kegiatan rutinitas sehari-hari, rutinitas pagi, kesibukan kerja/kegiatan sekolah, olahraga, travelling, kuliner, healing, masak, berkebun, dll. dikemas sangat keren dan "eye catching" agar menarik hati. Sebuah fenomena yang menyempil di relung hati dan sudah kadung menjadi tradisi.
Sejatinya, sajian kegiatan sehari-hari bukanlah hal yang baru terjadi. Namun, beberapa tahun terakhir, "A Day in My Life" dikemas dalam bentuk video yang mengasyikkan. Video eksistensi diri tentang kegiatan sehari-hari menjadi populer di platform seperti YouTube, Instagram, ataupun TikTok karena lebih mudah memberikan pandangan yang nyata dan jujur tentang kehidupan sehari-hari seseorang.
Nahasnya, konten hedonisme dalam fenomena "A Day in My Life" mendominasi medsos. Alasan para pegiat dan penggemar konten ini beraneka ragam. Alasan motivasi, edukasi, lebih dekat dengan idola, hiburan, jualan, dan lainnya juga pasti terbumbui dengan gaya hidup "Western." Fenomena ini tak mungkin tumbuh subur dan menjerat generasi jika tidak tersuasanakan oleh legalitas tayangan.
Banyakanya suguhan fenomena "A Day in My Life" yang hedonisme tak mungkin tanpa sebab. Sudah menjadi rahasia umum, dunia saat ini dikuasai oleh sistem kapitalisme. Sementara media adalah ujung tombak eksistensi dan juga mercusuar peradaban kapitalisme. Media dijadikan alat untuk menyerang pemikiran generasi muslim. Sehingga, banyak tayangan telivisi (dahulu) dan konten medsos (zaman now ) begitu intens merusak pola pikir dan pola sikap mayoritas generasi muslim.
Fenomena ini terus bergulir dan menjerat generasi muslim agar mengejar eksistensi diri di medsos. Hal ini merupakan buah dari keberhasilan sistem kapitalisme. Barat sukses mencengkeram pemikiran generasi muslim untuk memfokuskam diri pada eksistensi dan sejumlah materi. Jati diri yang sesungguhnya dan sesuai fitrah penciptaan terlupakan dengan sempurna.
Sikap Generasi Muslim atas Fenomena "A Day in My Life"
Tak dimungkiri, pengaruh teknologi dan media amat kuat. Namun, bukan berarti perubahan tak bisa dilakukan. Fenomena "A Day in My Life" seharusnya dipandang dari kacamata yang berbeda. Jika kapitalisme menggariskan eksistensi dalam "A Day in My Life" secara vulgar dan hedonisme tanpa membedakan mana area yang boleh dikonsumsi publik dan mana yang tidak boleh, maka generasi muslim seharusnya menggunakan aturan Islam dalam kehidupan.
Sikap generasi muslim atas fenomena ini adalah menggunakan syariat Islam, baik di dunia nyata ataupun dunia maya. Oleh karena itu, jati diri muslim wajib dipahami oleh generasi muslim agar memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami. Menjadi generasi muslim tangguh yang ber- syakhsiyyah Islam tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar generasi mampu menyikapi fenomena ini:
1. Menancapkan ketaatan dalam diri
Generasi muslim harus menyadari bahwa dirinya adalah hamba yang diciptakan Allah. Di mana visi penciptaan adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
"Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (TQS. Adz-Dzariyat: 56)
Beribadah di sini mencakup tiga dimensi, hablum minallah (hubungan manusia dengan Allah), hablum minnas (hubungan dengan orang lain), dan hablum minannafs (hubungan dengan diri sendiri). Semua aktivitas berkaitan dengan tiga dimensi itu haruslah bernilai ibadah dengan ketaatan total. Itulah jati diri generasi muslim.
2. Mengkaji ilmu Islam secara kaffah
Untuk menjalankan amalan yang bernilai ibadah, baik dunia nyata dan dunia maya, generasi muslim harus memiliki ilmu. Dalam kehidupan, ada area umum dan khusus, maka "A Day in My Life" juga perlu memperhatikan dua area tersebut. Kegiatan di kehidupan khusus jangan sampai dikonsumsi publik. Apa saja kehidupan umum dan khusus itu ada ilmunya. Bagaimana seorang muslim berpakain, berperilaku, dan bersikap, semua ada ilmunya.
Contoh di kehidupan umum, ada larangan ikhtilat (campur baur), larangan khalwat (berduaan), kewajiban menutup aurat, kewajiban menundukkan pandangan, dan lainnya. Semua itu berlaku di dunia maya. Itulah pentingnya generasi muslim mengkaji Islam secara kaffah agar tak salah arah.
Sementara jika hendak menyajikan konten dakwah di kehidupan khsusus juga harus hati-hati. Tidak semua boleh dikonsumsi publik semisal polemik kehidupan dalam rumah dan harus memosisikan diri seperti ada ajnabi (orang asing) dalam rumah. Namun, alangkah lebih baiknya urusan dalam rumah tidak dikonsumsi publik demi kehati-hatian. Sebab, segala perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dari itu, mengkaji Islam menjadi sebuah keharusan.
3. Menjadi agen of change
Sejatinya, pemuda memiliki kekuatan di antara dua kelamahan, kelemahan masa anak-anak dan masa renta. Generasi muslim yang masih memiliki nikmat kuat dalam fisik dan ingatan, memiliki peran besar untuk melakukan perubahan. Seharusnya, generasi muslim mengambil kesempatan dalam fenomena "A Day in My Life" sebagai mimbar perubahan. "A Day in My Life" yang hedonisme dan vulgar harus diubah dalam perspektif syariat Islam.
Perubahan ini akan terjadi jika diupayakan dengan sungguh-sungguh dan istikamah. Generasi muslim bisa melakukan perubahan secara terstruktur dan berkala dalam barisan jemaah dakwah. Apalagi dakwah adalah aktivitas mulia, aktivitas para nabi, sahabat, dan kaum muslim yang mutakin. Dengan berada dalam barisan dakwah, "A Day in My Life" akan menjadi mimbar memesona yang berisi kemuliaan dan keagungan Islam.
Firman Allah Swt. dalam surah Ar-Ra'du ayat 11,
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu yang mengubahnya sendiri."
Demikianlah sikap yang bisa diambil generasi muslim agar paham akan jati dirinya. Eksistensi tak sekadar eksistensi barbar. Namun, generasi muslim ikut beekontribusi pada hadirnya perubahan, lebih kepada perjuangan melanjutkan kembali kehidupan Islam agar Islam menjadi rahmat bagi semesta alam.
Wallahu a'lam bishawab.
Alhasil, konten2 flexing membanjiri media sosial dan memengaruhi sifat konsumerisme orang2.
Penting banget para remaja untuk ikut kajian Islam agar tetap pada koridor Nya..
Miris banget anak muda yang masih belum menemukan jati dirinya sebagai muslim. Kebiasaan posting kalau tidak diarahkan malah cenderung membuat candu. Astagfirullah.
Harus punya pegangan akidah yang kuat agar generasi muda khususnya tak mudah terbawa dan terjebak oleh budaya Barat seperti yang penulis jelaskan di atas.
Mari, selamatkan anak-anak kita dari hal-hal negatif di mana pun berada.
Sekarang era apa-apa ditampilkan ke publik. Lagi ngapain, lagi makan apa, lagi pake skincare, lagi masak, Travelling ke mana, daaaan lain-lain.
Kita tidak sadar bahwa mereka sedang menjerat generasi muslim agar mengejar eksistensi diri di medsos. Hal ini merupakan buah dari keberhasilan sistem kapitalisme.
Yuk, sadar yuk.
Betul nih. Medsos hari ini sebagian besarnya memang digunakan untuk ajang eksistensi diri, dari orang biasa hingga para sosialita. Miris sih, tapi faktanya memang demikian. Roh kebebasan yang kini dianut membuat orang bebas mengunggah segala hal tanpa standar. Inilah sebenarnya urgensi penerapan syariat Islam dalam kehidupan.
Bener banget, klo kondisi sekarang tuh generasi banyak yang kehilangan jati diri sebagai muslim tergantikan dengan gaya hidup kapitalisme sekuler yang hedon dan serba bebas. Saatnya generasi kemvali pada jati dirinya sebagai muslim dengan memahami Islam secara kafah
Bener banget ya, menggunakan medsos adlh sesuatu yg mudah tp bisa juga mengantarkan pd keharaman. Seorang muslim mesti bisa menggunakan meddos secara bijak , dg sll memperhatikan hukum syarak.
Bukan hanya sekadar memikirkan eksistensi diri. Apalagi banyakan generasi saat ini sdh krisis rasa malu, terutama di medsos.