"Meskipun awalnya pajak yang dipungut dari rakyat dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, pada perkembangannya tidak semua hal tersebut dapat terwujud. Besarnya pajak yang dibebankan kepada rakyat kerap membuat rakyat kesulitan untuk membayarnya."
Oleh. Firda Umayah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dalam sistem ekonomi kapitalisme, keberadaan dharibah (pajak) adalah suatu keniscayaan. Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan terbesar dalam negara. Kisaran pajak setiap negara berbeda-beda. Pantai Gading, salah satu negara di Afrika, menempati urutan pertama dalam memberlakukan pajak tertinggi di dunia dengan pajak penghasilan mencapai 60%. Disusul dengan Finlandia 57%, Jepang 56%, Denmark 56%, dll. Sedangkan Indonesia, menduduki peringkat keempat dari predikat negara dengan pajak penghasilan tertinggi di ASEAN sebanyak 30%. Tingginya pajak penghasilan diklaim oleh sebagian besar negara dialokasikan untuk keamanan sosial, pendidikan gratis, fasilitas kesehatan bersubsidi, dll. (inews.id, 12/06/2023)
Di Indonesia, meskipun besaran pajak tak setinggi dengan yang ada di berbagai negara Eropa, namun faktanya pajak tetap menjadi beban yang mencekik bagi rakyat. Sekalipun telah ada penghapusan sanksi administrasi denda pajak hingga nol persen, pajak tetaplah beban berat bagi rakyat. Lantas, bagaimanakah Islam memandang hal ini?
Asal Mula Dharibah
Dharibah alias pajak adalah istilah yang diambil dari Barat. Secara etimologi, dharibah berasal dari kata dasar dharaba, yadhribu, dharban, yang artinya memukul, menetapkan, mewajibkan, menentukan, menerangkan, atau membebankan. Dharaba adalah bentuk fiil atau kata kerja. Sedangkan dharibah adalah bentuk isim atau kata benda, yang berarti beban. Secara umum, pajak dimaknai dengan pungutan wajib yang diberikan kepada rakyat oleh negara yang mengatur urusan mereka. Pajak diklaim dikenakan demi kepentingan bersama bagi semua orang. Pajak biasanya digunakan untuk tujuan menanggung biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi-fungsi publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.
Pajak telah ada jauh sebelum Islam datang seperti pada zaman Mesir kuno begitu juga dengan zaman Romawi, Yunani, dan Persia. Pada zaman Mesir kuno, pajak dikumpulkan dari hasil panen gandum masyarakat dengan kisaran 20 persen dari hasil panen. Pajak juga bisa berupa biji-bijian karena belum adanya mata uang kala itu. Pada masa Yunani, terdapat perbedaan beban pajak antara warga negara dan penduduk wilayah yang ditaklukkan. Bentuk pajak yang diberikan juga beragam. Mulai dari pajak yang diberikan langsung, pajak konsumsi, dan bea cukai.
Setelah Islam datang, pungutan pajak tetap ada. Hingga berdirinya Daulah Islam dan sampai sekarang, pajak tetap hadir di berbagai negara. Ketika Rasulullah saw. mendirikan Daulah Islam di Madinah, pernah terjadi pungutan pajak kepada orang-orang yang berada di perbatasan negara atas barang-barang dagangan orang yang masuk ke dalam negara. Rasulullah saw. lantas melarangnya dengan bersabda,
"Tidak akan masuk surga orang yang menarik cukai (pajak barang dagangan), yakni sepersepuluh." (HR. Ahmad, Abu Ubaidah, dan Ad-Darimi)
Dalam hadis di atas, Imam Ahmad menjelaskan bahwa sepersepuluh yang dimaksud adalah orang yang mengambil harta (pajak) dari sepersepuluh nilai perdagangan luar negeri. Ini juga merujuk kepada pemungutan pajak seperti dalam peristilahan orang-orang Barat. Oleh karena itu, dasar pengambilan pajak seperti pemahaman Barat, jelas dilarang (haram) dalam pandangan Islam.
Pajak dalam Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan keniscayaan yang selalu hadir dalam kehidupan. Karena pajak adalah salah satu sumber utama pemasukan negara. Pajak juga diklaim mengatur distribusi kekayaan masyarakat. Rakyat dengan penghasilan tinggi tentu akan dikenakan tarif pajak yang lebih besar. Begitu juga sebaliknya. Rakyat dengan penghasilan rendah akan dikenakan tarif pajak yang lebih rendah. Pajak dalam kapitalisme juga sering digunakan untuk mengendalikan inflasi, pertumbuhan, dan stabilitas ekonomi. Besaran pajak yang digunakan juga beragam. Fleksibilitas tarif pajak setiap negara yang berbeda-beda tergantung dari kebutuhan setiap negara, kesepakatan politik negara tersebut, dan kebutuhan negara akan pajak.
Jenis pajak pun beragam. Ada pajak penghasilan, konsumsi, penjualan, properti, kepemilikan, bea cukai, pertambahan nilai, dan lain-lain. Semua ketentuan jenis pajak yang diambil oleh negara, dapat berbeda sesuai dengan kebijakan pemerintahan dalam negara tersebut. Besaran nilai pajak pada setiap jenis pajak juga dapat berbeda, mulai dari lima persen hingga 60 persen. Meskipun awalnya pajak yang dipungut dari rakyat dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, pada perkembangannya tidak semua hal tersebut dapat terwujud. Besarnya pajak yang dibebankan kepada rakyat kerap membuat rakyat kesulitan untuk membayarnya. Integritas petugas atau pegawai pajak yang rendah kerap menjadikan pajak sebagai lahan basah untuk melakukan tindak korupsi, suap, negosiasi, pungutan liar, manipulasi data, dan lain sebagainya.
Pajak yang turut memengaruhi penghasilan para kapitalis sering dipermainkan agar mereka dapat menghindari kewajiban membayar pajak. Berbagai cara pun dilakukan, mulai dari menyembunyikan harta kekayaan di luar negeri, memanipulasi laporan keuangan, meminta pengampunan pajak, dan lain-lain. Sayangnya, meskipun para kapitalis dapat lolos dari kejaran pajak, hal ini tidak berlaku bagi para rakyat kebanyakan. Rakyat selalu dikejar untuk melunasi pajak sekalipun ia tak mampu membayarnya. Kalaupun ada pemutihan pajak, itu hanya pemutihan dendanya saja, bukan tagihan pokoknya.
Sistem hukum yang tak tegas dan mudah dinegosiasi membuat hukum tak mampu menyelesaikan persengketaan antara masyarakat dengan aparat negara dalam penyalahgunaan pajak. Banyak kasus tindakan korupsi pajak yang jauh dari sebuah keadilan. Banyak pula orang-orang kaya yang lolos pajak karena tax amnesty atau yang lainnya. Banyak pula penyaluran dana pajak yang tidak sesuai dengan pos pengeluarannya. Di sebagian negara, hasil pungutan pajak justru lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti rapat kerja yang berlebihan, studi banding, tunjangan para aparat negara, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme, pajak hanyalah alat untuk mengeruk kekayaan atau keuntungan dari rakyat yang notabene bukan dari kalangan elite.
Pajak dalam Pandangan Islam
Syariat Islam memandang bahwa pendapatan negara untuk mengatur dan mengurus kebutuhan rakyat, telah ditetapkan oleh Allah Swt. berdasarkan dalil-dalil syarak. Allah menetapkan bahwa pos-pos pemasukan negara berasal dari zakat, fai, jizyah, ganimah, kharaj, 'usyr, dan pengelolaan kepemilikan umum. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surah At-Taubat ayat 29 mengenai perintah jizyah dan surah Al-Anfal ayat 69 mengenai hukum ganimah. Adapun kewajiban zakat, ada dalam surah Al-Baqarah ayat 43, Al-Bayyinah ayat 5, At-Taubat ayat 103, dan lain-lain. Khusus untuk zakat, maka Allah memerintahkan ini hanya ditunjukkan untuk delapan golongan saja sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an surah At-Taubat ayat 60. Kewajiban negara dalam mengelola kepemilikan umum, terdapat dalam hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa umat Islam berserikat atau memiliki hak yang sama dalam sumber air, padang rumput (termasuk hutan), dan api yakni barang tambang dan energi.
Semua pos pemasukan negara tersebut digunakan untuk memenuhi biaya seluruh kewajiban negara dalam mengurusi segala urusan rakyatnya. Urusan ini meliputi kebutuhan pelayanan umum dan infrastruktur, penanganan bencana alam, industri militer dan yang mendukung jihad fi sabilillah, gaji pegawai negara, dan lain-lain. Jika dari pos pemasukan yang ada ternyata tidak mampu menutupi kebutuhan negara, maka negara boleh mengambil pajak dari rakyat, tentu saja dengan batasan yang telah ditentukan oleh hukum syarak. Dalam Islam, pengambilan pajak merupakan tindakan insidental bukan permanen seperti dalam sistem kapitalisme.
Objek pajak dalam Islam hanya dikenakan untuk muslim yang kaya saja. Batasan kaya di sini adalah bagi mereka yang telah mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier (hajatul asasiyah wa hajatul kamaliyah). Orang-orang kafir tidak dimintai pajak, melainkan mereka tetap membayar beban sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Jumlah pajak yang ditarik untuk muslim kaya, juga dibatasi oleh kebutuhan yang wajib ditanggung oleh kaum muslim. Bukan kebutuhan lain atau untuk melampaui target pendapatan negara. Adapun penarikan pajak bea cukai karena masuknya barang dari luar negeri, maka ini dibolehkan selama menggunakan takaran yang sama atau kurang dari ketetapan pajak yang diberikan negara lain saat barang dari negara Islam masuk ke negara mereka.
Penarikan pajak dari muslim harus dihentikan ketika kebutuhan vital negara telah dapat terpenuhi. Selanjutnya, negara harus mengelola pendapatan yang ada sebagaimana ketentuan hukum syarak yang sebelumnya telah ditetapkan. Dalam sistem pemerintahan Islam, pajak yang dipungut akan benar-benar tersalurkan sesuai dengan hukum syarak karena didukung oleh aparat yang beriman dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Allah akan menjaga pegawai negara dari tindakan yang melanggar syariat Islam. Sistem hukum Islam yang tegas juga mampu memberikan efek jera dan menghapus dosa pelaku ketika dijalankan sesuai dengan syariat Islam. Setiap individu muslim yang menjadi warga negara Islam juga akan melaksanakan semua syariat-Nya dalam kehidupan, keimanan dan keyakinan akan tertanam dalam diri mereka. Kepribadian Islam juga tecermin dalam aktivitasnya. Hal itu karena umat Islam menyadari bahwa semua perbuatan kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, Islam yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan akan jauh dari kezaliman.
Penutup
Kebolehan pengambilan pajak dalam Islam, merupakan jalan terakhir ketika semua pos pemasukan negara tak mampu memenuhi kebutuhan vital negara dalam mengurus urusan rakyat. Ini tentu saja dilakukan dengan cara yang makruf dan porsi yang tidak memberatkan para muslim kaya yang mendapatkan beban pajak. Pengambilan pajak hanya boleh dilakukan oleh institusi negara Islam yang telah menerapkan semua sistem Islam dalam kehidupan sehingga tidak ada kezaliman dan pelanggaran hukum syarak dari tindakan yang diambil oleh negara.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Hidup di sistem kapitalisme memang tak bisa lepas dari pajak. Ya, karena salah satu pilar utama kapitalisme yang dianut negeri ini adalah pajak. Pajak itu ibarat ruhnya kapitalisme, kalau gak dipungut bisa matilah sistem ini. Cuma bisa bilang, nelangsanya hidup di negeri pajak.
Rumah yang kita miliki dan kita huni setiap tahun harus bayar pajak, padahal sudah kita beli, seperti ngontrak saja, walaupun nilainya kecil tapi tetap beban. Kapitalisme memeras rakyat kecil.
Ya, benar. Apa pun itu hampir semuanya ada pajaknya. Tapi hasil pembayaran pajak tak bisa dirasakan oleh rakyat. Karena semuanya tetap saja semakin mahal.
Hidup dalam sistem kapitalisme bener meyengsarakan. Apa2 dikenai pajak. Gak bayar di denda. Di peras keringat rakyat lewat pajak. Kontradiktif dg Islam yg tdk ada pajak. Klo pun ada pungutan itu kondisi urgen pada golongan tertentu sj, jumlah yg tdk memberatkan dan bersifat sementara.
Benar sekali. Keadilan hanya ada pada sistem Islam. MasyaAllah
Jazakumullah khoiron katsiron kepada semua tim NP