"Begitu pentingnya keadilan itu untuk ditegakkan dengan seadil-adilnya. Nabi saw. telah mengajarkan kepada umat manusia untuk tidak membeda-bedakan satu orang dengan yang lainnya dalam pandangan hukum. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada seorang pun yang kebal terhadap hukum. Karena sesungguhnya tebang pilih dalam hukum merupakan sumber kebinasaan umat-umat sebelum kita. "
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Di sistem kapitalisme yang sekarang ini diterapkan di hampir setiap negara di dunia, termasuk Indonesia, sering kali terjadi tebang pilih dalam hukum. Bahkan muncul idiom "Hukum laksana pisau, tumpul ke atas tajam ke bawah." Ya, karena dalam sistem ini, kepentingan dan keuntunganllah yang menjadi asas, bukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Keadilan hukum terjadi jika diberlakukannya hukum secara merata kepada semua strata sosial masyarakat yang ada, tanpa membedakan yang kaya ataupun yang tak punya, penguasa maupun jelata, baik yang mulia ataupun yang hina, anggota keluarga maupun bukan, anak kiai ataupun bukan, bahkan muslim maupun nonmuslim. Di hadapan hukum, kedudukan semua orang adalah sama.
Dalam Islam, aspek keadilan mempunyai posisi yang sangat tinggi. Tidak ada bukti keadilan yang begitu lengkap, kecuali ada dalam ayat Al-Qur'an serta hadis mulia Rasulullah saw. sebagai sumber hukum yang jelas dan terang yang menjelaskan kedudukan prinsip keadilan dalam Islam. Bahwa hukum harus ditegakkan meski kepada anak sendiri, kerabat, saudara, penguasa, kiai, preman, kaya, juga miskin. Jika mereka terbukti melanggar hukum, maka harus diadili dengan seadil-adilnya sesuai hukum Islam.
Keadilan sendiri merupakan ciri utama ajaran Islam. Setiap orang memperoleh hak dan kewajibannya secara sama. Karena pada hakikatnya, manusia mempunyai derajat yang sama. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat 13 surah Al-Hujuraat bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Dan sungguh, jika kita mau melihat sejarah, maka penegakan hukum yang tidak pandang bulu telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khulafaurasyidin setelah beliau. Kita bisa lihat, ketika Rasulullah memulai menegakkan hukum tentang haramnya riba, maka dimulai dari kerabat Beliau saw. sendiri, yaitu paman Beliau, ‘Abbas bin Abdul Muthallib.
Dalam Syarh Riyadhus Shalihin, 1/1907, terbitan Maktabah Asy-Syamilah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan, ”Begitulah hukum. Begitulah penguasa. Merekalah yang pertama kali menerapkan hukum pada kerabatnya sendiri. Sangat berbeda dengan penguasa hari ini, kerabat mereka mempunyai kekebalan hukum sendiri, sehingga bisa berbuat sekehendaknya. Akan tetapi, pada masa Baginda Rasulullah, bahkan riba yang pertama kali dihapuskan adalah riba pamannya sendiri yaitu 'Abbas bin Abdul Muthallib. Dan sungguh, riba ‘Abbas dihapus semuanya."
Tak hanya itu, pernah suatu waktu, salah seorang sahabat Nabi saw., yaitu Urwah bin az-Zubair yang bercerita kepada Az-Zuhri tentang kejadian yang ia saksikan semasa hidup Rasulullah. Ketika itu, Urwah melihat seorang wanita bernama Fatimah al-Makhzumiyyah, yang merupakan putri dari kepala Bani Al-Makhzum, kedapatan mencuri pada hari Fathu Makkah. Kemudian kaumnya (Bani Makzum), meminta kepada Usamah bin Zaid putra Zaid bin Haritsah, yaitu anak angkat Rasulullah yang juga terkenal sangat dicintai oleh baginda Nabi saw.
Mereka menemui Usamah dan memintanya melobi Rasul saw. dan menolong wanita tersebut. Maka, datanglah Usamah kepada Rasulullah dan menceritakan maksud serta tujuan kedatangannya. Setelah mendengar perkataan Usamah, roman muka Rasul pun berubah. Kemudian Beliau saw. berkata, "Apakah engkau akan meringankan hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah?'' Usamah pun meminta maaf atas ucapannya kepada Beliau saw. Ketika menjelang sore hari, Rasulullah berdiri di hadapan para sahabatnya untuk berkhotbah dengan diawali memuji Allah pemilik segala pujian. Dan dari umul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengisahkan isi khotbah tersebut dalam hadis mulia,
أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
“Sesungguhnya kaum Quraisy mencemaskan nasib yang akan menimpa wanita dari Bani Makhzumiyyah yang ketahuan mencuri. Mereka mengatakan, ‘Siapa yang bisa melobi Rasulullah?’ Maka mereka pun menjawab, ‘Tak ada yang berani melainkan kecintaan Rasulullah yaitu Usamah bin Zaid.’ Maka Usamah pun melobi Baginda Nabi agar meringankan atau membebaskan wanita tersebut dan terhindar dari hukuman potong tangan. Maka Rasulullah pun bersabda, ‘Apakah engkau memberi syafaat berkaitan dengan hukum Allah?’ Beliau pun berdiri kemudian berkhotbah, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya yang menghancurkan kaum sebelum kalian adalah apabila ada orang yang memiliki kedudukan di antara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya dan tidak dihukum. Tapi, jika yang mencuri adalah rakyat biasa, maka mereka memberlakukan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh bahkan jika Fatimah binti Muhammad yang mencuri, maka aku sendirilah yang akan memotong tangannya’." (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)
Setelah itu, Rasulullah memerintahkan untuk memotong tangan Fatimah al-Makhzumiyyah tersebut. Dan setelah pelaksanaan hukuman selesai, beliau mengabarkan bahwa tobat wanita tersebut telah diterima oleh Allah. Kemudian wanita itu menjalani kehidupannya secara normal, hingga suatu hari ia datang kepada 'Aisyah untuk mengajukan suatu hajat pada Baginda Rasulullah saw. dan beliau menerimanya.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah, ketika menjelaskan hadis ini ia berkata, ”Inilah keadilan. Inilah penegakan hukum Allah itu, yaitu bukan berdasarkan menuruti hawa nafsu. Sumpah Rasulullah saw. yakni 'Jika Fatimah binti Muhammad (putri Beliau saw) mencuri, dan sungguh secara nasab dibandingkan dengan wanita Bani Makhzum tersebut, maka Fatimah lebih mulia, karena Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga kelak, maka Rasulullah sendiri yang akan memotong tangan Fatimah.”
Kemudian masih dalam Syarh Riyadhus Shalihin, 1/2119, terbitan Maktabah Asy-Syamilah, beliau Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah melanjutkan, ”Demikianlah, wajib bagi pemimpin agar tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka dilarang memihak seorang pun karena hubungan kekerabatan, kekayaan, keturunan, kedekatan (dengan penguasa), maupun kemuliaannya di masyarakat, baik dari kabilah/sukunya, atau faktor lainnya."
Begitu pentingnya keadilan itu untuk ditegakkan dengan seadil-adilnya. Nabi saw. telah mengajarkan kepada umat manusia untuk tidak membeda-bedakan satu orang dengan yang lainnya dalam pandangan hukum. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada seorang pun yang kebal terhadap hukum. Karena sesungguhnya tebang pilih dalam hukum merupakan sumber kebinasaan umat-umat sebelum kita.
Lihatlah kita hari ini, krisis ekonomi yang berkepanjangan, bangsa yang selalu dirundung masalah seolah tak ada habisnya, pandemi, musibah demi musibah, gejolak sosial, rusaknya generasi muda, merupakan imbas dari ketimpangan hukum, akibat menerapkan sistem buatan manusia yang sarat akan kepentingan nafsu. Dan sungguh, keadilan hanya bisa dirasakan jika Islam diterapkan secara institusi, karena hukum adalah hukum, ia harus diberlakukan bagi siapa saja yang terkait dengannya. Inilah yang diajarkan oleh Rasulullah untuk kemaslahatan umat manusia.
Wallahu a'lam.[]