"Inilah yang menjadi problematik kita saat ini. Penerapan sistem sekuler kapitalis di negeri ini yang hanya memikirkan keuntungan duniawi telah banyak merugikan umat Islam. Adanya kebebasan tanpa ketegasan mengenai penjualan produk-produk yang dilarang syariat, membuat siapa pun dengan mudah mendapatkannya."
Oleh. Dila Retta
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Siapa yang tidak mengenal kuliner khas Ranah Minang seperti nasi padang atau rendang yang telah mendunia? Cita rasa masakan yang kaya akan rempah tersebut menjadikan kuliner dari daerah Sumatra Barat ini diminati banyak orang. Namun, baru-baru ini masyarakat dihebohkan dengan munculnya salah satu restoran yang menjual masakan padang berbahan dasar babi.
Restoran yang bernama Babiambo yang diketahui berada di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara, menjadi viral lantaran promosinya di sosial media diketahui netizen. Akun sosial media yang mencantumkan tagline “First in Indonesia, a Nonhalal Padang Food” di deskripsi profilnya telah membuat masyarakat terlebih warga Sumatra Barat menjadi geram. Hal tersebut tetap menjadi polemik hingga saat ini, meski akunnya sudah tidak bisa dicari lagi.
Saat kabar mengenai restoran Babiambo ini menjadi viral, sang pemilik restoran, Sergio memaparkan bahwa restorannya sudah tutup sejak 2020 karena pandemi.
Menuai Pro dan Kontra
Dalam menanggapi hal seperti ini, tentu saja ada pro-kontra yang terjadi. Sebagai masyarakat asli Sumatra Barat, tentu saja banyak dari mereka, termasuk tokoh dan politisi seperti anggota DPRD Sumbar pun menjadi geram bahkan mulai mengecam pemilik restoran tersebut. Tidak hanya itu, Gubenur Sumatra Barat, Mahyeldi juga mengusulkan agar Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) yang tersebar di seluruh daerah melakukan pengecekan dan sertifikasi mengenai masakan padang untuk menghindari hal-hal seperti ini terjadi lagi. Karena bagaimanapun juga, penggunaan bahan dasar babi yang dikomersialkan dengan turut mencantumkan nama “Masakan Padang” dapat merusak citra budaya Minangkabau yang kental dengan falsafah keislamannya.
Meski ada beberapa pihak yang mengatakan jika tidak ada unsur pidana yang dapat menjerat pemilik restoran karena tidak adanya aturan hukum yang melarang siapa pun membuat masakan menggunakan bahan dasar babi, terlebih jika pemilik restoran tersebut telah menjelaskan jika restorannya menjual makanan nonhalal.
Mengenal Falsafah Minangkabau
Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui bahwa budaya masyarakat Minangkabau sangat kental dengan ajaran agama Islam, sebagaimana yang dijelaskan falsafah hidup masyarakat Minang, yakni: “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang berarti adat bersandar pada syariat dan syariat bersandar pada kitabullah (Al-Qur’an dan hadis).
Bukan tanpa alasan falsafah tersebut menjadi cukup masyhur dan masih diterapkan hingga saat ini. Ketika Islam mulai masuk di Minangkabau pada abad ke-7 Masehi dan mulai berkembang pesat sekitar abad ke-17 hingga 19 Masehi, masyarakat Minangkabau mulai menerapkan syariat Islam sebagai landasan mereka dalam menjalankan kehidupan, baik dalam interaksi sosial, hukum adat, budaya, termasuk juga makanannya.
Selama berabad-abad masyarakat Minangkabau telah memegang teguh budaya dan adatnya yang bersandar pada syariat Islam, maka tidak heran jika mereka merasa geram saat mengetahui ada pihak yang berusaha ‘mencemarkan’ atau merusak citra budayanya. Dalam pitaruah Minang lainnya juga disebutkan, “Adat babuhua sintak, syarak babuhua mati” yang bermakna adat adalah ikatan yang hidup, bisa dimusyawarahkan jika ada yang tidak sesuai. Tapi syariat adalah ikatan mati yang tidak bisa diganggu gugat karena telah bernilai mutlak, harus senantiasa tetap sampai kapan pun.
Inilah beberapa bukti bahwa selama ini masyarakat Minang memang cukup tegas perihal adat budaya dengan berlandaskan pada syariat Islam.
Babi dan Keharamannya
Bagi umat Islam, mengonsumsi babi telah ditegaskan keharamannya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa surah di Al-Qur’an, seperti QS. Al-Baqarah ayat 173, QS. Al-Maidah ayat 3, QS. Al-An’am ayat 145, dan QS. An-Nahl ayat 15. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 173 misalnya, Allah dengan jelas telah menegaskan apa saja yang diharamkan bagi kita. Allah berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Berdasarkan fakta ilmiah, diketahui alasan mengapa babi tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Hal ini disebabkan karena babi adalah binatang yang kotor. Dalam tubuh babi sering kali menjadi tempat penampung penyakit, seperti berbagai jenis cacing, bakteri, hingga virus-virus berbahaya dan mematikan bagi manusia. Bahkan, menurut sebuah penelitian ilmiah juga disebutkan bahwa babi memiliki struktur DNA sama dengan manusia, tingkat kesamaan SINE (Short Intersperse Nucleotide Element) dan LINE (Long Intersperse Nucleotide Element) pun sangat tinggi. Karenanya, dapat dikatakan bahwa orang yang memakan daging babi dinilai sama dengan sifat kanibal dan bisa berdampak pada kelainan generasi berikutnya.
Namun, ada hal lain yang patut kita sayangkan. Jika sudah mengetahui tentang keharaman beberapa makanan seperti daging babi, mengapa hal-hal demikian masih bisa kita jumpai dengan mudah? Inilah yang menjadi problematik kita saat ini. Penerapan sistem sekuler kapitalis di negeri ini yang hanya memikirkan keuntungan duniawi telah banyak merugikan umat Islam. Adanya kebebasan tanpa ketegasan mengenai penjualan produk-produk yang dilarang syariat, membuat siapa pun dengan mudah mendapatkannya.
Aturan Islam Terkait Makanan Halal dan Haram
Dalam QS. Al-Maidah ayat 88 disebutkan, Allah berfirman, “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya." Islam dengan sangat tegas memberikan aturan agar umat muslim tidak mengonsumsi makanan-makanan yang diharamkan, seperti darah, bangkai, babi, binatang buas, khamar, dan binatang-binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Tidak hanya itu, Islam juga telah memberikan aturan agar umat muslim mengonsumsi makanan-makanan yang diperoleh dengan cara baik, bukan dengan cara-cara yang dilarang syariat Islam seperti mencuri dan lain sebagainya.
Adanya aturan-aturan seperti ini tidak lain dan tidak bukan karena Allah sangat mencintai seluruh hamba-Nya. Allah ingin menjaga hamba-hamba-Nya dalam kebaikan dan menghindarkan kita dari siksaan. Dan sebagaimana yang telah kita ketahui sebagai umat muslim, bahwa segala sesuatu yang masuk dalam darah kita bukan hanya memengaruhi kesehatan, namun juga berpengaruh pada terijabahnya doa. Karenanya, sangat penting bagi umat muslim untuk mengetahui kehalalan dan kebaikan apa pun yang akan dikomsumsi, dan inilah yang menjadikan alasan pentingnya sertifikasi halal MUI.
Meskipun secara konstitusional telah ada aturan hukum yang mengatur tentang jaminan kehalalan produk untuk masyarakat, hal seperti ini pun masih sering memunculkan keraguan apakah telah berjalan dan diterapkan dengan tepat. Karena jika mau mengkaji lebih dalam lagi, ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kehalalan makanan menurut aturan syariat, yakni halal secara zatnya, halal cara mendapatkannya, halal saat memprosesnya, halal dalam penyimpanannya, serta halal dalam penyajiannya. Sedangkan menurut fakta empirisnya sendiri, masih banyak produsen yang tidak jujur mengenai produk yang diperjualbelikan, namun tetap bisa mendapatkan sertifikasi halal.
Oleh sebab itu, seyogianya pemerintah mulai memperbaiki sistem kehidupan yang diterapkan agar benar-benar menjadikan syariat Islam sebagai landasannya. Seorang pengarang buku tentang tata negara dan hukum-hukum Islam, Mohammad Tahir Azary, telah memperkenalkan sebuah teori yang disebutnya dengan Teori Lingkaran Konsentris. Dalam teorinya ini disebutkan bahwa agama, hukum, dan negara adalah sebuah kesatuan, dan agama menjadi inti dari segalanya. Agar dapat melindungi dan menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat, nilai-nilai dan ajaran syariat tidak boleh dipisahkan saat membuat hukum dalam mengatur negara.
Hikmah Kejadian
Meskipun terdapat keberagaman suku, ras, maupun agama, namun mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Oleh sebab itu, adalah sebuah kewajaran jika terdapat aturan untuk menjual produk-produk yang harus terjamin kehalalannya melalui sertifikasi halal dari MUI. Namun, bukan berarti masyarakat nonmuslim tidak diperkenankan untuk mengonsumsi apa yang mereka percaya tidak melanggar aturan agamanya. Hanya saja, mereka harus bisa lebih bijaksana agar jangan sampai ‘menyinggung’ budaya yang ada atau membuat orang lain merasa dirugikan.
Tidak hanya itu, agar kejadian seperti ini tidak lagi terulang dan disepelekan, tentu diperlukan kebijakan hukum yang tegas. Dan satu-satunya kebijakan hukum yang paling sempurna adalah dengan menerapkan hukum Islam secara kafah dalam naungan khilafah. Sebagaimana pula yang dapat kita pelajari dari dua falsafah Minangkabau di awal penjelasan tadi, maka kita akan memahami seberapa penting kedudukan syariat Islam dalam kehidupan.
Wallahu’alam bishawab.[]