"Mua'awiyyah mengisahkan Rasulullah saw. pernah dipanggil oleh sahabat Ibnu 'Arabi dengan julukan ibnu Adz-Dzabihaini (keturunan orang yang disembelih)."
Oleh. Dian Afianti Ilyas
(Tim Redaksi NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Jazirah Arab bagaikan ubun-ubun gundul di atas kepala bumi. Tak ada rambut yang menumbuhi, apalagi makhluk hidup yang ditemui. Tak ada satu pun pepohonan, jangankan manusia, hewan pun tak ada yang bermukim.
Saat siang hari, serpihan kecil bebatuan yang tersirami cahaya matahari membuat suhu di sekitar menjadi sangat panas. Sebaliknya, kala malam hari menyapa, angin berlari kencang tanpa ada bebukitan yang menahannya, hal ini membuat cuaca menjadi sangat dingin.
Demikian keadaan Semenanjung Arab. Siapa pun yang mencoba untuk tinggal di sana, maka cepat atau lambat akan mati kepanasan, kedinginan, atau kehausan. Sebab, air sebagai sumber kehidupan tidak terpancar di gurun pasir tersebut.
Di tanah tandus inilah, Allah Swt. memilih sebagai titik mula kehidupan manusia yang akan mengubah dunia. Nabi Ibrahim 'alaihis salam, Abu al-Anbiya membawa Istrinya Hajar bersama buah hati tercintanya Ismail kecil pergi jauh dari negeri Palestina menuju negeri yang tak berpenghuni. Di tengah-tengah gurun nan tandus itulah, Nabi Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya, lalu kembali ke Palestina tanpa kedua orang yang sangat dikasihinya.
Bukan karena Nabi Ibrahim 'alaihis salam tega, namun ini adalah perintah Allah Swt. yang memiliki visi jauh ke depan yaitu tanda-tanda dipersiapkannya cahaya kenabian yang kelak lahir dari rahimnya agama Islam untuk menerangi manusia di tengah kegelapan peradaban. Maka, Hajar pun meyakini bahwa Allah Swt. tidak akan menelantarkan ia dan anaknya Ismail. Allah Swt. akan menjaganya dari rasa lapar dan dahaga, serta mara bahaya.
Siapa mengira, Allah Swt. mengubah tanah yang dulunya tandus, kini mengalir air yang beriak tiada henti. Mata air tersebut diberi nama zamzam. Lembah yang dulunya tak berpenghuni, kini dipenuhi manusia, hingga berdirilah sebuah kota utuh yang bernama kota Makkah.
Nabi Ibrahim 'alaihis salam pun beberapa kali datang mengunjungi keluarganya di Mekah. Dikunjungan yang kesekian kalinya, nabi Ibrahim bermaksud melaksanakan perintah Allah Swt. yang ia peroleh lewat mimpi. Nabi Ibrahim bermimpi sedang menyembelih buah hati yang disayanginya, Ismail. Nabi Ibrahim sangatlah paham bahwa mimpi tersebut bukanlah mimpi sembarangan, melainkan perintah Allah Swt. yang harus dijalankannya sebagai bukti cinta dan taat kepada-Nya.
Berulang kali setan berusaha menggoda Nabi Ibrahim agar membatalkan niatnya, namun gagal sebab ketaatan Sang Khalilullah. Tak tinggal diam, setan kemudian mendatangi Hajar dengan membisikkan ketakukan akan niat suaminya, namun Hajar juga tak tergoda. Kemudian setan pun menghampiri Ismail untuk menentang niat ayahnya, tetapi bisikan setan tak mempan mengurungkan niatnya.
Begitu teguhnya iman ketiga manusia ini. Atas ketabahan dan keikhlasan Nabi Ibrahim, Allah Swt. pun kemudian mengalihkan pisau dari leher Ismail dan diganti menjadi kambing.
وفدينه بذبح عظيم
"Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (TQS. As-Saffat: 107)
Allah Swt. telah menggariskan bagi Nabi Ibrahim 'alaihis salam jalur kenabian lewat anaknya Ismail yang kelak menjadi nenek moyang bangsa Arab. Dari jalur Nabi Ismail 'alaihis salam, akan muncul nabi terakhir dan pemimpin para rasul, yang diutus untuk menebarkan rahmat ke seluruh penjuru dunia.
Adalah Muhammad bin Abdullah, manusia agung pilihan Allah Swt. yang menjadi sayyidul anbiya' wal mursalin. Nabi yang nasabnya terjaga lagi suci. Ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib adalah putra bungsu Abdul Muthallib, keturunan bani hasyim. Bani hasyim merupakan bagian dari suku Quraisy yang menjadi anak keturunan Fihr bin Malik bin Al-Nadhr bin Kinanah. Kinanah inilah merupakan keturunan dari Adnan.
Dalam sirah nabawiyah yang ditulis Abdul Hasan 'Ali al-Hasani an-Nadwi, para ulama meyakini bahwa nasab Adnan berujung pada Ismail bin Ibrahim 'alaihis salam, sehingga bisa dipastikan bahwa nasab Rasulullah sampai kepada Nabi Ismail 'alaihis salam.
Sebagai keturunan keluarga yang dipercaya memikul tanggung jawab mengurusi Ka'bah, Abdul Muthallib -Kakek Rasulullah- tiap tahunnya harus menyiapkan air minum bagi ribuan jemaah haji. Namun, suatu ketika masa paceklik menerpa Makkah. Sumur-sumur yang biasanya dijadikan tempat untuk mengambil air menjadi kering. Abdul Muthallib pun kebingungan sebab tak lama lagi waktu haji akan tiba. Kabilah-kabilah Quraisy pun dikumpulkan di rumah Abdul Muthalib untuk mencari jalan keluar atas masalah ini.
Di tengah pembahasan, mereka teringat akan sumber mata air yang tak pernah habis sepanjang masa, yaitu zamzam. Hanya saja, tak ada yang seorang pun yang mengetahui dengan persis lokasi sumur zamzam tersebut.
Allah berkehendak lain, ketika Abdul Muthallib tengah tertidur di Hijir Ismail, Allah Swt. memberikan kabar lewat mimpi dengan mendatangkan seseorang yang seolah-olah menyuruhnya untuk menggali sumur zamzam. Mimpi ini terus berulang kali hadir dalam tidur Abdul Muthallib, hingga disampaikan padanya posisi sumur zamzam berada di antara dua berhala, Ash dan Nailah.
Hal ini membuat para pembesar Quraisy marah dan menentang rencana Abdul Muthallib. Selain itu, Abdul Muthallib tidak memiliki siapa pun yang bisa membantunya, kecuali seorang anak laki-laki bernama Al-Harits. Abdul Muthallib kemudian menyadari sedikit kemampuan yang dimilikinya untuk menggali sumur zamzam.
Dalam ketidakberdayaannya, Abdul Muthallib pun beranjak pergi dan berdiri di hadapan Ka'bah seraya bernazar kepada Allah Swt, "Jika aku dikaruniakan sepuluh anak laki-laki, kelak dewasa mereka mampu melindungiku saat aku menggali zamzam, maka aku akan menyembeli salah seorang diantara mereka dari sisi Ka'bah sebagai bentuk kurban".
Tahun berganti tahun, anak-anak Abdul Muthallib pun lahir dan tumbuh menjadi dewasa hingga genap menjadi sepuluh orang. Niat Abdul Muthallib yang sudah lama terpendam pun ingin segera diwujudkannya, yaitu menggali sumur zamzam. Tak lupa pula dengan nazarnya yang akan mengorbankan salah seorang anaknya untuk disembelih.
Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anak tersebut. Betapa terkejutnya Abdul Muthallib ketika melihat hasil undian yang mengeluarkan nama anak bungsu yang paling disayanginya, yaitu Abdullah. Orang-orang Quraisy yang menyaksikan pengundian itu menolak dan tidak membiarkan Abdullah menjadi sembelihan.
Hal ini dikarenakan Abdullah memiliki tempat istimewa di hati orang-orang Quraisy. Anak yang terkenal dengan hati yang bersih, lembut, memiliki senyuman yang meneduhkan bagi mereka yang melihat, serta anak yang sama sekali tidak pernah menyakiti orang lain.
Akhirnya, para pembesar Quraisy angkat bicara. Mereka lebih setuju apabila anak-anak mereka sendiri yang menjadi tebusan, daripada Abdullah harus dikurbankan. Mereka pun mengusulkan untuk bertanya kepada Kahin, seorang peramal di masa itu.
Pergilah para pembesar Quraisy mendatangi Kahin dan menjelaskan duduk persoalan yang mereka hadapi. Kahin pun bertanya, "Berapa taruhan yang kalian miliki?" Salah seorang perwakilan pembesar Quraisy menjawab, "Sepuluh ekor unta." Kahin kemudian memerintahkan kepada mereka, "Datangkanlah sepuluh ekor unta lalu undilah atas nama mereka dan nama Abdullah, jika hasil undian yang keluar atas nama Abdullah, maka tambahkan sepuluh ekor unta lagi, begitu seterusnya hingga nama Abdullah tidak lagi keluar."
Sepulang dari menemui Kahin, mereka langsung mengadakan kembali pengundian. Ternyata, undian tersebut masih mengeluarkan nama Abdullah, sehingga Abdul Muthallib harus menambah sepuluh ekor unta lagi. Kejadian tersebut terus berulang, hingga unta yang diundi mencapai seratus ekor, nama Abdullah tidak keluar lagi.
Masyarakat Makkah bersorak gembira hingga berlinang air mata menyaksikan upaya penyelamatan Abdullah dari aksi sembelihan. Seratus ekor unta tersebut akhirnya disembelih di sisi Ka'bah, Abdullah pun tetap bisa melanjutkan kehidupannya.
Demikianlah nasab manusia paling agung, Muhammad bin Abdullah. Keturunan dari dua orang yang disembelih. Al-Hakim meriwayatkan dalam Mustadrak sebuah hadis dari Mua'awiyyah yang mengisahkan Rasulullah saw. pernah dipanggil oleh sahabat Ibnu 'Arabi dengan julukan Ibnu Adz-Dzabihaini (keturunan orang yang disembelih). Mendengar panggilan tersebut, Rasulullah tersenyum tanpa menyangkalnya.
Rasulullah saw. pernah berkata, "Aku adalah ibnu Adz-Zabihaini." Para sahabat kemudian bertanya, "Siapa Adz-Zabihaini itu, ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Mereka adalah Ismail dan Abdullah."
Wallahu 'alam bish showab[]
Photo : Pinterest