"Ketidakmaksuman para sahabat tersebut tidak patut dijadikan dalih untuk bebas mengatakan bahwa Mu'awiyah r.a memainkan berbagai isu agama untuk menetapkan kepentingan politiknya. Jika Anda ingin berbicara tentang liberalisme, semestinya menggunakan cara pandang yang liberal pula."
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Akhir-akhir ini, bila ada seorang muslim yang ingin memperjuangkan penegakkan syariat Islam sesuai dengan kemampuan orang per orang, selalu ada saja yang mengumbar cap buruk dari orang-orang yang dikenal dengan sebutan “kaum kepala dingin.”
Mereka yang memunculkan sikap moderat, elegan, dan paling "NKRI harga mati” selalu mengajak orang untuk menyebarkan paham-paham nasionalis dan kebebasan, walaupun memang di lain pihak mereka juga sangat giat mengumbar cap intoleransi, radikal, antinasionalis, serta mengeklaim makar secara gebyah-uyah. Intinya, orang yang tidak mengucapkan kata “NKRI harga mati” sudah pasti dia radikal dan tidak cinta tanah air.
Sebenarnya hubungan Islam dan budaya lokal itu jelas kaidah-kaidahnya. Islam menjadi tolok ukur. Budaya lokal adalah objek yang ditinjau. Jadi, jika budaya lokal itu sesuai dengan syariat Islam, maka kita boleh mengambilnya, seperti laki-laki Jawa memakai belangkon yang menjadi penutup kepala yang khas. Sebaliknya, apabila budaya lokal itu tidak sesuai dengan syariat Islam, maka tidak boleh kita lakukan, seperti perempuan Jawa memakai kemban. Jelas haram hukumnya karena menampakkan aurat seorang muslimah.
Lalu yang menjadi persoalan ialah posisi budaya lokal ini akhirnya dijadikan standar oleh penjajah kafir. Sebaliknya, ajaran Islam justru menjadi objek yang ditinjau akan hal tersebut. Jadi, Islam harus tunduk dan patuh di bawah budaya lokal. Di sinilah kesalahan fatalnya. Mereka berdalih karena Islam itu seharusnya menjadi pembeda antara hak dan batil (furqan) bagi budaya lokal. Oleh pemeluk Islam, budaya lokal itu tata letaknya di balik. Akhirnya dijadikan sebagai furqan, yakni dijadikan tolok ukur untuk meninjau ajaran Islam.
Belum lagi orang yang dengan kepentingannya memanfaatkan syariat Islam. Mereka begitu suka berdalil sesuai dengan keinginannya. Bahkan sampai ada seorang “intelektual” yang menuliskan bahwa suhu panas perpolitikan di Indonesia saat ini disamakan dengan suhu politik Khalifah Ali vs. Mu'awiyah r.a pada zaman dulu. Padahal, realitasnya di Indonesia tidak ada perang secara fisik, apalagi pengerahan massa secara masif untuk merebut kekuasaan di pemerintahan. Bukankah ini sudah berlebihan? Atau memang orientasi mereka agar umat Islam melemah?
Tak hanya itu, hal yang paling menyakitkan ketika dia menuliskan bahwa, “Kubu Ali r.a memainkan high politics dengan berupaya mempertahankan idealisme dan nilai-nilai Islam dengan tidak masuk pada politisasi agama, meskipun pada akhirnya mereka menyerah pada berbagai desakan sebagian dari pendukungnya yang membelot, lalu mereka dikalahkan oleh kecerdikan ‘Amru ibn al-‘Ash, juru diskusi kubu Mu’awiyah. Kubu Mu’awiyah r.a ini cerdik memainkan isu-isu agama untuk menetapkan kepentingan politiknya, sehingga mudah meraup simpati masyarakat dengan banyaknya prestasi dan kebobrokannya.”
Padahal, bagi mayoritas umat Islam di Indonesia yang mengaku paling Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), termasuk akidah dasar bagi Aswaja adalah hormat (takzim) terhadap seluruh sahabat Rasulullah saw. Walau para sahabat tersebut bukanlah seseorang yang maksum, Aswaja memiliki prinsip bahwa mereka selalu bertobat sebelum ajal menjemput mereka. Lalu, pantaskah seseorang yang katanya cerdas menuduh Mu'awiyah r.a memainkan berbagai isu agama untuk melegitimasi kepentingan politiknya?
Perlu diketahui, Mu'awiyah r.a tidak pernah ada niatan untuk merebut pemerintahan yang sah ketika Perang Shiffin. Jika memang Mu'awiyah r.a berniat seperti itu, maka beliau r.a yang akan dibai'at menjadi khalifah sepeninggal Sayyidina Ali, bukan Sayyidina Hasan. Namun, dukungannya terhadap kelompok kudeta yang pada akhirnya menjadi khawarij merupakan kebijakan yang fatal. Perang tersebut telah memicu instabilitas negara dan banyaknya umat Islam yang terbunuh. Memang diakui, para pemberontak yang didalangi Yahudi ini dengan propagandanya berhasil memengaruhi pikiran sebagian besar sahabat Rasulullah saw.
Perlu diketahui bahwa setelah adanya peristiwa tahkim antara Sayyidina Ali, 'Amr bin 'Ash, dan Abu Musa al-Asy'ari, Sayyidina Ali tetap menjabat sebagai khalifah sampai beliau mati syahid dibunuh oleh para pemberontak yang pada akhirnya menjadi khawarij.
Jadi, ketidakmaksuman para sahabat tersebut tidak patut dijadikan dalih untuk bebas mengatakan bahwa Mu'awiyah r.a memainkan berbagai isu agama untuk menetapkan kepentingan politiknya. Jika Anda ingin berbicara tentang liberalisme, semestinya menggunakan cara pandang yang liberal pula. Kalau Anda mencampuradukkan Islam dan liberalisme seperti ini, yang terjadi justru bukan paham liberalisme yang Anda suguhkan, yang ada malah umat Islam geram melihat tingkah laku Anda.
Terkait dengan sikap Ibnu Umar r.a yang netral di tengah-tengah kekalutan antara pengikut Sayyidina Ali dan Muawiyah r.a, tentu hal ini baik dan patut untuk dicontoh agar umat Islam tidak terus bertikai dalam aspek politik. Hal ini kita dapatkan dari beberapa ulama-ulama sepuh yang memilih untuk tidak memberikan komentar apa pun dengan kondisi perpolitikan yang ada. Karena bagaimanapun juga, pangkat adalah sebuah tanggung jawab dunia dan akhirat. Tidak meraih pangkat itu seharusnya menjadi lebih baik dan patut disyukuri.
Namun, Anda tidak dapat menyudutkan, bahkan menyalahkan orang-orang yang berjuang dalam politik untuk menegakkan syariat Islam. Justru kehadiran orang-orang seperti mereka begitu dinantikan. Apabila semua orang ikut mengasingkan diri dari politik, lalu negara dikuasai oleh orang-orang yang tidak paham agama, lantas bagaimana solusi Anda sebagai umat Islam?
Mari kita semua mengkaji pemikiran yang benar dan tekun, agar persoalan-persoalan seperti ini dapat dipahami dengan pikiran yang jernih. Menggenapkan niat adalah yang utama. Segala hal yang kita lakukan diupayakan semata-mata karena taat pada aturan Allah dan mengabdi kepada Allah Swt.
Tujuannya agar kita selamat, baik di dunia maupun akhirat, serta dosa-dosa kita diampuni oleh Allah Swt. Hidup di dunia ini hanya sebentar, tingkah laku kita semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Kita sadar bahwa setiap hari selalu melakukan dosa kecil maupun dosa besar, entah itu disengaja maupun tidak.
Jika tujuan berpikir dan bersikap kita sebagai umat Islam sudah seperti ini, maka tidak akan ada lagi orang yang bertindak anarkis bak teroris maupun orang-orang liberal sekuler yang mempropagandakan paham-pahamnya kepada umat Islam.
Wallahu A'lam Bish-Shawwab.[]