Haji bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual, bahkan sepulang haji bisa mengemban dakwah Islam secara kaffah.
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kaum muslim hampir dipastikan sangat merindukan bisa berangkat haji ke tanah suci, bahkan sampai rela menunggu puluhan tahun. Indonesia sebagai salah satu negara yang penduduknya mayoritas muslim, selalu memberangkatkan calon jemaah hajinya sesuai kuota yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Untuk tahun 1445 H/2024 M, sebanyak 241.000 calon jemaah haji siap diberangkatkan secara bertahap. Ada dua gelombang pemberangkatan, terbagi atas 294 kelompok terbang (kloter) dengan Garuda Indonesia, dan 260 kloter lainnya dengan Saudia Airlines. Masing-masing kloter diterbangkan mulai tanggal 12 Mei 2024 untuk gelombang pertama dan terakhir 10 Juni 2024 untuk gelombang kedua.
Dengan adanya jarak tempuh yang cukup jauh dan berbiaya mahal , tentunya menjadikan ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang berkemampuan secara fisik dan finansial. Sebagai pengamalan rukun Islam yang kelima, ibadah ini memiliki makna yang sangat mendalam dalam kehidupan seorang muslim, mencerminkan ketaatan total terhadap hukum syariat Islam melalui pengorbanan jiwa dan hartanya.
Totalitas dalam Ketaatan
Ibadah haji bukan sekadar perjalanan fisik ke Makkah, melainkan juga perjalanan spiritual yang menuntut kepatuhan penuh kepada Allah Swt. Setiap rukun dan wajib haji dirancang untuk menguji ketaatan dan kesabaran para jemaah. Misalnya, tawaf mengelilingi Ka'bah menunjukkan kesetiaan kepada Allah sebagai pusat kehidupan seorang muslim, sedangkan wukuf di Arafah mengingatkan manusia akan Hari Pembalasan, tempat di mana semua umat manusia akan berkumpul di hadapan Allah untuk diadili.
Ketaatan dalam ibadah haji juga terlihat dalam cara umat Islam mengikuti tata cara dan aturan yang telah ditetapkan. Ini mencakup niat ihram, di mana jemaah meninggalkan pakaian biasa dan memakai kain putih sederhana, melambangkan kehambaan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Selain itu, larangan-larangan selama ihram seperti tidak boleh berburu, memotong kuku, atau mencabut rambut, mengajarkan kedisiplinan dan penghormatan terhadap ciptaan Allah.
Selain itu, melaksanakan ibadah haji memerlukan pengorbanan finansial yang signifikan. Biaya perjalanan, akomodasi, serta kebutuhan selama berada di tanah suci adalah pengeluaran yang tidak sedikit. Bagi banyak muslim, ini berarti menabung bertahun-tahun, bahkan mungkin mengorbankan sebagian besar dari kekayaan mereka. Pengorbanan harta ini mencerminkan komitmen dan kesediaan untuk melepaskan kesenangan duniawi demi meraih keridaan Allah.
Hanya saja, patut disayangkan penyelenggaraan ibadah haji dalam sistem kapitalisme terlalu komersial. Banyak biaya yang dimasukkan sebagai ongkos perjalanan haji yang harusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan pelayanan maksimal, belum lagi adanya aturan haji yang lebih memihak kepada mereka yang memiliki kekuatan finansial daripada terpenuhinya pemerataan kesempatan orang untuk berhaji.
Selain harta, haji juga menuntut pengorbanan fisik dan emosional. Perjalanan yang panjang, kerumunan yang padat, serta tantangan cuaca ekstrem menguji kesabaran dan kekuatan fisik setiap jemaah. Ritual seperti sai, yaitu berjalan bolak-balik antara Bukit Shafa dan Marwah, serta melontar jumrah di Mina, mengharuskan jemaah untuk terus berusaha meskipun dalam keadaan lelah dan tertekan.
Pengorbanan jiwa dalam ibadah haji juga tercermin dalam kemampuan untuk menahan diri dari perbuatan yang dilarang selama ihram, seperti amarah, pertengkaran, dan tindakan tidak sopan. Ini adalah ujian spiritual yang menuntut jemaah untuk mencapai kesucian hati dan jiwa.
Oleh karena itu, ibadah haji adalah manifestasi dari ketaatan total terhadap hukum syariat Islam, yang membutuhkan pengorbanan harta dan jiwa. Melalui ibadah haji, seorang muslim belajar untuk tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah, menunjukkan kesetiaan, kesabaran, dan keteguhan iman. Haji mengajarkan nilai-nilai pengorbanan, kesederhanaan, dan kesetaraan, serta memperdalam hubungan spiritual dengan Allah. Bagi setiap muslim yang menjalankannya, haji bukan hanya sebuah kewajiban, tetapi sebuah perjalanan transformasi yang mendalam menuju ketakwaan sejati, ketaatan totalitas.
Meneladani Rasulullah saw.
Rasulullah saw. memberikan contoh yang sempurna dalam melaksanakan ibadah haji, sehingga mengikuti jejak beliau menjadi panduan penting bagi umat Islam. Dalam hal ini, Rasulullah saw. selalu menekankan pentingnya niat dalam setiap ibadah. Ingatlah sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, bahwa setiap amal manusia tergantung pada niatnya. Oleh karena itu, calon jemaah haji harus memastikan niat mereka semata-mata untuk mencari rida Allah Swt., bukan untuk kepentingan duniawi atau pencapaian status sosial.
Rasulullah saw. melaksanakan semua rukun dan wajib haji dengan sempurna, mulai dari ihram, tawaf, sai, wukuf di Arafah, hingga melontar jumrah di Mina. Meneladani Rasulullah saw. berarti menjalankan setiap langkah tersebut sesuai dengan yang beliau contohkan. Misalnya, Rasulullah saw. memulai ihram dari Miqat, mengenakan dua helai kain ihram yang putih, dan mengucapkan talbiyah dengan penuh kekhusyukan.
Rasulullah saw. melakukan tawaf di Ka'bah dengan penuh ketenangan dan kekhusyukan. Beliau menyentuh Hajar Aswad dan berdoa dengan penuh penghayatan. Dalam sai, beliau berlari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah, mengenang perjuangan Hajar mencari air untuk putranya Ismail. Meneladani Rasulullah saw dalam tawaf dan sai berarti melaksanakan ritual ini dengan hati yang penuh penghormatan dan kesungguhan.
Wukuf di Arafah adalah puncak ibadah haji. Rasulullah saw. berwukuf di Arafah dengan penuh kekhusyukan, berdoa, dan berzikir kepada Allah Swt. Beliau bersabda, "Haji adalah Arafah" (HR. Tirmidzi). Meneladani Rasulullah saw. berarti berusaha menghabiskan waktu wukuf di Arafah dengan doa yang tulus, permohonan ampun, dan penghayatan spiritual yang mendalam.
Pun saat melontar jumrah di Mina, Rasulullah saw. melakukannya dengan penuh ketenangan dan ketertiban. Beliau mengajarkan umatnya untuk tidak terburu-buru dan menjaga keselamatan diri serta orang lain. Meneladani Rasulullah saw. dalam melontar jumrah berarti melakukannya dengan hikmah dan tidak melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Sisi Politis dalam Haji
Tidak dapat dimungkiri bahwa ibadah haji adalah momen di mana kaum muslim dari berbagai suku, bangsa, dan wilayah berkumpul di satu tempat. Rasulullah saw. menggunakan kesempatan ini untuk memperkuat persatuan dan kesatuan umat.
Dengan berkumpulnya umat dari berbagai penjuru, Rasulullah saw. dapat menyampaikan pesan-pesan persatuan dan pentingnya ukhuah Islamiah, sehingga mengikis perbedaan suku dan budaya yang dapat memecah belah umat.
Selama pelaksanaan haji, Rasulullah saw. bertemu dengan berbagai kabilah dan pemimpin suku yang datang dari seluruh penjuru Jazirah Arab. Pertemuan ini dimanfaatkan untuk menjalin hubungan diplomatik dan memperkenalkan Islam kepada mereka. Dengan cara ini, Rasulullah saw. berhasil mendapatkan dukungan politik dari berbagai suku yang kemudian menjadi sekutu dalam memperkuat posisi Daulah Islam di Madinah.
Selain itu, haji menjadi sarana strategis bagi Rasulullah saw. untuk menyebarkan dakwah Islam ke wilayah yang lebih luas. Para jemaah yang datang ke Makkah akan kembali ke kampung halaman mereka masing-masing setelah musim haji usai. Mereka membawa serta pesan-pesan dan ajaran Islam yang mereka dapatkan selama haji, sehingga Islam dapat tersebar ke berbagai wilayah yang lebih jauh tanpa perlu Rasulullah saw. mengunjungi tempat-tempat tersebut secara langsung.
Selama haji, Rasulullah saw. menyampaikan khotbah-khotbah yang berisi ajaran-ajaran penting Islam, informasi dan hukum-hukum syariat. Ini adalah kesempatan untuk memastikan bahwa ajaran Islam tersebar secara konsisten dan seragam di antara seluruh kaum muslim. Khotbah perpisahan Rasulullah saw., yang dikenal sebagai Khotbah Wada’, adalah contoh nyata dari penyebaran pesan-pesan penting secara langsung kepada umat yang hadir.
Pelaksanaan haji pada masa Rasulullah saw. tidak hanya sebagai ibadah ritual semata, tetapi juga sebagai strategi politis yang cerdas dalam dakwah Islam. Melalui haji, Rasulullah saw. mampu memperkuat persatuan umat, menjalin hubungan diplomatik, menyebarkan dakwah secara luas, mendemonstrasikan kekuatan Islam, membangun identitas keagamaan, dan menyebarkan informasi penting.
Semua ini menunjukkan betapa pentingnya haji dalam konteks politis dan dakwah Islam, serta bagaimana Rasulullah saw. memanfaatkan setiap kesempatan untuk memperkuat posisi Islam dan kaum muslim di dunia.
Meneladani haji seperti Rasulullah saw. adalah sebuah usaha untuk mencapai kesempurnaan dalam ibadah haji. Dengan mengikuti contoh yang diberikan oleh Rasulullah saw. setiap muslim dapat menjalankan haji dengan niat yang ikhlas, mengikuti tata cara yang benar, dan menunjukkan akhlak yang mulia.
Haji bukan hanya sebuah perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam, bahkan sepulang haji bisa mengemban dakwah Islam secara kaffah. Dengan meneladani Rasulullah saw., semoga yang berhaji dapat meraih predikat haji yang mabrur dan mendapat rida Allah Swt.
Wallahu a'lam bish-shawaab. []
Tulisan yang bagus. Semoga umat Islam banyak yang memahami makna ibadah haji dari segi politis. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, mereka bersegera untuk menerapkan Islam kaffah.
In syaa Allah...semua yang baca dimampukan untuk berhaji. Aamiin
Aaamiin