“Berilah nama anak-anak kalian dengan nama para nabi, dan nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman. Nama-nama yang paling benar adalah Harits dan Hammam. Sedangkan yang paling jelek adalah Harb (perang) dan Murrah (pahit).”
Oleh. Dila Retta
( Tim Redaksi NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Baru-baru ini, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2022, pemerintah menetapkan sebuah aturan baru terkait penulisan nama untuk dokumen kependudukan. Menurut Permendagri tersebut, syarat yang harus dipenuhi dalam hal pencatatan nama dokumen kependudukan, diantaranya adalah:
- Mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir.
- Jumlah huruf paling banyak 60 (enam puluh) termasuk spasi.
- Jumlah kata paling sedikit 2 (dua) kata.
Mungkin, salah satu alasan pemerintah memutuskan peraturan berdasarkan hukum yang mengatur tentang pencatatan nama ini dikarenakan kian banyaknya masyarakat yang memberikan nama-nama ‘unik’ untuk buah hatinya.
Jika kita pernah mendengar sebuah ungkapan yang menyatakan, “Apalah arti sebuah nama”, hal ini tentu bertolak belakang dengan prinsip ajaran Islam. Karena dalam Islam, nama seorang anak mengandung doa dan harapan orang tua untuk kehidupannya kelak.
Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan, dari Abu Darda’, Rasulullah shallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian nanti pada hari kiamat akan disebut dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian. Oleh karena itu, buatlah nama-nama yang baik untuk kalian.”
Dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) karya DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan, bab 'Pemberian Nama kepada Anak dan Hukumnya', telah dipaparkan pembahasan yang lengkap dan jelas seputar memberi nama kepada anak, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam. Diantaranya:
1. Waktu Pemberian Nama Anak
Berdasarkan dua riwayat hadis yang berbeda, terdapat dua penjelasan berbeda mengenai kapan waktu pemberian nama anak.
Pada hari ketujuh setelah dilahirkan
Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan bahwa Samurah berkata, Rasulullah bersabda, “Setiap anak digadaikan dengan akikahnya, disembelihkan binatang untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya) kemudian dicukur dan diberi nama pada hari itu pula.”
Tepat pada hari kelahirannya
Diriwayatkan oleh Muslim dari hadis Sulaiman ibn Mughirah, dari Tsabit dari Anas radhiyallahu’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tadi malam anakku telah lahir kemudian aku menamakannya Abu Ibrahim.”
Adanya perbedaan waktu menurut beberapa riwayat hadis ini dapat kita simpulkan bahwa Islam memberikan kelonggaran mengenai waktu pemberian nama anak, tidak ada aturan khususnya.
2. Memberikan Nama Terbaik untuk Anak
Dalam ajaran Islam, orang tua harus memberikan nama terbaik untuk anaknya. Orang tua diperintahkan untuk memilihkan nama yang paling indah dan mulia, bahkan dilarang untuk memberikan nama buruk yang bisa menghapus kemuliaan anak dan menjadikannya bahan olok-olokan kelak.
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa’i dari hadis Abu Wahab Al-Jasyimi, bahwa Rasulullah bersabda, “Berilah nama anak-anak kalian dengan nama para nabi, dan nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman. Nama-nama yang paling benar adalah Harits dan Hammam. Sedangkan yang paling jelek adalah Harb (perang) dan Murrah (pahit).”
3. Disunnahkan untuk Menggabungkan Nama Anak dan Bapaknya
Dalam prinsip pendidikan Islam, penggabungan nama anak dengan bapaknya ternya memiliki pengaruh kejiwaan yang cukup besar dan bermanfaat dalam pendidikan anak. Hal ini dikarenakan dapat menumbuhkan rasa pemuliaan serta menumbuhkan kepribadian sosial anak, sebab mereka menganggap jika dirinya telah menerima penghormatan dengan pencantuman nama bapaknya.
Inilah kesempurnaan Islam. Jauh sebelum peraturan-peraturan hukum ditetapkan, Islam telah lebih dulu memberikan arahan mengenai pedoman-pedoman hidup yang harus dijalankan umat Islam. Islam sangatlah detail dan berhati-hati dalam memberikan suatu aturan, karena senantiasa mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Tidak hanya perkara pemberian nama, Islam juga mengatur setiap hak dan kewajiban anak, agar kelak dapat tumbuh menjadi generasi rabbani yang memiliki ketakwaan dan wawasan, sehingga mereka dapat menjadi generasi-generasi terbaik untuk membangkitkan kejayaan Islam. Seandainya saja setiap dari kita memahami bagaimana sempurnanya ajaran Islam, bahkan untuk perkara remeh sekalipun, sudah dapat dipastikan jika segalanya akan lebih terstruktur. Hukum-hukum yang dibuat pasti tepat dan tidak akan melanggar syariat.
Islam telah mengatur segalanya. Namun sayangnya, kebanyakan dari kita tidak mau menelaah atau menerapkannya. Dan hal-hal seperti inilah yang sering menimbulkan masalah, karena hukum dibuat oleh manusia yang memiliki keterbatasan, tidak berpaku pada syariat Islam yang telah Allah tetapkan. Wallahu’alam bishawab[]