"Khalifah Al-Mutawakkil lebih condong kepada paham ahlusunah dan sangat menghormati para ulamanya, tentu ini berbeda dengan para khalifah pendahulunya yang lebih dekat dengan paham muktazilah."
Oleh. Najwa Tsaqeefa R.
(Pelajar Cinta Islam)
NarasiPost.Com-Nama lengkapnya adalah Al-Mutawakkil Alallah, Ja'far bin Al-Mu'tashim bin Ar-Rasyid, nama kuniyah-nya adalah Abu Al-Fadhl. Ibunya adalah seorang ummu walad dari Khawarizm bernama Syuja'. Ia lahir pada bulan Syawal tahun 206 Hijriah di Dan As-Sulh. Ia dibaiat menjadi khalifah setelah saudaranya yang bernama Al-Wastiq, yaitu khalifah sebelumnya wafat pada tahun 232 Hijriah.
Ketika Al-Watsiq meninggal dan belum sempat mewasiatkan penggantinya, maka para pembesar negeri berkumpul, mereka adalah Qodhi Ibnu Abi Duad, Menteri Muhammad bin Abdul Malik Az-Zayyat, Umar bin Faraj, dan Ahmad bin Khalid (keduanya adalah sekretaris kekhilafahan), Itakh bin Wahif (panglima Turki). Mereka bermusyawarah tentang siapakah yang akan mereka angkat menjadi khalifah pengganti Al-Watsiq. Muhammad bin Abdul Malik Az-Zayyat mengusulkan Muhammad bin Al-Watsiq, tapi kemudian Ibnu Abi Duad mengusulkan Ja'far bin Al-Mu'tashim, yaitu Al-Mutawakkil. Dan akhirnya mereka sepakat mengangkat Al-Mutawakkil sebagai khalifah, dan ia tetap menjadi khalifah selama 15 tahun, hingga ia terbunuh pada malam Kamis, 4 Syawal tahun 247 Hijriah, atau tanggal 11 Desember tahun 861 Masehi.
Menteri pertama Al-Mutawakkil adalah Muhammad bin Abdul Malik Az-Zayyat, yang sebelumnya menjadi menteri saudaranya dan ayahnya. Namun, Al-Mutawakkil tidak begitu menyukai Az-Zayyat karena perlakuannya yang buruk terhadap dirinya semasa kepemimpinan saudaranya, ditambah lagi Az-Zayyat mengusulkan Muhammad bin Al-Watsiq yang menjadi khalifah setelah ayahnya. Sebab itulah, pada tanggal 7 Safar tahun 233 Hijriah, Al-Mutawakkil memerintahkan penangkapan terhadap Az-Zayyat dan menyita seluruh hartanya. Belum ada lima bulan setelah penangkapan itu, Al-Mutawakkil kembali memerintahkan penangkapan terhadap Umar bin Faraj Ar-Rakhaji dan saudaranya, Muhammad bin Faraj Ar-Rakhaji, serta menangkap dan menjatuhi denda kepada para penulis buku.
Pada tahun 245 Hijriah, Al-Mutawakkil memerintahkan pembangunan istana Al-Makhurah yang dinamakan Al-Ja'fari. Al-Mutawakkil memberikan tanah tersebut kepada para panglima dan mereka bersungguh-sungguh dalam pembangunan istana tersebut. Diceritakan bahwa pembangunannya menelan biaya lebih dari 2 juta dinar. Ia dan teman-temannya menyebutnya dengan Kota Al-Mutawakkiliyah. Kota ini dekat dengan Samarra, utara Baghdad. Ia pun membangun istana yang diberi nama Lu'luah, yang tidak ada istana yang lebih tinggi dari istana tersebut. Ia juga memerintahkan penggalian sungai yang berhulu dari tempat yang disebut dengan Karami, yang berjarak 5 farsakh atau sama dengan 27.705 km di atas Al-Mahuzah. Dana penggalian sungai ini diperkirakan mencapai 200.000 dinar. Akan tetapi, sang khalifah meninggal dunia sebelum menyempurnakan pembangunan tersebut. Sehingga nasib pembangunan itu terbengkalai dan kota ini roboh setelah Al-Mutawakkil terbunuh.
Pada tahun 241 Hijriah, terjadi pertukaran tawanan perang yang keempat kalinya antara kaum muslimin dengan Romawi di sungai Al-Lamis. Orang yang mengurusi pertukaran tawanan ini adalah Syanif, pelayan Al-Mutawakkil. Ia ditemani oleh Ja'far bin Abdul Wahid Al-Hashimi Al-Qadhi dan Ali bin Yahya Al-Armani Amir di wilayah perbatasan Syam. Jumlah kaum muslimin yang dibebaskan selama 7 hari sebanyak 2.100 laki-laki dan perempuan, sesuai dengan riwayat Al-Maqrizi dalam Al Khuthuthah. Sementara menurut riwayat Ath-Thabari, jumlah kaum muslimin yang dibebaskan saat itu berjumlah 785 orang laki-laki dan 125 orang perempuan. Al-Maqrizi mengatakan jumlah kaum Nasrani yang tertawan di negeri Islam berjumlah 100 orang lebih.
Pada tahun selanjutnya yaitu pada tahun 242 Hijriah, kaum Romawi keluar dari arah Syimsyath setelah keluarnya Ali bin Yahya Al-Armani dari Ash-Shaifah. Mereka mendekati Amid, kemudian keluar dari perbatasan Al-Jazariyah dan melakukan perampasan di berbagai desa dan menawan mayoritas dari penduduk. Kemudian mereka kembali di negeri mereka. Qarbiyas dan Umar bin Abdillah Al-aqtha' serta pasukan relawan mengejar mereka, namun tidak mampu mendapatinya, lalu Qarbiyas menyurati Ali bin Yahya agar mendatangi negeri Romawi pada musim dingin.
Khalifah Al-Mutawakkil lebih condong kepada paham ahlusunah dan sangat menghormati para ulamanya, tentu ini berbeda dengan para khalifah pendahulunya yang lebih dekat dengan paham muktazilah. Al-Mutawakkil banyak membantu mereka yang berakidah ahlusunah. Pada tahun 234 Hijriah, ia juga mencabut peraturan yang memaksa setiap orang untuk mengakui bahwa Al-Qur'an itu makhluk, perintah ini pun ia sebarkan ke seluruh wilayah Daulah Abbasiyah. Al-Mutawakkil juga hidup sezaman dengan para ulama ahlusunah, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur Al-Kalbi, Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Abdul Malik bin Habib yaitu seorang imam dari mazhab maliki, Abdul Aziz bin Yahya Al-Ghul yang merupakan salah satu murid senior Imam Syafi'i, Ibnu Kullab yang terkenal sebagai tokoh ilmu kalam, juga Utsman bin Manzini yang merupakan ulama ilmu nahwu.
Pada tahun berikutnya yaitu 235 Hijriah, Khalifah Al-Mutawakkil membuat peraturan tentang kewajiban bagi setiap penganut Kristen untuk memakai gelang, yaitu sebagai tanda pengenal bahwa mereka memeluk agama Kristen. Dan pada 237 Hijriah, ia mengganti Abu Bakar bin Al-Laits, seorang hakim agung Mesir pemimpin gerakan Jahmiyah yang sesat, yaitu kelompok yang juga menyebut Al-Qur'an adalah makhluk, dengan Al-Harits bin Miskin, salah seorang murid Imam Malik yang masyhur.
Pada hari Jumat, Al-Mutawakkil memerintahkan agar anaknya yang bernama Al-Muntashir untuk mengimami salat Jumat, namun Ubaidillah bin Khaqan dan Al-Fath bin Khaqan menyarankan kepada Al-Mutawakkil agar berangkat untuk mengimami salat Jumat sendiri, agar rakyat tidak menjadi gempar dengan sakitnya sang khalifah. Hal itu membuat Al-Muntashir bertambah dengki, karena Al-Mutawakkil dengan dukungan kedua menterinya tersebut lebih memilih Al-Mutaz, putranya yang lain sebagai calon khalifah berikutnya. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya Al-Mutawakkil sepakat dengan Al-Fath bin Khaqan untuk menyakiti Al-Muntashir dan membunuh Washif, Bugha As-Saghir, dan para panglima Turki lainnya. Rahasia ini pun terungkap. Maka mereka sepakat untuk membunuh Al-Mutawakkil. Pelaksanaan pembunuhan ini dipimpin oleh Bugha As-Saghir yang dikenal dengan Asy-Syarabi. Ia ditemani sepuluh orang pasukan. Mereka memasuki istana dengan pedang-pedang yang terhunus. Al-Mutawakkil pun terbunuh. Ia pada saat itu ditemani oleh Al-Fath bin Khaqan yang juga ikut terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 Syawal tahun 248 Hijriah.
Wallahu a'lam[]