”Tajdid merujuk kepada memperbaiki keimanan sekaligus memperbaiki pemahaman agama yang mengalami distorsi dalam memaknai dan menerapkannya.”
Oleh. Firda Umayah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dewasa ini, upaya Barat untuk menjauhkan umat Islam dari agama mereka sekali bukan lagi isapan jempol belaka. Berbagai cara dilakukan termasuk menyebarkan pemahaman yang bertentangan dengan Islam di kalangan masyarakat. Seperti adanya moderasi agama. Ya, moderasi agama adalah sebuah gagasan agar seseorang bersifat moderat dalam beragama. Sebuah konsep yang meminta muslim untuk tetap menerima dan mengambil ide-ide Barat seperti kesetaraan gender, pluralisme, demokrasi, HAM, dan sebagainya. Bahkan tak jarang, moderasi beragama yang ditujukan untuk muslim dianggap sebagai ide pembaharuan dalam memahami konsep agama. Lantas, benarkah demikian?
Memahami Konsep Tajdid Ad-Din
Kata tajdid, berasal dari bahasa Arab yang merujuk kepada kata dasar jaddada yaitu memperbarui. Secara istilah, tajdid memiliki beberapa makna. Dalam buku Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam karya Bustami Muhammad Sa'id, tajdid memiliki tiga arti yang saling berkaitan. Yaitu, memperbarui sesuatu yang telah ada permulaannya dan dikenal banyak orang, memperbarui sesuatu yang telah berlalu beberapa waktu, lalu sesuatu itu usang dan rusak, dan memperbarui sesuatu yang dikembalikan dari keadaan semula sebelum usang dan rusak.
Dalam Al-Qur'an, tidak ada kata tajdid di dalamnya. Akan tetapi, Allah Swt. menggunakan kata jadid yang berarti "baru" terhadap ayat yang menyatakan pengingkaran orang-orang kafir terhadap hari kebangkitan, seperti yang terdapat dalam beberapa ayat berikut:
وَقَالُوْٓا ءَاِذَا كُنَّا عِظَامًا وَّرُفَاتًا ءَاِنَّا لَمَبْعُوْثُوْنَ خَلْقًا جَدِيْدًا
“Dan mereka berkata, ‘Apabila kami telah menjadi tulang dan benda-benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"(QS. Al-Isra' : 49)
Begitu pula dengan ayat Al-Qur'an dalam surah As-Sajdah ayat 10.
وَقَالُوٓا۟ أَءِذَا ضَلَلْنَا فِى ٱلْأَرْضِ أَءِنَّا لَفِى خَلْقٍ جَدِيدٍۭ ۚ بَلْ هُم بِلِقَآءِ رَبِّهِمْ كَٰفِرُونَ
”Dan mereka berkata, ‘Apakah jika kami telah hancur dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?’ Bahkan mereka ingkar akan bertemu Rabb-nya."
Kata tajdid, terdapat dalam beberapa hadis Rasulullah saw. Kata tajdid dalam hadis, merujuk kepada tajdid ad-din atau memperbaiki agama. Seperti dalam hadis sahih dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Sungguh Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbarui agama. " (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah r.a. juga berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ “، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا؟ قَالَ: ” أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ “
”Perbaruilah iman kalian. Berkatalah seseorang, ‘Wahai Rasulullah, dan bagaimanakah kami memperbarui iman kami?’, Rasul bersabda, "Perbanyaklah kalian mengucapkan, laa ilaaha illallah". (HR. Ahmad dan Hakim).
Hadis di atas, dinilai oleh Hakim memiliki sanad yang sahih, meskipun ada ulama yang menyatakan bahwa hadis ini daif.
Namun, dari kedua hadis tersebut jelas menunjukkan bahwa tajdid merujuk kepada memperbaiki keimanan sekaligus memperbaiki pemahaman agama yang mengalami distorsi dalam memaknai dan menerapkannya. Oleh karena itu, maka tajdid ad-din bukan berarti memiliki pemahaman yang baru terhadap ajaran Islam, akan tetapi mengembalikan pemahaman yang benar seperti saat Islam diterapkan dalam kehidupan.
Tajdid Ad-Din dan Kebutuhan Umat Islam Saat Ini
Sejak penutupan pintu ijtihad, masuknya tsaqafah asing, bahasa Arab yang ditinggalkan, hingga runtuhnya institusi negara Islam, membuat umat Islam semakin jauh dari pemahaman Islam yang benar. Umat Islam juga tak memiliki gambaran bagaimana penerapan Islam dalam kehidupan pada masa kenabian Muhammad saw., Khulafaur Rasyidin, dan generasi salaf yang mengikuti jejak kenabian. Oleh karena itu, upaya memperbarui agama Islam, merupakan kebutuhan umat saat ini.
Upaya tajdid ad-din dapat dilakukan salah satunya dengan cara menghidupkan kembali ijtihad di kalangan umat Islam. Sebab, ijtihad atau penggalian hukum-hukum Islam dari nas-nas syarak, dapat mengembalikan ajaran Islam yang terhapus atau terlupakan. Untuk berijtihad, maka muslim harus memahami tsaqafah dan fikih Islam, memahami bahasa Arab dan tafsir Al-Qur'an, dll. Seorang mujtahid atau orang yang berijtihad haruslah orang yang bertakwa, ikhlas dan senantiasa menyampaikan kebenaran ajaran Islam. Mereka adalah para ulama saleh yang bersih pemikirannya dari semua pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
Tajdid ad-din bukanlah membuat pemahaman Islam yang baru seperti yang dilakukan dalam moderasi beragama. Kalaupun diperlukan ijtihad untuk memperbaruinya agama, maka ini hanya boleh dilakukan selama tetap berpedoman kepada sumber hukum Islam dan kaidah-kaidah tertentu yang dibenarkan dalam Islam. Ijtihad tidak boleh disandarkan kepada maslahah-mursalah atau sumber hukum yang hanya mengedepankan pertimbangan akal manusia.
Penutup
Tajdid ad-din yang dibutuhkan umat Islam saat ini adalah upaya untuk mengembalikan pemahaman Islam yang benar. Ini juga digunakan untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan penerapan syariat Islam yang sesuai dengan metode kenabian Muhammad saw. Adapun moderasi beragama bukanlah bagian dari tajdid ad-din, sebab ia berasal dari pemikiran di luar Islam dan bertujuan menjauhkan umat Islam dari pemerintahan Islam yang sesungguhnya. Oleh karena itu, umat Islam harus menolak moderasi beragama dan kembali mengkaji Islam dengan benar agar penerapan syariat Islam dapat kembali teraih sebagaimana yang telah ada selama 13 abad lamanya. Wallahu a'lam bishawab.[]