”Puasa tak hanya kesuksesan kita tidak makan dan minum seharian. Akan tetapi, puasa seharusnya menjadi metamorfosis kita dari pribadi cinta dunia kepada pribadi nan takwa.”
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tak terasa Ramadan telah berada di pertengahannya. Itu berarti separuh perjalanan telah kita lewati. Selama menjalani ibadah puasa ini, apa yang sudah kita raih? Peningkatan kualitas keimanan? Pengekangan hawa nafsu? Atau hanya sekadar rasa lapar dan dahaga?
Sebagaimana yang kita ketahui, ibadah puasa pertama kali disyariatkan bagi umat Islam pada tanggal 10 Syakban di tahun kedua Hijriah setelah Rasulullah hijrah ke kota Madinah, bertepatan setelah diturunkannya perintah untuk mengubah arah kiblat dari Masjidilaqsa ke Masjidilharam. Dan sejak saat itu, beliau shalallahu alaihi wasallam mulai menjalankan ibadah puasa Ramadan untuk pertama kalinya, hingga akhir hayatnya sebanyak sembilan kali dalam kurun waktu sembilan tahun.
Banyak orang tertipu dengan kata puasa itu sendiri. Puasa seakan hanya identik dengan keadaan menahan lapar dan haus di siang hari saja. Namun, sejatinya puasa mempunyai makna lebih daripada itu. Puasa dalam bahasa arab disebut sebagai shiyam atau shaum, yang bermakna al-Imsak, yaitu menahan diri. Sehingga dalam makna yang lebih sederhana, puasa dapat diartikan sebagai upaya untuk menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya, dari makan dan minum, serta dari suatu perbuatan tertentu. Sedangkan menurut sebagian ulama, puasa dimaknai sebagai perbuatan menahan diri dari dua macam syahwat, yaitu syahwat perut dan syahwat kemaluan.
Sebagaimana dalam hadis Rasulullah riwayat Ad-Darimi dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa puasa adalah menahan diri,
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الظَّمَأُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
”Sungguh banyak orang yang puasa, tidaklah baginya memperoleh apa-apa dari puasanya selain lapar, dan betapa banyak orang yang mengerjakan salat, tidaklah baginya memperoleh apa-apa dari salatnya kecuali lelah.”
Beberapa hikmah yang bisa kita ambil dari hadis ini. Pertama, bagi umat Islam, datangnya bulan Ramadan merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan. Karena dari 12 bulan yang ada, hanya di bulan Ramadan ini umat Islam bisa mendapatkan pahala yang berlipat. Namun sangat disayangkan, jika kita tak mampu meraup keuntungan di bulan suci ini dan malah kerugian yang didapatkan.
Kedua, banyaknya perilaku yang dapat membatalkan pahala puasa tapi tidak membatalkan puasanya, contohnya adalah gibah, menyebarkan berita hoaks, berdusta, memandang sesuatu dengan syahwat, sumpah akan tetapi bohong atau PHP, berkata jorok, dan lainnya. Yang seringnya kita lakukan tanpa sadar apa lagi di era seperti sekarang ini.
Ketiga, sudah seharusnya kita memperketat penjagaan diri dari perbuatan maksiat atau dosa yang hanya akan merusak nilai ibadah kita dan merugikan diri kita, apa lagi menuju akhir bulan Ramadan, banyak sekali manusia malah berguguran. Dengan banyaknya godaan menuju hari raya, banyak orang yang tertipu dan akhirnya lalai. Padahal pertahanan itu harus lebih kuat dan kokoh, karena kita ingin keluar dari Ramadan ini menjadi orang-orang yang bertakwa.
Seorang muslim digembleng untuk menjadi pribadi yang senantiasa sesuai dengan aturan Allah selama bulan suci ini. Ia diharuskan membentengi diri dari rayuan dunia dan menghiasi dirinya dengan berbagai amalan kebajikan. Karena puasa tak hanya menahan diri dari makan dan minum semata. Bahkan, dalam berpuasa itu sendiri sebagai manusia pasti masih banyak kekurangannya, maka kita dianjurkan untuk menambalnya dengan berbagai ibadah yang lain, seperti sedekah, salat malam, berzikir, dan lainnya. Jangan pernah meremehkan amalan sekecil apa pun, walau mungkin hanya sebatas menghibur saudara muslim yang sedang kesusahan, meringankan beban mereka, memudahkan urusan mereka, berempati dan mendukung mereka, hingga memenuhi hajat mereka. Bukankah salah satu hikmah puasa adalah agar kita dapat merasakan rasa lapar sebagaimana yang dirasakan oleh fakir miskin dan orang-orang yang kelaparan?
Abu Abdullah Muhammad ibn Idris Asy-Syafi'i atau yang lebih kita kenal sebagai Imam Asy-Syâfi’i rahimahullah pernah berkata, “Aku menyukai jika seseorang menambah kedermawanannya di bulan Ramadan, sebagai bentuk peneladanannya terhadap Rasulullah, serta karena kebutuhan hidup manusia dan juga karena kesibukan sebagian mereka berpuasa dan salat sehingga pemenuhan kebutuhan mereka terabaikan.”
Seperti dalam hadis riwayat Al-Bukhari no. 1902, 3220, 3554, 4997, Muslim no. 2308, dan An-Nasa’i IV/125, dari Abdullah bin Abbas berkata, ”Rasulullah adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadan ketika Jibril bertemu dengannya. Jibril menemuinya di setiap malam Ramadan untuk menyimak bacaan Al-Qur’annya. Sungguh, Rasulullah lebih dermawan dari embusan angin.”
Selama bulan Ramadan pula, setiap amalan seorang hamba akan dilipatgandakan balasannya oleh Allah, baik itu perbuatan baik maupun buruk. Maka banyak sekali amalan kebaikan yang dianjurkan diperbanyak selama bulan suci ini. Salah satunya adalah bersedekah. Bahkan, dengan memadukan antara amalan puasa dan sedekah ini dapat memasukkan seseorang ke dalam surga, sebagaimana sabda Rasulullah dalam sebuah hadis hasan riwayat Al-Baihaqi (IV/301 berikut, "Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalam, dan bagian dalamnya terlihat dari luar. Allah menyiapkan kamar-kamar itu bagi orang-orang yang memberi makan, melembutkan perkataan, selalu berpuasa, dan salat di tengah malam ketika manusia tertidur"
Menggabungkan antara amalan puasa dan sedekah juga dapat menghapuskan dosa, melindungi diri dari neraka jahanam, terlebih lagi jika kedua ibadah tersebut digabung dengan salat malam. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan At-Tirmidzi no. 2616 dari sahabat Mu’adz bin Jabal, Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “… Sedekah akan menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan salatnya seseorang di tengah malam pun dapat menghapus kesalahan."
Lebih lanjut Imam Syafi'i menasihati bahwa mencari hal duniawi melebihi kebutuhan itu sejatinya merupakan hukuman yang Allah berikan kepada kita. Sering kali kita sibuk menambah jumlah rumah, kendaraan, jumlah tabungan, makanan, dan sebagainya, padahal kebutuhan kita hanya sebuah rumah atau sebuah kendaraan saja. Bahkan, lebih miris lagi di bulan Ramadan seperti sekarang ini kita malah bangga dengan banyaknya tas belanjaan kita, kita sibuk mencari diskon dan berbagai promo, tanpa sadar itu hanya melalaikan kita dari hakikat puasa dan mengundang murka Allah. Kita lupa bahwa harta dan setiap perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah.
Puasa seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk mengekang hawa nafsu yang senantiasa dahaga akan dunia. Sebulan ini seharusnya menjadi pelatihan kita untuk menahan diri dari hal-hal yang dapat menambah berat hisab kita di akhirat kelak. Dengan puasa seharusnya kita menjadi pribadi-pribadi yang takwa, yaitu pribadi yang senantiasa berhati-hati dalam beramal apakah sesuai dengan aturan Allah ataukah tidak. Puasa tak hanya kesuksesan kita tidak makan dan minum seharian. Akan tetapi, puasa seharusnya menjadi metamorfosis kita dari pribadi cinta dunia kepada pribadi nan takwa. Biidznillah. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.