"Seorang khalifah (pemimpin) tidak akan dibaiat oleh umat sebagai ajir (tenaga kerja, buruh, atau pegawai) umat agar senantiasa melaksanakan apa yang dikehendaki oleh umat, seperti yang terjadi dalam praktik sistem demokrasi. Khalifah dibaiat oleh umat berdasarkan sumber hukum, yakni Al-Qur’an dan hadis agar ia menerapkan hukum syarak."
Oleh: Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Di atas kertas, umat Islam adalah umat terbesar di dunia, dengan total 1,7 miliar pemeluknya. Namun, dalam konstelasi internasional, umat Islam dan negeri-negeri kaum muslim tidak berpengaruh dan berdaya.
Dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan. Kedaulatan rakyat berarti kehendak berada di tangan rakyat. Aktualisasi dari kebebasan berkehendak adalah kebijakan untuk membuat hukum dengan orientasi merealisasikan kehendaknya.
Oleh karena itu, dengan adanya kedaulatan di tangan rakyat, maka segala perkara akan diserahkan kepadanya, baik penentuan halal dan haram, serta aturan yang hendak ditetapkan dalam pembuatan undang-undang dasar dan undang-undang, semuanya berdasarkan kehendak rakyat. Rakyat pula yang dapat mengubah aspek-aspek di dalamnya, seperti ekonomi, politik, budaya, sosial, dan lain-lain.
Merujuk pada pernyataan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, bahwa kedaulatan berada di tangan syarak dan bukan di tangan umat. Beliau berpendapat bahwa kata as-siyaasah yang bermakna kedaulatan, sebenarnya adalah istilah Barat. Sedangkan yang dimaksud dengan kata as-siyaasah yang sesungguhnya adalah mereka yang mengurusi (mumaaris) dan melaksanakan (musayyii) kehendak atau suatu aspirasi (iradah) tertentu.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani juga berpandangan bahwa jika ada seseorang yang menangani dan mengawal aspirasinya, maka sebenarnya kedaulatan itu ada di tangannya sendiri. Apabila keinginan orang itu berada di tangan dan disetir oleh orang lain, maka pada dasarnya orang tersebut telah menjadi abdun (hamba) bagi orang lain. Sekiranya aspirasi umat atau sekelompok orang diurus dan dikendalikan oleh orang itu sendiri, dengan perantaraan individu dari kelompok tersebut, maka umat akan memberikan kepada mereka hak untuk mengendalikannya secara sukarela, mereka (individu masyarakat) adalah sayyid (tuan) untuk umat. Namun, jika aspirasi rakyat dikawal oleh orang lain dengan terpaksa, maka rakyat telah menjadi pengikut mereka (jajahan).
Mengamati realitas ini, menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, sistem demokrasi dengan kedaulatan berada di tangan rakyat bermaksud bahwa rakyat menangani dan mengawal aspirasi mereka sendiri. Rakyat akan melantik siapa saja yang mereka kehendaki dan akan memberikan hak untuk mengawal aspirasi mereka kepada siapa saja yang mereka inginkan.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani juga berpendapat bahwa orang yang menangani dan mengawal aspirasi individu adalah syarak, bukan individu yang dikehendaki, melainkan aspirasi individu ditangani dan dikendalikan berdasarkan segala perintah dan larangan Allah. Dalil yang berkaitan dengan kedaulatan ini adalah firman Allah dalam Qur'an surah An-Nisa' ayat 65, yang artinya: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam suatu persoalan yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya."
Allah menjelaskan bahwa mereka yang memerintah di antara individu, yang menangani serta mengendalikan aspirasi umat harus tunduk dan patuh kepada Allah serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Hal ini termaktub dalam Qur'an surah An-Nisa ayat 59, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri di antaramu. Kemudian jika kamu memiliki pendapat yang berbeda terkait dengan sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian…”
Allah tidak pernah memerintahkan umat untuk taat kepada pemimpin yang tidak menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa mewujudkan pemerintahan Islam adalah suatu kewajiban. Sehingga tatkala Allah memerintahkan untuk taat kepada ulil amri, itu merupakan perintah untuk mewujudkan hadirnya ulil amri tersebut. Adanya ulil amri memiliki konsekuensi atas tegaknya hukum Islam, tidak mewujudkannya membawa konsekuensi tidak tegaknya hukum Islam.
Pengertian "kembalikanlah kepada Allah dan Rasul" adalah mengembalikan segala sesuatunya kepada hukum syarak. Dari hujah-hujah ini, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa mereka yang memerintah di tengah-tengah umat dan individu yang menangani serta mengendalikan aspirasi umat, harus selaras dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw., umat dan individu tersebut harus tunduk dan patuh kepada syarak.
Dalam perspektif Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang khalifah (pemimpin) tidak akan dibaiat oleh umat sebagai ajir (tenaga kerja, buruh, atau pegawai) umat agar senantiasa melaksanakan apa yang dikehendaki oleh umat, seperti yang terjadi dalam praktik sistem demokrasi. Khalifah dibaiat oleh umat berdasarkan sumber hukum, yakni Al-Qur’an dan hadis agar ia menerapkan hukum syarak, bukan untuk melaksanakan apa yang diinginkan oleh umat. Sehingga apabila ada orang yang telah membaiat khalifah tersebut keluar dari ketentuan syarak (memberontak atau menentang syarak), khalifah akan memeranginya hingga ia kembali tunduk pada ketentuan syarak.
Demikian Islam mengajarkan untuk menjadi negara yang mandiri, tidak mengambil langkah menjadi negara netral, dan berpegang teguh kepada syarak sebagai kedaulatan negara. Sehingga tidak menjadi negara yang mudah dikendalikan oleh negara lain.
Wallahu A'lam Bish-Shawwab[]