Sungguh, betapa meruginya umat jika para pengemban dakwah terperangkap dalam kebencian yang membabi buta terhadap saudara seperjuangannya. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk bisa memupuk rasa cinta dan benci karena Allah. Hal ini menjadi amat penting dilakukan demi memperkuat ukhuwah dan mempercepat mobilisasi persatuan umat.
Oleh : Miliani Ahmad
NarasiPost.com - Dalam terjalnya perjalanan dakwah, tentu tak mudah menyatukan cinta bagi banyak kepala. Jika cinta tak ada, rasa benci pasti menyelimuti dada. Ada saja faktor penyebabnya. Kadangkala karena ego atau pula persepsi yang salah dalam memandang saudara. Suatu fitrah hal ini terjadi, karena setiap insan pasti memiliki sifat dan perspektif berbeda.
Namun demikian, bukan berarti bahwa setiap insan tidak memungkinkan dapat menyemai bibit-bibit cinta terhadap saudaranya. Semuanya amat mungkin untuk diwujudkan jika mereka berusaha kembali memikirkan pentingnya makna ukhuwah. Untuk itulah, setiap pengemban dakwah perlu membangun rasa dengan cara mengetahui keutamaan mencintai saudara seimannya. Begitu pula, mereka juga harus mengetahui keburukan yang terjadi jika menempatkan kebencaian berlebihan tanpa alasan yang dibenarkan syara’.
Rasulullah Saw. bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ
“Siapa yang cintanya karena Allah, bencinya karena Allah, memberinya karena Allah dan tidak memberi pun karena Allah, maka sungguh telah sempurna keimanannya.” (HR. Abu Dawud)
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Sekuat-kuatnya tali iman adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Thabrani)
Di dalam Kitab Al-jami’ al-Kabir, Syaikh Abdul Qadir Al-Munawwir menyebutkan bahwa cinta karena Allah adalah mencinta sesama manusia karena faktor ketaatannya kepada Allah. Ketaatan tersebut merupakan representasi keimanan hamba dalam melaksanakan semua perintahNya dan menjauhi laranganNya. Artinya, faktor ketaatan dan keimananlah yang menjadi standar bagi individu pengemban dakwah untuk mencintai manusia apalagi sesama pejuang dakwah.
Tentunya para pengemban dakwah amat menyadari bahwa ikatan keimanan memiliki kekuatan yang lebih hebat dibanding ikatan-ikatan lainnya dalam mengikat cinta. Berbeda dengan ikatan cinta yang disebabkan karena harta, tahta atau pula ashobiyyah. Ikatan-ikatan semacam ini tak layak menjadi pondasi dalam membangun cinta karena Allah.
حَدَّثَنَا مُحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْفِرْيَابِيُّ حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ بِشْرٍ الدِّمَشْقِيُّ عَنْ بِنْتِ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ أَنَّهَا سَمِعَتْ أَبَاهَا يَقُولُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْعَصَبِيَّةُ قَالَ أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid Ad Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Al Firyabi berkata, telah menceritakan kepada kami Salamah bin Bisyr Ad Dimasyqi dari Bintu Watsilah Ibnul Asqa' bahwasanya ia pernah mendengar bapaknya berkata, "Aku bertanya, wahai Rasulullah ashabiyah itu apa?" beliau menjawab, "Engkau menolong kaummu dalam kezaliman."
Dinamika ikatan cinta karena harta, tahta dan ashabiyyah amat lazim kita jumpai pada masyarakat kapitalisme saat ini. Ada banyak kepentingan yang melandasinya. Semua ini terjadi karena memang azas kapitalisme dalam membangun interaksi adalah maslahat semata. Sungguh, hal demikian tak boleh menjangkiti rasa cinta muslim apalagi pengemban dakwah terhadap sesamanya.
Meskipun tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mewujudkan cinta karena Allah, tidaklah membuat pengemban dakwah terpaling untuk mengupayakannya. Ada banyak motivasi yang bisa dijadikan modal untuk mengukir asma cinta dalam kalbu dan benak mereka. Di antaranya, hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan Abu Hurairah Ra,
"Ada tujuh orang yang akan Allah naungi di Naungan-Nya pada Hari ketika tidak ada naungan kecuali Naungan-Nya; seorang pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Agung, seorang pria yang hatinya melekat pada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak berzina oleh wanita cantik dan berposisi tinggi tetapi dia menolak dan mengatakan: 'Saya takut kepada Allah', seseorang yang memberi amal dan menyembunyikannya, hingga tangan kirinya pun tidak tahu apa yang diberikan tangan kanannya dalam amal; dan seseorang yang berzikir kepada Allah dalam kesendirian hingga meneteskan air mata."
Dalam Syarh Shahih Bukhari, Imam Ibn Baththal menjelaskan hadis di atas bermaksud mendorong manusia untuk saling mencinta karena Allah, ta’awwun dalam kebaikan dan ketakwaan serta hal yang memberikan hasil berupa kenikmatan abadi berupa jannah.
Selain itu, Rasulullah Saw. telah menjelaskan bahwa seorang muslim yang mencintai saudaranya diibaratkan laksana mencintai dirinya sendiri. Akan ada banyak kebaikan yang menyelimutinya seperti pahala yang besar baginya di dunia ataupun akhirat.
Rasulullah Saw. bersabda,
“Sebaik-baik orang yang bersahabat di sisi Allah adalah orang yang paling baik kepada sahabatnya….”
Di antara tanda baiknya seseorang terhadap sahabatnya adalah ia senantiasa berusaha membantu memenuhi kebutuhan saudaranya dan menjauhkan kesusahan darinya. Rasulullah Saw. bersabda,
“Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh pula menyerahkan kepada orang yang hendak menyakitinya. Barangsiapa yang memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan kesulitan seorang muslim, niscaya Allah akan melapangkan kesulitan-kesulitannya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi kesalahan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kesalahannya kelak di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 2442, Muslim no. 2580, Ahmad no. 5646, Abu Dawud no. 4893, at-Tirmidzi no. 1426 ; dari Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma).
Pada hari kiamat pun, Allah akan memberikan naungan-Nya kepada setiap manusia yang saling mencintai karena Allah. Imam Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
“Sungguh kelak pada hari kiamat Allah akan berfirman, “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepada mereka dalam naungan-Ku saat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR Muslim dan Ahmad).
Inilah kebaikan dan keutamaan bagi orang-orang yang mencintai saudaranya karena Allah. Sebaliknya, menampakkan kebencian hanya boleh dilakukan tatkala menghadapi manusia yang tak mau tunduk terhadap aturan-Nya. Manusia yang seperti ini adalah manusia yang secara berani suka bermaksiat terhadap Allah dalam kondisi tersembunyi maupun terang-terangan. Selain itu, mereka juga tak lagi memiliki rasa malu untuk menghadang tegaknya syariah, menghalang-halangi pengemban dakwah dalam mensyiarkan Islam kaffah, mengintimidasi ulama, bahkan menstigma dakwah Islam kafah dengan stempel pemecah belah bangsa.
Terhadap hal ini adalah layak bagi para pengemban dakwah untuk membencinya. Sikap penentangan yang demikian telah menegaskan adanya permusuhan yang dalam terhadap umat dan juga sikap ketidakridaan jika Islam tegak secara mutlak. Bahkan Allah pun amat membenci perbuatan mereka.
“… Apabila Allah Subhanahu wa Ta'aala membenci seseorang, maka Dia akan memanggil malaikat Jibril dan berseru kepadanya: 'Sesungguhnya Aku membenci si fulan. Oleh karena itu, bencilah ia.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Lalu malaikat Jibril berseru di langit; 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'aala membenci si fulan. OIeh karena bencilah ia!" Kemudian para penghuni langit membencinya. Setelah itu para penghuni dan penduduk bumi juga membencinya.” (H.R Muslim).
Hadis ini menunjukkan adanya perintah atau tuntutan untuk membenci orang yang dibenci Allah karena sikap penentangan mereka sebagaimana hadis muttafaq’alaih dari Aisyah dari Nabi Saw yang bersabda,
“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang suka menentang (mendebat) perintah Allah.”
Realitas inilah yang selayaknya menjadi pijakan bagi pengemban dakwah agar dapat menempatkan cinta dan bencinya terhadap sesama terutama kepada saudaranya dalam jamaah.
Sejatinya, kekurangan yang ada pada diri saudaranya tak lantas memengaruhinya untuk membencinya. Tabi’at bersaudara, jika terdapat kekurangan maka sudah selayaknya untuk saling mengingatkan bukan malah terperosok ke dalam jurang perpecahan. Semua harus memahami. Bagaimanapun juga pengemban dakwah tetaplah manusia biasa yang tak luput dari segala khilaf dan dosa. Mereka tak layak untuk dibenci karena sikap dan pengorbanan mereka di jalan dakwah.
Selain itu, kebencian yang berujung pada perpecahan ini amat dinantikan oleh mereka yang selama ini menentang Islam. Perpecahan tersebut akan semakin mempermudah langkah mereka untuk menghancurkan Islam dan juga umatnya. Jika sudah terpecah, mereka tak perlu lagi sibuk melakukan propaganda untuk mendepak Islam sampai ke akar-akarnya. Hal ini akan amat menggembirakan bagi mereka karena Islam akan runtuh di tangan umatnya sendiri.
Sungguh, betapa meruginya umat jika para pengemban dakwah terperangkap dalam kebencian yang membabi buta terhadap saudara seperjuangannya. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk bisa memupuk rasa cinta dan benci karena Allah. Hal ini menjadi amat penting dilakukan demi memperkuat ukhuwah dan mempercepat mobilisasi persatuan umat.
Para pengemban dakwah pun hendaknya juga menyadari bahwa mencinta dan membenci karena Allah termasuk perkara agung. Kondisi ini mampu menghantarkan mereka menuju mardhatillah, maghfiroh, dan juga pertolongan-Nya. Oleh karena itu, tunggu apalagi. Tidakkah para pengemban dakwah menginginkannya?
Wallahua’lam bish-showwab
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]