“Allah berfirman, ‘Aku tergantung persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya jika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka… (HR. Imam Bukhari Muslim)"
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Husnuzan berasal dari kata hasan yang berarti baik dan adz-dzan yang berarti prasangka. Jadi, husnuzan berarti prasangka yang baik atau pikiran positif. Sebagai seorang muslim kita wajib berhusnuzan kepada Allah dan Rasul-Nya, baik perkataan maupun dalam perbuatan.
Karena harus selaras antara ucapan maupun perbuatan, maka bukan termasuk husnuzan kepada Allah, jika seorang hamba mengharap pahala dari Allah, namun dia tidak beramal sesuai apa yang diperintahkan Allah. Contoh, ada prinsip sebagian orang yang berangan-angan, masa kecil bermain ria, saat muda foya-foya, setelah mati masuk surga. Tentu keyakinan ini bertentangan dengan ajaran Islam, bahwa Allah pasti akan menghukum orang yang bermaksiat.
Maka siapa saja yang beranggapan bahwa husnuzan kepada Allah tidak perlu dibarengi dengan amal perbuatan adalah keliru dan salah, serta tidak memahami ibadah dengan cara yang benar. Dia telah teperdaya, serta memiliki keinginan yang mengada-ada dan merasa aman dari murka Allah. Sungguh hal ini sangat berbahaya juga membinasakan.
Seorang muslim seharusnya senantiasa berprasangka baik kepada Allah. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Rasulullah telah bersabda dalam hadis riwayat Imam Bukhari, No 7405 dan Muslim, No. 2675, “Allah berfirman, ‘Aku tergantung persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya jika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.”
Dalam hadis ini, kita diarahkan untuk berhusnuzan diiringi dengan beramal. Yaitu untuk senantiasa mengingat dan mendekat kepada-Nya lewat ketaatan. Siapa saja yang berprasangka baik kepada Allah maka sudah seharusnya akan mendorongnya berbuat kebaikan.
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata dalam Al-Zuhd hal. 402, “Sesungguhnya seorang mukmin jika ia berprasangka baik kepada Tuhannya, maka dia akan memperbaiki amalannya. Sedangkan orang buruk, dia bersuuzan kepada Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan.”
Rasulullah pun bersabda dalam hadis sahih riwayat Imam At-Tirmidzi, "Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin doamu akan dikabulkan"
Salah satu cara berhusnuzan kepada Allah ialah mengingat-ingat nikmat yang diberi oleh Allah. Contoh, kita tidak pernah meminta jantung berdetak, namun ia selalu mengerjakan tugasnya dengan baik. Betapa rahmat Allah sangat banyak kepada kita. Maka itulah yang harus kita ingat jika diberi musibah. Karena dengan musibah itu Allah hendak menaikkan derajat kita, dan menghapus dosa-dosa kita. Bukankah ketika diuji di sekolah dengan soal-soal yang sulit, kita tidak pernah menyalahkan guru kita, bahkan kita malah bangga jika mampu menyelesaikannya? Lalu, bagaimana urusan kita dengan Allah yang janjinya tidak mungkin Dia ingkari?
Teruslah berusaha mengenal Allah lewat orang-orang yang telah dekat dengan Allah dan menjadi kekasih-Nya. Semakin kita mengenal Allah, tiada mungkin akan ada prasangka buruk kepada-Nya. Bahkan walaupun diberi ujian berupa kesulitan, maka kita akan semakin mencintai-Nya. Layaknya sebuah pepatah: "Pukulan sang kekasih itu adalah nikmat." Artinya, ketika dicubit manja oleh suami atau istri, kita tersenyum senang, kenapa ketika diuji Allah kita merengut dan tidak terima?
Dalam Al-Jawab Al-Kafi, hlm. 24, Imam Ibnul Qoyim berkata, "Sangatlah jelas perbedaan antara husnuzan dengan ghurur (tertipu). Husnuzan kepada Allah akan mendorong dan menggiring seseorang untuk beramal, maka ini husnuzan yang benar. Akan tetapi jika husnuzan mengakibatkannya menjadi pengangguran, atau bahkan tenggelam dalam maksiat, maka ini ghurur. Sebab, sifat husnuzan membangun harapan. Siapa saja yang harapannya membuat dirinya semakin taat dan menjauhi maksiat, maka ini harapan yang benar. Akan tetapi sebaliknya, jika menganggurnya menjadi angan-angannya dan angan-angannya menyebabkan dia menjadi pengagguran serta pelanggaran syariat, maka ini tertipu."
Termasuk dalam ghurur adalah meyakini bahwa Allah akan mengampuninya, namun dia tetap bertahan dalam kubangan kemaksiatan. Sering kali ada manusia yang dinasihati untuk meninggalkan maksiat, akan tetapi dia tidak mau meninggalkannya dengan alasan Allah pasti akan mengampuni dosa hamba-Nya, karena Allah Maha Pengampun.
Berbeda dengan husnuzan, ada sebagian manusia malah melestarikan suuzan atau berprasangka buruk kepada Allah. Contohnya, ada yang enggan beramal, karena ia meyakini Allah tidak akan menerima amalnya. Atau ada yang tidak mau berubah menjadi baik, karena ia merasa Allah tidak akan menerima tobatnya. Termasuk para wanita yang tidak mau menutup auratnya dengan sempurna, dengan alasan dirinya kotor dan tidak pantas menjadi wanita salihah. Selain ia telah bersuuzan kepada Allah, ia juga telah putus asa dengan rahmat Allah. Padahal Allah telah berfirman dalam surah Yusuf ayat 87,
وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Dan hendaklah kamu tidak berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali orang-orang kafir…”
Sedangkan husnuzan kepada makhluk Allah adalah dengan cara menganggap diri kita yang paling hina. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu tidak bisa hidup sendiri. Ia akan terus bersinggungan dengan orang lain. Maka di sinilah pentingnya menjaga prasangka-prasangka baik, sehingga akan tercipta masyarakat yang harmonis. Sedangkan prasangka buruk terhadap orang lain harus senantiasa dicegah dan dihilangkan. Karena suuzan akan sangat berdampak negatif pada hubungan sesama manusia di masyarakat.
Para ulama telah mengajarkan kita bagaimana menjaga prasangka baik kepada sesama manusia. Contoh, ketika bertemu saudara muslim yang lebih tua, katakan pada diri kita bahwa ia telah lebih lama beribadah pada Allah, maka ia lebih mulia dari kita. Sementara ketika bertemu saudara muslim yang lebih muda, katakanlah bahwa ia lebih sedikit dosanya dari diri kita, maka ia lebih mulia.
Sedangkan ketika bertemu orang kafir, katakanlah pada diri kita bahwa, jika ia bertobat dosanya akan diampuni semua, maka ia lebih mulia. Bahkan ketika kita bertemu dengan anjing yang najis, katakanlah bahwa ia di akhirat akan menjadi debu, sedangkan kita masih harus melalui penghisaban atas segala perbuatan kita. Maka ia lebih mulia dariku jika aku tidak lulus dari penghisaban itu.
Kita tidak pernah mengetahui hakikat diri seseorang, maka berhusnuzanlah! Jika saudara sesama muslim melakukan perkara yang dianggap buruk, carilah 1001 alasan yang membuat kita dapat berprasangka baik padanya. Jika tidak dapat kita temukan alasan itu, maka salahkanlah diri kita yang telah berprasangka buruk kepadanya, dan buang jauh-jauh prasangka itu. Orang terdahulu berkata, “Seorang mukmin itu akan senantiasa udzur atau alasan-alasan yang baik terhadap saudaranya.”
Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8344 menuliskan, bahwa Ja’far bin Muhammad rahimahullah berkata, “Apabila sampai kepadamu dari saudaramu sesuatu yang kamu ingkari, maka berilah ia sebuah udzur atau alasan sampai 70 udzur. Bila kamu tidak mendapatkannya, maka katakanlah, 'Barangkali ia mempunyai alasan yang aku tidak tahu.'”
Hukum asal seorang mukmin adalah jika ia mukmin yang baik, maka dia haram untuk dinodai kehormatannya dengan prasangka-prasangka buruk. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada muslim yang dikenal senang berlaku maksiat. Kepada mukmin yang dikenal saleh, maka hendaknya kita selalu mencari lebih banyak alasan untuk berprasangka baik kepadanya. Bahkan, jika ia salah, hendaknya kita maafkan. Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 94, "Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik.”
Memang benar, prasangka buruk bukanlah sebuah tindakan nyata yang terlihat mata, namun ia adalah penyakit hati yang bisa menggerakkan manusia berbuat sesuatu yang tercela. Sebagaimana masyarakat seperti sekarang ini. Dengan gadget yang seakan membalikkan dunia menjadi serba digital sudah seharusnya kita sering merenung. Banyak sekali fitnah, hoaks, tuduhan-tuduhan keji, hasutan, bahkan caci maki yang barangkali pernah ditulis dan diviralkan di media sosial. Sering kali buruk sangka lebih dominan dan mewarnai interaksi sosial kita.
Ciri orang beriman itu lebih mendahulukan husnuzan kepada siapa pun. Bahkan Imam Syafi’i, pernah berwasiat kepada umat Islam bahwa siapa pun yang ingin meninggalkan dunia ini dalam keadaan husnulkhatimah, maka hendaknya ia selalu berprasangka baik kepada sesama manusia. Senantiasa menghindari perbuatan yang dapat menyakiti orang lain seperti hasad, dengki, fitnah, adu domba, ataupun gibah. Suburkan sifat tawaduk atau merasa diri paling hina dalam diri, sehingga suuzan tak merajalela dalam hati kita.
Wallahu a'lam[]