"Hasil karya seorang seniman bergantung pada pandangan hidup atau ideologi yang diembannya. Seorang seniman yang mengadopsi ideologi kapitalisme-sekularisme, akan menempatkan seni dan kegiatan berkesenian terpisah dari agama, syariat Islam nihil dalam timbangannya berbuat sedangkan profit menjadi orientasinya dalam berkarya."
Oleh. Dian Afianti Ilyas
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Baru-baru ini, seorang desainer asal Indonesia menyita atensi publik karena dituding memesan paket organ tubuh manusia berupa tangan dan tiga plasenta dari sebuah laboratorium anatomi universitas di Brasil.
Jika dilihat dari rekam jejaknya, desainer yang memang diketahui gemar menjual aksesori dan potongan mode yang menggunakan bahan-bahan dari manusia tersebut pernah menuai kontroversi atas karyanya " tas berbahan tulang belakang manusia dan lidah buaya "pada tahun 2020.
Penggunaan organ tubuh manusia bukanlah hal yang baru dalam dunia seni, termasuk fesyen. Sweater dari rambut manusia dan "sepatu setan" yang mengandung setetes darah manusia di bagian solnya adalah sederet karya para desainer fesyen internasional. Tak main-main, tren fesyen seperti ini bahkan memiliki banyak peminat.
Namun, bagaimana Islam memandang terkait karya seni yang menggunakan organ tubuh manusia tersebut?
Hukum Memanfaatkan Organ Tubuh Manusia
Tubuh merupakan hak dan milik Allah (haqqun lillah wa milkun lah). Namun, manusia memiliki hak thasarruf atas badannya. Thasarruf artinya segala sesuatu yang timbul dari seseorang atas dasar kehendaknya dan syarak menetapkan beberapa natijah atasnya. Allah Swt. berfirman,
و أنفقو مما جعلكم مستخلفين فيه
"Dan infakkanlah dari harta yang Allah jadikan kalian sebagai pengurusnya." (TQS. Al-Hadid[57]: 7)
Ayat di atas menunjukkan bahwa hukum asal (ashul milkiyah) atas harta adalah milik Allah Swt. Hanya saja Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya. Begitu pula pada tubuh manusia. Pemanfaatan tersebut terkategori haq intifa' fil mulki (hak pemanfaatan pada barang yang dimiliki)
Umumnya, pemanfaatan organ tubuh manusia dilakukan dalam bidang medis, yakni transplantasi. Jumhur ulama kontemporer membolehkan transplantasi organ tubuh dari orang yang masih hidup dengan syarat tidak menimbulkan dharar/bahaya yang berisiko kematian. Dalam kitab Hukm al-Syar'i fi al-Istinsakh hal.9, Syekh Abdul Qadim Zalum menyatakan boleh secara syar'i seseorang yang masih hidup mendonorkan satu atau lebih organ tubuhnya ke orang lain sebab adanya hak milik orang itu atas organ tubuhnya dengan syarat pendonor tidak berisiko mengalami kematian.
Adapun pemanfaatan organ tubuh orang yang sudah wafat, para ulama sepakat bahwa hukum asalnya haram. Ketika seseorang meninggal dunia, hak milik atasnya turut hilang, baik harta, istri, maupun tubuhnya. Hal ini ditandai dengan hartanya yang harus diwariskan, istrinya yang wajib menjalani masa idah, dan tubuhnya yang wajib dikuburkan.
Seseorang yang sudah meninggal, tidak boleh lagi melakukan tasharruf (perbuatan hukum) atas tubuhnya yang telah menjadi jenazah sekalipun ia berwasiat untuk mendonorkan organ tubuhnya. Wasiat tersebut dianggap tidak sah karena terkategori wasiat atas sesuatu yang sudah tidak dimiliki.
Selain itu, alasan lain diharamkannya adalah karena melanggar kehormatan sang mayat. Mayat tidak boleh dianiaya, misal dicongkel matanya, disayat kulitnya, dipenggal lehernya, dan sebagainya.
Rasulullah saw. bersabda, "Sungguh memecah tulang seorang mukmin setelah ia mati, sama seperti memecahkannya pada saat masih hidup.” (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, memanfaatkan organ tubuh manusia atas nama seni adalah sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Apalagi yang menjadi tujuan adalah keuntungan dengan cara mengomersilkan organ tubuh manusia tersebut.
Syariat Islam Menjadi Tolak Ukur
Hasil karya seorang seniman bergantung pada pandangan hidup atau ideologi yang diembannya. Seorang seniman yang mengadopsi ideologi kapitalisme-sekularisme, akan menempatkan seni dan kegiatan berkesenian terpisah dari agama, syariat Islam nihil dalam timbangannya berbuat sedangkan profit menjadi orientasinya dalam berkarya. Maka tak heran apabila seniman sekuler sering kali menghasilkan sebuah karya yang bertentangan dengan Islam, bahkan ia tidak merasa berdosa menggunakan organ manusia dalam menciptakan sebuah aksesori fesyen.
Lain halnya dengan seorang seniman yang menjadikan Islam sebagai ideologinya. Dalam kegiatan berkesenian, ia senantiasa mengikuti rambu-rambu syariat Islam. Mengapa demikian? Sebab Ideologi Islam yang diembannya menuntut agar segala perbuatannya untuk tunduk pada Islam, segala perintah Allah Swt. mutlak ia laksanakan, sedangkan apa yang menjadi larangan-Nya akan ia jauhi. Syariat Islam yang lahir dari akidah Islam tersebut menjadi standar baginya dalam berbuat segala sesuatu.
Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra' ayat 36,
ولا تقف ما ليس لك به علم ۗ ان السمع و البصر والفؤاد كل اُولٰۤىِٕكَ كان عنه مَسْـُٔوْلًا
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."
Keyakinannya bahwa Allah akan memintai pertanggungjawaban di akhirat kelak atas segala perbuatannya di dunia menjadikan ia berhati-hati dalam bertindak. Maka dari itu, seniman berideologi Islam tidak akan menggunakan organ manusia dalam menciptakan sebuah karya seni.[]