"Sayangnya, pada hari ini umat Islam justru banyak yang tergoda dengan kekuasaan. Mereka memperebutkannya dengan berbagai cara. Mereka suap rakyat agar mereka terpilih sebagai pemimpin. Mereka pun tidak malu melakukan manipulasi data agar hasratnya untuk berkuasa dapat terpenuhi."
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor Tetap Narasipost.Com)
NarasiPost.Com-Setiap manusia telah diciptakan oleh Allah Swt. lengkap dengan gharizah (naluri) yang ada dalam dirinya. Naluri itu merupakan bagian dari penciptaannya. Maka, ia tidak dapat dihapus atau dihilangkan, tetapi dapat dialihkan.
Naluri ini, jika tidak dipenuhi tidak akan mengantarkan kepada kematian. Ia hanya akan menyebabkan munculnya perasaan gelisah, cemas, galau, dan lainnya. Naluri hanya muncul, jika ada yang membangkitkannya dari luar diri manusia.
Sebagai agama yang berasal dari Sang Pencipta Manusia, Islam telah dilengkapi dengan berbagai aturan. Termasuk aturan agar naluri ini dapat dipenuhi dengan baik. Dalam Al-Qur'an surah Al-A'la[87]: 2-3, Allah Swt. telah berfirman,
الَّذي خلقَ فسَوّى • وَالذي قَدَّر فَهَدى
"Yang telah menciptakan dan menyempurnakan. Yang menentukan kadar dan memberi petunjuk."
Allah Swt. telah menunjukkan dua jalan; jalan hidayah dan jalan kesesatan. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Balad[90]: 10,
وَهَدينه النجْديْن
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan."
Pada saat yang sama, Allah Swt. telah memberikan kepada manusia bekal berupa akal. Melalui akalnya, manusia dapat berpikir sehingga mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Salah satu naluri yang ada pada diri manusia adalah naluri untuk mempertahankan diri. Perwujudan dari naluri ini adalah rasa takut, kecintaan kepada harta, kekuasaan, kehormatan, kelompok, dan sebagainya.
Sebagaimana pemenuhan naluri lainnya, seorang muslim harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Hal itu agar pemenuhan terhadap naluri ini tidak akan mengganggu hak orang lain. Misalnya, kecintaan terhadap harta tidak boleh membuat seseorang lupa akan hak saudaranya. Karena itu, Islam telah menetapkan aturan tertentu terkait tata cara kepemilikan harta, yaitu dengan cara bekerja yang halal, hibah, hadiah, warisan, harta temuan, atau pemberian dari negara.
Demikian pula pemenuhan terhadap penampakan yang lain dari naluri ini, yaitu cinta kekuasaan. Pemenuhan dari keinginan berkuasa ini pun harus diatur. Sebab, pemenuhan terhadap naluri ini terkadang membuat manusia lupa diri. Keinginan untuk berkuasa membuat manusia saling bermusuhan. Tak peduli apakah itu dengan saudara, kerabat, atau sahabat. Baginya, yang terpenting adalah meraih kekuasaan.
Sikap ini harus dihindari oleh setiap muslim. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang layak untuk diperebutkan hanya untuk menunjukkan eksistensi diri. Kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban, sama seperti amanah lainnya.
Rasulullah saw. telah mengingatkan kita tentang hal ini melalui sebuah hadis riwayat Imam Bukhari,
كُلُّكُم راَع وكُُلكم مسوؤلٌ عنْ رعيته
"Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."
Bahkan, Rasulullah saw. pernah menolak permintaan Abu Dzar saat Sahabat Beliau itu meminta sebuah jabatan. Dalam hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda,
يا أبا ذَرٍّ إنك ضَعيفٌ وإنها أمانةٌ وإنها يومَ القيامةِ خِزْيٌ وندامةٌ إلا مَنِ أخذها بِحقها وأَدّى الذي عليه فيها
"Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya engkau lemah, sedangkan jabatan itu amanah. Sesungguhnya pada hari kiamat, ia merupakan kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya serta menunaikannya."
Terkait hadis ini, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadis ini merupakan dasar agar kita menjauhkan diri dari kekuasaan. Terutama jika kita termasuk orang yang lemah, yakni orang yang tidak memiliki kapabilitas, tidak mampu berbuat adil, serta memiliki sifat lalai. Karena itu, kita mendapati beberapa ulama yang menolak saat hendak diberi jabatan. Misalnya, Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah yang menolak ketika hendak diangkat sebagai hakim.
Sayangnya, pada hari ini umat Islam justru banyak yang tergoda dengan kekuasaan. Mereka memperebutkannya dengan berbagai cara. Mereka suap rakyat agar mereka terpilih sebagai pemimpin. Mereka pun tidak malu melakukan manipulasi data agar hasratnya untuk berkuasa dapat terpenuhi. Mereka bungkam para penghalang yang berusaha menghentikan langkah mereka dengan bermacam cara.
Saat mereka berhasil menjadi pejabat, mereka tidak mengurus dan melayani rakyat dengan baik. Padahal, untuk itulah mereka diangkat, itulah janji yang mereka sampaikan saat berkampanye. Sebaliknya, mereka menggunakan kesempatan itu untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka gunakan berbagai cara agar tetap berkuasa. Mereka ubah berbagai aturan dan undang-undang yang telah mereka sepakati bersama. Tujuannya hanya satu, melanggengkan kekuasaan.
Inilah gambaran kekuasan dan jabatan yang akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi yang memilikinya. Kehinaan di hadapan Allah Swt. serta rakyat yang dulu dipimpinnya atas sikap khianat yang dilakukannya. Maka, tinggallah penyesalan yang tidak ada gunanya.
Karena itu, seorang muslim yang meyakini perjumpaannya dengan Sang Pencipta akan menjauhi sikap ini sejauh-jauhnya. Semestinya mereka meneladani para Sahabat dan tabiut tabiin yang bersikap amanah saat diberi jabatan. Hal itu sangat jelas ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Beliau rela memanggul sendiri sekarung gandum yang hendak diberikan kepada warganya yang kelaparan. Ia khawatir, kelalaiannya dalam mengurus rakyat akan mendatangkan siksa di akhirat.
Semestinya pula mereka mengingat pesan Nabi saw. dalam hadis riwayat Imam Bukhari ini. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,
إنكم ستَحْرصون على الإمارة وستكون ندامةً يومَ القيامةِ فَنِعْمَتْ الْمُرْضِعَةُ وبِىِٔس الفاطِمةُ
"Sesungguhnya kalian akan berambisi terhadap kekuasaan dan akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Maka, betapa nikmat persusuan, dan betapa buruk penyapihan."
Wallaahu a'lam bishshawaab.[]