Nikah Beda Agama Tak Boleh Jadi Pilihan Pertama

"Cinta atau naluri seksual (gharizah nau') dianggap harus dapat dipenuhi. Akibatnya, manusia disetir oleh naluri seksualnya, bukan manusia yang menuntun naluri seksual itu. Pola pikir semacam itu tidak akan mempunyai tolok ukur halal dan haram."

Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pernikahan adalah suatu ikatan suci yang mempererat hubungan laki-laki dan perempuan pada jalan yang hanif. Cara sah yang dilewati diakui oleh agama dan negara. Maka, bagi setiap insan yang Allah anugerahkan rasa cinta pada hati di antara keduanya, jalan yang ditempuh untuk memperkuat tali cinta kasihnya adalah dengan tahapan yang sesuai syariat Islam.

Menikah juga menjadi wasilah hadirnya keturunan dalam rangka melestarikan kehidupan. Dengan adanya hubungan suami istri melalui jalan pernikahan, maka manusia di dunia akan semakin bertambah jumlahnya. Namun, sebuah pernikahan tentu tidak semudah yang dibayangkan. Tidak sembarang orang siap dan mampu melakukannya.

Namun, siap menikah bukan hanya tentang siap menjadi seorang istri, melainkan sepaket akan menjadi ibu. Terlebih dahulu perlu memahami apa tujuan menikah. Hal itu akan menentukan arah rumah tangga dan bukan sekadar soal cinta apalagi nafsu semata. Bukan! Pernikahan merupakan tanggung jawab yang sangat besar, ibadah seumur hidup dan episode panjang yang tidak dapat diputar kembali untuk memperbaikinya jika telah rusak. Apalagi pada awalnya menyalahi aturan Allah.

Cinta Buta

Disadari atau tidak, latar belakang tuntutan mereka yang melakukan nikah beda agama disahkan sebenarnya adalah “cinta buta." Cinta, yang merupakan aktualisasi dari naluri (gharizah) seksual, sesungguhnya lahir sebab stimulus berupa lawan jenis dan pandangan seseorang kepada lawan jenisnya.

Dengan dalih kelak tidak tahu akan suka dengan siapa, dan bisa jadi menyukai orang yang beda agama, sementara cinta mereka nilai sebagai bagian dari bentuk HAM dan tidak boleh dilarang. Artinya, cinta atau naluri seksual (gharizah nau') dianggap harus dapat dipenuhi. Akibatnya, manusia disetir oleh naluri seksualnya, bukan manusia yang menuntun naluri seksual itu.
Pola pikir semacam itu tidak akan mempunyai tolok ukur halal dan haram. Rasa cinta mereka abaikan tanpa kendali. Alhasil, mereka tidak bisa membedakan lagi dengan siapa mereka bercinta. Karena mereka tidak menggunakan pola pikir yang benar sebagai seorang muslim, mereka pun tentu akan menabrak rambu-rambu yang dilarang. Standar berpikir demikian tidak selayaknya dimiliki oleh seorang muslim.

Pahami Syariat Islam

Firman Allah Swt. yang berkaitan dengan nikah beda agama:
﴿وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ … ﴾
"Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walau dia menarik hati kalian. Jangan juga kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin itu lebih baik dari orang musyrik walau dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan atas izin-Nya…" (QS al-Baqarah[2]: 221).

Di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (hlm. 293-297) karya Syekh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan bahwa larangan ayat tersebut jika dikaitkan dengan qarinah yang menunjukkan bahwa larangan itu bersifat tegas (jazim) yaitu: mereka mengajak ke neraka (ulâika yad’ûna ila an-nâr).

Jadi, ayat di atas mengharamkan perkawinan antara pria mukmin dengan wanita kafir dan perkawinan antara wanita mukmin dengan pria kafir. Hanya saja, hal itu di-takhshish oleh firman Allah Swt. dalam QS al-Maidah ayat 5 yang berbunyi:
﴿الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ﴾
"Pada hari ini dihalalkan untuk kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan al-Kitab itu halal untuk kalian dan makanan kalian juga halal bagi mereka. (Halal pula menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di golongan para wanita yang beriman dan para wanita yang menjaga kehormatan di golongan orang-orang yang diberikan al-Kitab sebelum kalian."

Dalil selanjutnya terkait dengan pernikahan beda agama, di dalam QS al-Mumtahanah: 10, Allah Swt. berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang berhijrah kepada kamu perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kamu uji (dengan keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka apabila kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, jangan kamu kembalikan mereka pada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.”

Dengan demikian, perkawinan antara wanita mukmin dengan pria kafir hukumnya haram secara mutlak. Perkawinan antara pria mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) baik beragama Buddha, Hindu, Konghucu, dan aliran kepercayaan lainnya juga haram.

Adapun perkawinan antara pria mukmin dengan wanita ahlulkitab (Nasrani atau Yahudi) hukumnya halal/boleh, namun ditetapkan hanya dengan wanita ahlulkitab yang muhshanât yakni yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya ('afifat).

Khalifah Umar bin Khaththab ra. menetapkan agar hal itu tidak dijadikan opsi pertama, melainkan opsi terakhir. Yang artinya tetap mendahulukan untuk menikahi seorang wanita mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi wanita ahlulkitab. Kemudian Khalifah Umar menulis surat kepadanya, “Ceraikan dia!" Lalu Hudzaifah membalas surat itu, "Apakah engkau menilai itu haram sehingga aku harus menceraikannya?” Umar menjawab, "Aku tidak menilai hal itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita mukmin.”

Wallahu A'lam Bish-Shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Fitria Zakiyatul Fauziyah CH Kontributor NarasiPost.Com dan Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta
Previous
Kapitalisme, Biang Kerok Hilangnya Nurani Ibu
Next
Be Wise dalam Sharing-Menyaring
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Yuli Sambas
Yuli Sambas
1 year ago

Perspektif Islam yang sangat mengagumkan dlm memandang fenomena nikah beda agama yang kian marak akhir2 ini

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram