"Nikmat mutlak adalah nikmat yang dapat menjadi sarana menuju kebahagiaan yang hakiki, yaitu nikmat Islam. Inilah jenis nikmat yang Allah perintahkan kita untuk memintanya dalam setiap doa kita, supaya Allah menunjukkan kepada kita jalan golongan orang-orang yang Allah karuniakan nikmat tersebut kepadanya.”
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Jika ditanya adakah yang dapat menghitung nikmat Allah yang begitu banyak? Tentu tidak ada yang bisa, bahkan mesin yang paling canggih pun tak akan sanggup. Manusia hanya bisa menerima dan mensyukuri, namun juga ada yang mengingkarinya. Dalam kitab Ash-Shahhah Fil Lughah karya Al-Jauhari, syukur diartikan sebagai pujian bagi orang yang memberikan kebaikan atau ungkapan berterima kasih.
Sedangkan dalam Islam, makna syukur adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Madarijus Salikin, 2/244 berikut:
“Syukur adalah tanda menunjukkan nikmat Allah ada pada dirinya. Bisa dengan lisan, yaitu dengan pujian dan menyatakan kesadaran diri bahwa Allah telah memberinya nikmat. Atau melalui hati, yaitu berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla. Juga melalui anggota badan, berupa ketundukan dan ketaatan kepada-Nya.”
Manusia tak akan pernah dapat menghitung nikmat Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 18, "Jikalau kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tak akan dapat menghitungnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam kitab Tafsir Mafatihul Ghaib, (Beirut, Dârul Ihya’-it Turatsi, 1998), juz III, halaman 474, Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan terkait ayat di atas, manusia tidak akan sanggup untuk menghitung nikmat yang diterimanya. Dikarenakan semua manfaat yang dinikmati oleh dirinya, yang ia gunakan untuk menarik manfaat dan menolak keburukan. Nikmat yang Allah ciptakan di muka bumi inilah yang menjadikan manusia merasa senang, bahagia, dan tenteram.
Begitu pula setiap hal yang membuat seorang hamba terhindar dari maksiat, itu juga nikmat. Segala manfaat yang ada di muka bumi atau yang menjadi sarana untuk meraihnya, sejatinya merupakan nikmat. Sebab, dengan adanya manfaat atau jalan menuju kemanfaatan tersebutlah seorang hamba menjadi lebih semangat untuk mengerjakan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Imam ar-Razi menambahkan “Maka dapat dipastikan, semua ciptaan Allah adalah nikmat bagi hamba-Nya.”
Sedangkan Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Marahu Labidin li Kasyfi Ma’anil Qur’anil Majid, (Beirut, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah: 1999), juz I, halaman 589, berpendapat bahwa, maksud tidak sanggup menghitung pada ayat di atas, adalah tidak mampu menghitung secara sempurna, dan bukan bermakna tidak bisa menghitung secara menyeluruh. Disebabkan, manusia tidak akan mengetahui semua nikmat yang Allah limpahkan kepadanya, dan hanya mengetahui sebagiannya saja. Akibat ketidaktahuan inilah manusia tidak bisa mensyukuri nikmat itu secara sempurna. Hal ini harusnya juga menyadarkan kita bahwa akal manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan dapat menampung dan menghitung semua nikmat Allah yang sangat banyak.
Jika kita merenung sejenak, maka akan kita dapati bahwa ternyata kita selalu dikelilingi nikmat yang melimpah. Setiap saat dalam hidup kita telah tercurah kenikmatan dari Allah yang tak ada habisnya, hidup kita, udara yang kita hirup, kesehatan, bahkan panca indra. Di setiap tempat kita berada, ada nikmat Allah. Di saat paling sulit kita, di sana ada nikmat Allah. Maka tugas kita adalah bersyukur. Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, untuk mempertahankan nikmat itu kita butuh bersyukur. Bersyukur itu al-hafidz, yaitu menjaga. Artinya, menjaga nikmat agar tetap ada, bertahan, bahkan bertambah. Akan tetapi sudah sifat manusia, juga keadaan yang kadang tak menentu membuat kita sering lupa untuk bersyukur. Padahal sudah difirmankan oleh Allah dalam surah Ibrahim ayat 7, bahwa:
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.'”
Sejatinya bersyukur kepada Allah adalah pengakuan diri bahwa segala kenikmatan yang ada baik pada diri kita ataupun semua makhluk hanyalah berasal dari-Nya. Oleh sebab itu, semua kenikmatan itu juga harus digunakan hanya untuk Allah. Yaitu dengan menggunakannya sesuai dengan tujuan Allah menciptakan nikmat tersebut.
Jenis-Jenis Nikmat
Dalam kitab Ijtima’ Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal 5, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa, ”Nikmat itu terbagi menjadi dua, nikmat mutlak atau mutlaqah dan nikmat nisbi atau muqayyadah. Nikmat mutlak adalah nikmat yang dapat menjadi sarana menuju kebahagiaan yang hakiki, yaitu nikmat Islam. Inilah jenis nikmat yang Allah perintahkan kita untuk memintanya dalam setiap doa kita, supaya Allah menunjukkan kepada kita jalan golongan orang-orang yang Allah karuniakan nikmat tersebut kepadanya.”
Dari penjelasan tersebut, maka akan kita dapati, bahwa nikmat yang sejati itu adalah ketika Allah menurunkan hidayah kepada kita sehingga dapat mengenal Islam secara menyeluruh dan mengamalkannya. Supaya kita dapat mengetahui juga membedakan, apa yang Allah perintahkan dan apa yang Allah larang, mana termasuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mana yang termasuk perbuatan maksiat?
Allah hanya memberikan nikmat mutlak ini khusus kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya. Dengan nikmat inilah kita bisa meraih surga beserta segala kemegahannya. Oleh karena itu, ketika salat kita senantiasa berdoa, ”Tunjukilah kepada kami jalan yang lurus. Yaitu, jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka.” (QS. Al-Fatihah ayat 6-7)
Selanjutnya nikmat nisbi, contohnya adalah nikmat harta dunia yang kita peroleh. Sejatinya harta yang Allah berikan kepada kita bukanlah semata-mata bahwa Allah mencintai kita. Karena nikmat harta tersebut juga Allah berikan kepada orang-orang musyrik dan kafir. Bahkan, bisa jadi mereka memperoleh lebih banyak harta dari kita.
Untuk itu, Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal. 6, kembali menyatakan bahwa nikmat harta ini termasuk kesehatan badan, jabatan, bahkan keluarga, sebagai suatu kenikmatan yang nisbi, tidak mutlak. Bahkan, bisa saja kenikmatan tersebut adalah bentuk ujian atau bahkan istidraj atau jebakan Allah, sehingga manusia semakin tersesat dan semakin menjauh dari syariat-Nya.
Sejatinya tidak setiap yang Allah muliakan dan beri nikmat berupa harta itu karena Allah benar-benar mencintainya. Bisa jadi karena Allah hendak mengujinya atau karena hendak menghukumnya agar makin jauh dari jalan-Nya. Dan sebaliknya, belum tentu yang Allah sempitkan rezekinya itu dikarenakan Allah hendak menghinakannya, bisa jadi Allah hendak menguji imannya dengan kesempitan, sebagaimana Allah Subhanahu Wataala berfirman dalam surah Al-Fajr ayat 15-17, bahwa, "Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya dengan memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, 'Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bilamana Tuhannya mengujinya dan membatasi rezekinya, maka dia berkata, 'Tuhanku menghinakanku’. Sekali-kali tidak!"
Cara Mensyukuri Nikmat Allah yang Tak Terbatas
Sangat terang dan jelas bahwa nikmat Allah begitu banyak, luas, dan rinci. Lalu bagaimana cara kita mensyukurinya? Mensyukuri nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita adalah hal terpenting yang harus dilakukan seorang hamba. Karena bersyukur adalah bukti keimanan dan ketundukan kita kepada Allah Sang Maha Pemberi.
Dalam kitab Tafsirul Wasith, [Beirut, Darul Fikr: 2014], halaman 2509, Sayyid Muhammad Ali Thanthawi menjelaskan, walaupun nikmat Allah untuk manusia tidak terbatas jumlahnya dan manusia tidak sanggup untuk menghitungnya, bukan berarti ini merupakan dispensasi untuk menggugurkan kewajibannya dalam bersyukur. Artinya manusia tetap wajib bersyukur, “Selama kondisi ketidakmampuan menghitung semua nikmat itu, maka syukurilah nikmat yang Allah berikan semampunya, dengan mengikhlaskan ibadah dan ketaatan hanya kepada-Nya.”
Cara sederhana bersyukur kepada Allah agar nikmat itu tetap atau bahkan bertambah adalah dengan senantiasa memuji Allah atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Kemudian dengan cara menggunakan anggota badannya untuk melakukan ketaatan hanya kepada Allah. Menjauhi segala larangan-Nya dan berusaha menjalankan segala perintah-Nya, memperjuangkan agar syariat-Nya dapat diterapkan di muka bumi secara total sebagaimana yang Rasul-Nya ajarkan.
Wallahu a’lam.[]