Suara yang Selalu Dirindukan

"Keharmonisan kehidupan bermasyarakat yang beragam justru hanya akan tercipta jika syariat Islam dijelaskan secara benar dan terperinci, diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Jangan dibikin gaduh oleh suara pejabat yang mengajak masyarakatnya membayangkan suara azan dengan metafora yang menjijikkan karena dipahami sebagai bentuk penistaan agama. Azan harusnya dibayangkan sebagai suara Bilal yang selalu dirindukan."

Oleh: Maman El Hakiem

NarasiPost.Com-Suatu hari Bilal beranjak menemui Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq hendak menyampaikan isi hatinya. Bilal mengungkapkan, "Wahai Khalifah Rasulullah, aku mendengar Rasululullah saw. mengatakan bahwa amaliah mukmin itu yang paling utama adalah jihad fi sabilillah.”

Khalifah Abu Bakar terheran, lalu menanyakan, "Lantas apa yang kau inginkan, wahai Bilal?”

Bilal menjawabnya, "Biarkan aku pergi berjuang di jalan Allah sampai akhir hayatku.”

Tentu, Abu Bakar mulai cemas jika Bilal akan meninggalkan dirinya, “Nanti siapa lagi yang akan mengumandangkan azan untuk kami?”

Dengan dua mata yang berlinang air mata, Bilal menjawab, “Sungguh aku tidak akan lagi mengumandangkan azan untuk siapa pun sesudah wafatnya Rasulullah.”

Abu Bakar dengan nada merajuk mengatakan, "Wahai Bilal, tetaplah di sini dan kumandangkanlah azan untuk kami!”

Namun, Bilal tetap pada keinginannya, “Seandainya dahulu engkau memerdekakanku adalah demi kepentinganmu, aku terima kehendakmu itu. Tetapi, bila engkau memerdekakan aku karena Allah, biarkanlah diriku ini untuk Allah, sebagaimana maksud baikmu itu.”

Dengan terharu, Abu Bakar mengatakan bahwa Bilal dimerdekakan semata-mata karena Allah Swt.

Percakapan tersebut dikutip dari buku “Biografi 60 Sahabat Rasulullah saw.” karya Khalid Muhammad Khalid, gambaran betapa Khalifah Abu Bakar sangat merindukan suara azan dari sahabat Bilal bin Rabah. Seorang mantan budak yang dibebaskannya dari Umayah bin Khalaf, salah seorang sesepuh Bani Jumah, kabilah yang berpengaruh di Habsyah. Bilal ditebus Abu Bakar dengan harga tinggi, namun tidak akan pernah senilai dengan keteguhan imannya saat dibebaskan dari tuannya.

Perawakan Bilal tampak kurus dan berkulit hitam legam, namun mutiara iman yang bersinar dari hatinya menjadikan cahaya yang menerangi kehidupan para sahabat Rasulullah, terlebih kemerduan suaranya. Saat Bilal mengumandangkan azan, siapa pun yang mendengarnya akan berhenti dari berkata-kata. Sangat menggetarkan hati, menyeruak ke relung jiwa untuk selalu mengagungkan nama Allah Swt., panggilan-Nya untuk segera menunaikan kewajiban salat untuk hamba-hamba yang telah beriman.

Kemerduan suara Bilal bukan karena latihan vokal ataupun hasil olah suara, melainkan karena keluar dari kekuatan iman yang telah teruji. Ditempa dari segala kesulitan hidup yang membuatnya tegar karena sebagai budak tak ubahnya barang yang diperjualbelikan oleh tuannya. Namun, pilihan hatinya untuk tetap mengimani Allah Swt. dan kerasulan Muhammad saw. menggetarkan para pemuja berhala Quraisy yang dengan segala cara menyiksa Bilal. Mereka tak mampu melumpuhkan keimanan Bilal sekalipun dipanggang di atas batuan padang pasir yang panas.

Romantisme Azan dan Kebisingan

Azan sebagai panggilan suci telah membuat Bilal tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Rasulullah saw. Bilal sangat bersedih saat mendengar wafatnya Rasulullah saw., seperti kehilangan separuh jiwanya karena tidak bisa lagi menyaksikan Rasul saw. menyahut suara azannya. Sungguh romantisme kemerduan suara azan Bilal amat berkesan di hati para Sahabat Rasulullah saw. Dalam perjalanan hidupnya, Bilal menghabiskan masa tuanya di Syam. Azan terakhir yang dikumandangkan Bilal adalah saat Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkunjung ke Syam. Saat Bilal mengumandangkan azan, para Sahabat yang pernah melihat Rasulullah ketika Bilal menjadi muazinnya turut menangis, mencucurkan air mata. Dan Umar adalah orang yang paling keras tangisannya karena memori bersama Rasulullah membuncah saat mendengar suara azan Bilal.

Sungguh teramat aneh jika di masa kini ada seorang muslim, terlebih sekelas pejabat negara yang malah terusik dengan suara azan. Bahkan menganalogikan suara azan dengan suara lolongan anjing. Sekalipun tidak bermaksud menistakan agama dan konteksnya mengenai pengaturan suara di masjid atau musala agar tidak bising. Namun, patut disesalkan karena pemilihan diksi atau metafora yang tidak pantas dan membuat kegaduhan di masyarakat.

Sebagaimana ramai diberitakan, Menteri Agama RI membuat kegaduhan yang dibahasamediakan seakan membandingkan suara azan dengan lolongan anjing. Tentu, bahasa media tersebut membuat kementerian Agama gerah dan langsung memberikan sanggahan terhadap media bersangkutan dengan beberapa poin klarifikasi, diantaranya: Pertama, yang dimaksud ucapan menteri tersebut adalah penjelasan tentang kondisi kebisingan, bukan membandingkan satu dengan lainnya, dan hal itu disebut dengan awalan kata "bayangkan." Dijelaskan bahwa dalam bayangan seorang menteri terdapat beberapa hal yang dianggap kebisingan, semisal di daerah yang mayoritas muslim, hampir setiap 100-200 meter terdapat musala-masjid. Kemudian, dalam waktu bersamaan mereka semua menyalakan Toa-nya di atas atap, kayak apa bisingnya? Menurutnya, ini bukan lagi syiar tapi menjadi gangguan buat sekitarnya.

Kedua, bayangkan lagi, ujar seorang menteri, bagi seorang muslim yang hidup di lingkungan nonmuslim, lalu rumah ibadah saudara-saudara yang nonmuslim membunyikan Toa sehari lima kali dengan kencang secara bersamaan. Itu rasanya bagaimana?

Ketiga, membayangkan kembali, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya kiri, kanan, depan dan belakang pelihara anjing semua, Misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan. Kita ini terganggu nggak? (detik.com, 25/2/2022).

Jika mencermati beberapa sanggahan tersebut, tentu menjadi haknya untuk menyampaikan klarifikasi.Namun, kebiasaan yang tidak wajar diucapkan seorang pejabat yang harusnya memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai syariat Islam di negeri mayoritas muslim ini. Membayangkan sesuatu dengan mengambil pilihan metaforis yang dari sudut pandang masyarakat dianggap keliru, akan memancing kegaduhan dan disharmoni kehidupan beragama itu sendiri. Keharmonisan kehidupan bermasyarakat yang beragam justru hanya akan tercipta jika syariat Islam dijelaskan secara benar dan terperinci, diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Jangan dibikin gaduh oleh suara pejabat yang mengajak masyarakatnya membayangkan suara azan dengan metafora yang menjijikkan karena dipahami sebagai bentuk penistaan agama. Azan harusnya dibayangkan sebagai suara Bilal yang selalu dirindukan.

Wallahu’alam bish Shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Adang Virus Valentine's Day
Next
Keajaiban Istigfar
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram