Agar Muslimah bisa kembali menjalankan syariat hijab dengan tenang dan juga sekaligus menghilangkan segala bentuk cibiran kepada syariat tersebut, haruslah dilakukan dengan upaya mengembalikan perisai yang hilang itu. Menemukan sang khalifah saat ini menjadi tugas bersama umat. Kewajiban yang tidak bisa lagi ditunda, bahkan menjadi mahkota kewajiban. Saling bahu membahu, fokus mengerahkan segala daya upaya untuk bisa menemukannya. Cara yang tepat dan membawa keberhasilan, telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw, yaitu berdakwah menyadarkan umat. Mengenalkan umat dengan sistem bernegara dan sosok perisai yang dimaksud, kilauan cahayanya yang mampu menerangi gemerlap dunia.
Oleh: Hanum Hanindita, S.Si (Guru STP Khoiru Ummah Kranggan)
NarasiPost.com - Belum lama ini, syariat Islam kembali menjadi sasaran hujat. Kali ini yang menjadi sasaran adalah tuntunan Islam terkait menutup aurat dengan hijab. Media asal Jerman Deutch Welle (DW) membuat konten video yang mengulas tentang sisi negatif anak memakai jilbab sejak kecil. Dalam video itu, DW Indonesia mewawancarai seorang ibu yang mewajibkan putrinya mengenakan hijab sejak kecil. DW Indonesia juga mewawancarai psikolog Rahajeng Ika. Ia menanyakan dampak negatif psikologis bagi anak-anak yang sejak kecil diharuskan memakai jilbab. Tak ketinggalan dari kalangan pejabat juga menyoroti syariat ini. Anggota DPR RI Komisi VIII Bidang Sosial dan Agama Lisda Hendrajoni meminta aturan sekolah yang mewajibkan seluruh siswi di SMKN 2 Padang memakai jilbab dicabut. Aturan tersebut dinilai bertentangan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika dan dapat menimbulkan konflik suku ras dan agama (SARA) di tengah masyarakat.
Sejatinya, hujatan terkait hijab ini bukan pertama kali terjadi. Pada masa lalu, hijab sudah dipermasalahkan dengan berbagai alasan dan cibiran. Ketika ada perempuan yang mengenakan kerudung, predikat kuno dan kampungan akan melekat pada diri mereka. Ketinggalan zaman, tidak gaul, kuper, sok alim bahkan radikal dan eksklusif adalah cap yang selalu dialamatkan kepada para muslimah yang mengenakannya. Beberapa negara malah melarang penggunaan hijab tersebut. Pelarangan tersebut bukannya tidak menimbulkan pro dan kontra. Masyarakat yang merasa ditindas dengan peraturan tersebut kerap mengajukan protes. Namun, pelarangan tetap berlangsung. Beberapa negara diantaranya adalah Belanda, Jerman, Italia, Rusia, dan Prancis bahkan terjadi pelarangan juga di negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, yaitu Turki, sekalipun kini larangan tersebut telah dicabut pada tahun 2013, hanya burqa (yang menutup muka) yang masih dilarang.
Di dalam Islam, dalam hadis diriwayatkan: “Wahai Asma! Sesunggunya wanita apa bila sudah baligh, tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk ke muka dan telapak tangannya. (HR Abu Daud)
Dari hadis tersebut, telah jelas bahwa menutup aurat adalah perintah Allah Swt. Hukumnya adalah wajib. Karena menutup aurat adalah kewajiban, maka Allah Swt mengatur pula bagaimana cara muslimah menutup aurat.
Dalam QS. Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nuur ayat 31 dijelaskan aturan yang harus ditaati muslimah dalam menutup aurat.
Menutup aurat harus menggunakan pakaian syar’i. Pakaian syar’i ini yang disebut dengan hijab dan terdiri dari tiga komponen, yaitu pakaian rumah, kerudung (khimar), dan jilbab. Panjang kerudung minimal harus menutupi dada dan tidak boleh transparan. Sementara jilbab adalah pakaian longgar seperti terowongan sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh. Pakaian rumah adalah pakaian yang sehari-hari digunakan wanita di dalam rumah. Tiga komponen pakaian ini wajib dikenakan muslimah ketika ia berada dalam kehidupan umum. Inilah cara yang benar bagi wanita muslimah dalam menutup aurat. Hijab membuat kehormatan seorang wanita akan terlindungi.
Dari sini, Kita bisa melihat bahwa memakai hijab yang sempurna adalah salah satu bagian dari syariat-Nya yang pastinya akan mendatangkan kebaikan bagi siapapun yang menjalankannya. Penyerangan yang tidak bertanggungjawab terhadap syariat hijab merupakan bentuk upaya agar umat menjauhi tuntunan Islam. Jika hijab saja, yang merupakan bagian kecil dari hukum Islam sudah ditolak, apalagi hukum Islam lain yang Kaffah mengatur seluruh urusan umat manusia dalam berbagai aspek.
Semua ini memang wajar terjadi, karena hidup di tengah sistem sekularisme yang memisahkan aturan agama dari kehidupan memang akan selalu membuka peluang dan jalan untuk menghilangkan aturan agama di dalam kehidupan. Sekularisme jugalah yang telah merampas perisai umat itu. Perisai seperti apa yang dimaksud?
Jika diibaratkan sebuah bangunan, untuk menjadi kuat maka harus ditopang oleh pilar yang memadai agar bangunan berdiri dengan kokoh. Setelah berdiri kokoh dijaga dan dirawat dari segala bentuk kerusakan dan ini butuh upaya yang keras dan sungguh-sungguh, sehingga bangunan tidak mudah rusak sekalipun ada badai yang menghampiri dan orang-orang yang hidup di bawahnya akan aman. Demikian pula gambaran sebuah tatanan kehidupan bernegara. Menjadi sebuah bangunan besar dan kuat, tempat rakyat berlindung di bawah payung besarnya, bernaung dari berbagai nestapa kehidupan. Hidup, tertata dengan rapi karena percaya bangunannya akan selalu berdiri kuat.
Payung atau perisai bagi kaum Muslim dan rakyat yang hidip di bawahnya itu adalah Khilafah, Payung besar yang menaungi hingga 2/3 dunia ini tidak diragukan kemampuannya sanggup menjadi mercusuar dunia. Di zamannya umat Islam pernah punya rumah besar ini hingga luas mencapai sebagian besar peta dunia. Sistem bernegara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam penerapannya dan dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau. Sungguh ini adalah sistem tuntunan syariat yang diturunkan oleh zat yang Maha Agung Allah Swt. Khalifah adalah kepala negara bagi seluruh umat Islam dan di tangannya menggenggam kekuasaan yang bijaksana. Junnah itulah kata yang disematkan kepada setiap khalifah. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Imam (Khalifah) menghalangi atau mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.
Contoh implementasi fungsi junnah dari Khalifah ini tampak ketika ada Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi Saw melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan merekapun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan Rasulullah Saw, demi menjadi junnah bagi Islam dan kaum Muslim.
Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khalifah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, yang menolak upaya Yahudi untuk menguasai tanah Palestina.
Semua ini adalah bukti nyata dari fungsi junnah para Khalifah di era kekhilafahan Islam yang berhubungan dengan perlindungan kepada rakyatnya. Dan banyak lagi kesuksesan era khalifah dalam mengemban amanah sebagai perisai.
Demikianlah gambaran pemimpin Islam dalam sebuah perisai negara yang bernama khilafah. Kekuasaan seorang Khalifah dituntun oleh agama. Benar yang dikatakan Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad halaman128 mengumpamakan diin dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar.
Beliau berkata: Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar, seperti dua saudara yang lahir dari satu perut yang sama (Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulk). Artinya, sebuah kekuasaan pemerintahan atau politik tidak bisa dipisahkan dengan agama agar dalam melaksanakan kekuasaan itu tetap dalam bingkai aturan Allah, sehingga tidak menjadi penguasa yang bersikap zalim dan melampaui batas.
Hidup tanpa perisai membuktikan, umat Islam hidup tanpa penjaga. Setiap saat siap diintai untuk dimangsa, tidak ada yang menjaga harta, nyawa, kehormatan, bahkan keyakinan (akidah) pun ikut terancam hilang. Seperti kondisi saat ini, kaum Muslimah yang menjadi kesulitan untuk menjalankan syariat hijab sempurna.
Maka, agar Muslimah bisa kembali menjalankan syariat hijab dengan tenang dan juga sekaligus menghilangkan segala bentuk cibiran kepada syariat tersebut, haruslah dilakukan dengan upaya mengembalikan perisai yang hilang itu. Menemukan sang khalifah saat ini menjadi tugas bersama umat. Kewajiban yang tidak bisa lagi ditunda, bahkan menjadi mahkota kewajiban. Saling bahu membahu, fokus mengerahkan segala daya upaya untuk bisa menemukannya. Cara yang tepat dan membawa keberhasilan, telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw, yaitu berdakwah menyadarkan umat. Mengenalkan umat dengan sistem bernegara dan sosok perisai yang dimaksud, kilauan cahayanya yang mampu menerangi gemerlap dunia.
Metode dakwah yang Nabi ajarkan akan mampu menghantarkan hingga perisai tersebut kembali ke pangkuan umat. Dengan ini, bukan hanya syariat hijab yang akan mudah untuk dilaksanakan, tetapi seluruh syariat Allah yang sempurna yang pasti membawa keberkahan bagi seluruh makhluk Allah di muka bumi akan bisa diterapkan secara Kaffah di seluruh alam. Insyaa Allah.
Picture Source by Google