“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (TQS. Az- Zariyat [51]: 56).
Oleh. Atien
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-”Jangan bilang cintamu sejati jika masih meminta syarat tapi atau nanti.”
Cinta. Satu kata dengan sejuta rasa. Kehadirannya yang tiba-tiba dan tanpa permisi tetap menjadi misteri sejak penciptaan umat manusia. Banyak sekali kisah yang mengharu biru ketika cinta bertemu dengan jodohnya. Namun, tak sedikit pula cerita tragis yang berakhir pilu saat cinta tak berbalas rasa. Tak heran ada banyak istilah yang muncul ketika membahas tentang cinta.
Segalanya Tentang Cinta
Apa itu cinta? Mengutip dari laman Wikipedia, cinta adalah suatu emosi dan ketertarikan pribadi. Cinta merupakan suatu perasaan dalam diri seseorang. Cinta mengandung semua kebaikan, perasaan belas kasih, dan kasih sayang. Cinta bisa juga diartikan sebagai sebuah aksi yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, dan mengiyakan segala sesuatu yang diinginkan oleh orang yang dicintainya.
Dari penjelasan di atas maka tak heran ada istilah "cinta buta" untuk menggambarkan seseorang yang sangat berlebihan dalam mencintai si dia. Sedangkan seseorang yang dilanda cinta buta disebut "budak cinta" (bucin) karena dia rela berkorban apa saja demi memenuhi keinginan kekasihnya tanpa memedulikan keadaan dirinya. Ada pula "cinta menyimpang" karena menyalahi fitrah ketika dirinya mencintai sesama jenisnya. Cinta menyimpang juga menjangkiti orang-orang yang cinta mati kepada benda mati sampai memantapkan diri untuk menikahinya. Misalnya menikah dengan boneka, robot, wahana permainan, dan sebagainya. Begitu dahsyatnya pengaruh rasa cinta sampai hal yang tak masuk akal pun tetap dilakukannya. Semua rasa cinta tersebut ternyata hanya bersandar kepada hawa nafsu belaka.
Rasa cinta yang ada pada diri manusia merupakan anugerah dari Allah Swt. Rasa tersebut akan selalu ada selama manusia masih bernyawa. Keberadaannya yang menimbulkan rasa gelisah membuat seseorang jadi serba salah dalam menyikapinya. Namun, hal itu tidak sampai menimbulkan adanya bahaya, apalagi sampai kehilangan nyawa.
Cinta yang muncul dalam diri manusia memang tidak hanya tentang rasa suka kepada lawan jenisnya. Namun, bisa saja berwujud rasa kasih sayang kepada sesamanya. Misalnya rasa kasih sayang kepada orang tua, adik, kakak, dan kerabatnya. Itu semua masuk dalam lingkup rasa cinta. Adanya rasa tersebut merupakan salah satu dari garizah atau naluri yang telah menyatu dalam diri setiap insan sejak dirinya dilahirkan ke dunia.
Cinta dan Tujuan Hidup Manusia
Sebagai seorang muslim yang mengaku bertakwa kepada Allah Swt. tentu akan memenuhi rasa cinta yang ada pada dirinya sesuai dengan perintah dan larangan-Nya, baik itu rasa cinta kepada lawan jenis, keluarga, dan harta dunia. Namun, semua rasa itu tidak boleh melebihi rasa cintanya kepada Sang Pencipta.
Hal itu merupakan sesuatu yang penting agar dirinya tidak terjebak ke dalam rasa yang berlebihan sehingga melupakan tujuan hidupnya di dunia. Cinta yang demikian tentu tidak boleh dibiarkan saja.
Allah Swt. telah menjelaskan hakikat penciptaan manusia dalam firman-Nya yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (TQS. Az- Zariyat [51]: 56).
Tujuan mulia seorang hamba untuk menjadi hamba yang bertakwa mengharuskan dirinya untuk mampu menahan diri dari hal-hal yang terlarang. Namun, hal itu tentu bukan perkara yang mudah untuk dilakukan. Apalagi dengan situasi dan kondisi di tengah lajunya pemikiran sekularisme liberal yang makin liar dalam kancah kehidupan saat ini ketika sistem kapitalisme masih dipertahankan.
Sistem kapitalisme dengan pongahnya mengajak penganutnya untuk memperoleh harta dunia dengan berbagai cara tanpa mengindahkan aturan agama. Mereka tidak mengenal halal haram saat bicara tentang cara memperoleh harta tersebut dengan sebanyak-banyaknya. Jadi, siapa pun bebas mendapatkan kekayaan, pangkat, jabatan, dan kekuasaan sesuka hatinya.
Sebagai seorang muslim tentu harus mengencangkan prinsip kebenaran yang dipegangnya agar tidak longgar apalagi sampai terlepas dari dalam hatinya. Hal itu merupakan cara paling ampuh untuk membendung derasnya narasi-narasi menyesatkan yang mengikis rasa cintanya kepada Allah Swt. Narasi-narasi tersebut datang dari musuh-musuh Islam yang berusaha dengan segala daya upaya untuk menjauhkan umat muslim dari agamanya. Salah satunya dengan mengajaknya untuk fokus dalam mengejar materi dunia atas dorongan hawa nafsunya. Tanpa sadar rasa cinta kepada Allah Swt. sedikit demi sedikit berkurang dari hatinya.
Ya, rasa cinta seorang hamba kepada Sang Pencipta yang seharusnya dinomorsatukan justru menjadi prioritas yang kesekian. Cintanya kepada dunia membuatnya tak lagi memikirkan tujuan utama dalam kehidupan. Sebab cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya hanya muncul ketika sedang beribadah ritual. Namun, ketika diajak untuk patuh pada aturan di ranah yang lain, mereka merasa enggan dengan berjuta alasan. Namun, dengan yakinnya mereka mengatakan cintanya sejati karena ibadah di ranah pribadi lebih diutamakan.
Manusia memang cenderung kepada hal-hal yang sifatnya dunia. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar sepanjang tidak melanggar aturan yang telah ditentukan. Namun, rasa cintanya kepada keluarga maupun harta benda terkadang membuatnya terlena dan lalai terhadap aturan agama. Alhasil kenikmatan yang hanya sementara tersebut justru lebih dicintainya. Tak disangka, rasa cinta yang berlebihan membuatnya terhalang dari petunjuk dan hidayah-Nya.
Hal tersebut tercantum begitu nyata di surah At-Taubah ayat ke 24 yang artinya,
"Katakanlah, 'Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.' Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Cinta yang Merugikan
Wahai kaum muslim, alangkah meruginya diri ketika materi dunia lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya. Kerugian yang dialami pasti akan lebih banyak lagi ketika rasa cintanya sampai melanggar aturan agama. Alhasil yang tersisa hanyalah butiran-butiran penyesalan yang menyesakkan dada. Jadi, masihkah diri berharap kepada kenikmatan yang sementara dan tak seberapa? Akankah hati lebih memilih kebahagiaan yang hanya beberapa tetesan air yang luruh dari jari kita?
“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR. Muslim).
Itulah gambaran kenikmatan dunia yang dikejar, dibanggakan, dan dipuja-puja. Ternyata kepuasan yang didapatkan tak sebanding dengan kerugian yang akan diterima. Rasa cinta yang demikian pasti akan menjadi akhir yang sia-sia. Saat diri tersadar, ternyata semua sudah terlambat dan tak ada harapan untuk memperbaikinya.
Meraih Cinta dan Rida-Nya
Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang muslim untuk menjadikan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya. Sebuah cinta yang akan membawa jiwa dan raga hanya berpasrah kepada kehendak Allah Swt. Sebuah cinta yang mampu menyentuh kalbu sehingga dirinya patuh, tunduk, dan taat kepada seluruh aturan agama tanpa ada rasa ragu dalam dada. Cinta seperti itulah yang bisa membuat seorang hamba rela mengorbankan apa pun yang dimiliki, bahkan nyawanya, demi tegaknya aturan Islam yang mulia. Dia juga bersedia berjuang di garda terdepan ketika Islam dilecehkan dan dihina. Semuanya akan diberikan untuk agama-Nya tanpa berpikir lebih lama. Sebab dirinya telah yakin dengan balasan yang kelak akan diterimanya.
Cinta yang demikian tentu hanya bisa diraih ketika hati nurani telah terikat dengan segala perintah dan larangan-Nya. Bahwa segala aturan tersebut merupakan petunjuk di dalam kehidupannya. Dengan petunjuk itu pula seorang hamba nantinya mampu meraih cinta hakiki sekaligus rida dari Allah Swt. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Al-Baidhawi bahwa arti cinta Allah Swt. kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya adalah ampunan, rida, dan pahala.
Wallahua'lam bishawab. []
Bener Mba, kadang kita lupa bahwa Cinta pada Allah dan Rasulnya harus dinomorsatukan dari apapun...
Masyaallah ngomongin cinta pada Sang Pencipta rasanya diri ini masih banyak alpa. Jazakillah khoyron katsiron atas tulisan yang mencerahkan ini. Barokallahu fiik, Mbak
Image tulisan ini keren banget. Ditambah dengan isi tulisan yang sangat bagus untuk pengingat diri. Barakallah untuk penulis dan tim redaksi NP
Barakallah mbak Atien. Kadang cinta pada Allah sudah dikalahkan oleh cinta dunia. Semoga cinta kita semua adalah cinta hakiki kepada Allah Sang Pencipta, bukan cinta yang hanya terucap di bibir.
Cinta yang hakiki cinta yg sejati
Jazakunallah Khoir Mom dan Tim NP
Barakallah Mbak Atien...
Cinta hakiki, cinta Ilahi.. meraihnya adalah kebahagiaan sejati. Namun, cinta itu harus dibuktikan. Menaati perintah-Nya tanpa nanti, tanpa tetapi.
Aamiin. Betul mba. Semoga kita semua bisa menerapkan rasa cinta tersebut di tengah-tengah sistem rusak saat ini
Cinta ya,.....hm...berbicara tentang cinta, tidak ada habisnya. Benar apa yang ditulis oleh Mba Atien, bahwa cinta Allah itu berupa ampunan, rida dan pahala. Ketika kita sudah mendapatkan ketiganya, masyaAllah itu merupakan anugerah yang tak ternilai.
Iya mba. Semoga kita bisa meraih cinta-Nya
Seandainya seluruh manusia tahu arti mencintai Allah dan Rasul dan meninggikan cinta di atas apapun di dunia, niscaya mudah menerima Islam kaffah dan berserah diri, namun hanya sebagian saja, kecuali sistemnya khilafah.
Betul mba. Tanpa sistem Islam, cinta kita kepada aturan-Nya tak bisa terwujud. Semoga Islam segera tegak agar cinta kita sampai kepada Rida-Nya