Sehebat apa pun manusia, manusia tetaplah makhluk yang daif. Ilmu yang diberikan hanya sedikit. Oleh karenanya, banyak perkara yang tidak sanggup dijangkau oleh akal manusia, termasuk di dalamnya dalam memahami kebenaran dan kebatilan, serta halal dan haram.
Oleh. K.H. Rokhmat S. Labib, M.E.I.
NarasiPost.Com-تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar ia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS Al-Furqan [25]: 1).
Sehebat apa pun manusia, manusia tetaplah makhluk yang daif. Ilmu yang diberikan hanya sedikit (lihat QS Al-Isra’ [17]: 85). Oleh karenanya, banyak perkara yang tidak sanggup dijangkau oleh akal manusia, termasuk di dalamnya dalam memahami kebenaran dan kebatilan, serta halal dan haram.
Oleh karena itu, manusia membutuhkan petunjuk yang memberikan panduan tersebut. Tanpa perlu meminta, dengan kemurahan-Nya Allah Swt. menurunkan petunjuk itu kepada manusia. Dia mengutus para nabi dan rasul, serta menurunkan kitab-Nya. Nabi Muhammad saw. adalah salah satu di antaranya. Kepada beliau, diturunkan kitab Al-Qur’an. Inilah di antara perkara penting yang diberitakan ayat ini.
Al-Qur’an sebagai Pembeda
Allah Swt. berfirman:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya.”
Surah ini diawali dengan pujian Allah Swt. kepada diri-Nya dengan menyebut sebagai Zat yang memiliki sifat tabâraka. Ada beberapa penjelasan yang dikemukakan para mufasir tentang makna kata tersebut.
Menurut Asy-Syaukani dalam tafsirnya, kata tabâraka diambil dari kata al-barakah, yang berarti al-namâ wa al-ziyâdah (tumbuh dan tambah), baik dapat diindra maupun dipikirkan.
Sedangkan al-farra, sebagaimana dikutip Al-Qurthubi, mengatakan bahwa kata tabâraka dan taqaddasa dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama, yakni al-‘azhamah (kemuliaan, keagungan, kebesaran).
As-Samarqandi mengemukakan bahwa kata tabâraka merupakan kata dikhususkan. Tidak bisa dikatakan yatabâraku (dalam bentuk mudhâri’), seperti halnya tidak dikatakan yata’âlî. Tidak pula dikatakan mutabârik[un]. Menurutnya, kata tabâraka berarti dzû barakah, yang memiliki barakah. Sedangkan makna al-barakah adalah katsrat al-khayr (banyak kebaikan).
Dialah Allah Swt. yang telah menurunkan al-furqân kepada ábdihi (hamba-Nya). Yang dimaksud dengan al-furqân di sini adalah Al-Qur’an; dan ‘abdihi adalah Nabi Muhammad saw. Demikian kesimpulan sebagian besar para mufasir.
Kata al-furqân merupakan bentuk mashdar dari kata faraqa (memisahkan). Contoh penggunaan dalam kalimat adalah: Faraqa al-syaya min al-syay`i wa ‘anhu (dia memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain), ketika fashshalahu (telah memisahkannya). Demikian diterangkan al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’ânî.
Makna itu pula yang dapat dipahami dari kata al-furqân ayat ini. Menurut Asy-Syaukani, Al-Qur’an disebut sebagai al-furqân karena Al-Qur’an membedakan dan memisahkan antara yang hak dan yang batil dengan hukum-hukum-Nya, atau antara yang dikukuhkan dan dibatalkan.
Dikatakan Imam al-Qurthubi, penyebutan Al-Qur’an sebagai al-furqân karena dua aspek. Pertama, karena membedakan antara kebenaran dan kebatilan, mukmin dan kafir. Kedua, karena di dalamnya terdapat penjelasan tentang perkara yang disyariatkan, baik yang halal maupun yang haram.
Patut dicatat, dalam ayat ini, digunakan nazzala (menurunkan). Menurut Ibnu Katsir, kata tersebut ber-wazan fa’’ala dan memberikan makna al-tikrâr wa al-takatstsur (berulang-ulang dan banyak). Beberapa ayat sejalan ini adalah QS Al-Baqarah [2]: 23, An-Nisa’ [4]: 136, Ali Imran [3]: 3, dan lain-lain.
Pada faktanya, Al-Qur’an diturunkan secara bertahap dan terpisah-pisah, ayat demi ayat, hukum demi hukum, dan surah demi surah. Turunnya Al-Qur’an mengandung hikmah bagi orang yang diturunkan. Ini disebutkan Allah Swt. dalam firman-Nya:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
“Berkatalah orang-orang yang kafir, ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS Al-Furqan [25]: 32).
Penggunaan kata abdihi dalam ayat ini juga patut dicermati. Kata yang menunjuk kepada Rasulullah saw. tersebut mengandung sifat terpuji. Menurut Ibnu Katsir, kata ‘abdihi menyandarkan sifat ‘ubûdiyyah (penghambaan) beliau hanya kepada Allah Swt..
Makna pujian tersebut juga disebutkan dalam ayat-ayat lainnya. Sifat tersebut dilekatkan beliau ketika berada dalam keadaan paling mulia, yakni pada malam Isra` (lihat QS Al-Isra’ [17]: 1). Sifat tersebut juga digunakan dalam menyebut kedudukan beliau dalam dakwah yang dinyatakan dalam QS Jin [72]: 19.
Pemberi Peringatan bagi Seluruh Alam
Setelah diberitakan tentang diturunkannya Al-Qur’an kepada Rasulullah saw., kemudian Allah Swt. berfirman,
لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”
Artinya, dengan diturunkannya Al-Qur’an itu kepada Rasulullah saw. maka beliau menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam.
Kata mundzir merupakan bentuk fâ’il (pelaku) dari kata al-indzâr. Kata al-indzâr berarti ikhbâr fîhi takhwîf (pemberitahuan yang didalamnya terdapat sesuatu yang menakutkan). Kebalikannya adalah al-tabsyîr, kabar yang menggembirakan. Demikian diterangkan al-Alusi.
Mengenai tugas Rasulullah saw. menjadi pemberi peringatan dengan Al-Qur’an juga diterangkan dalam firman Allah Swt.,
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
“Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya).” (QS Al-An’am [6]: 19).
Sebenarnya, di dalam Al-Qur’an bukan hanya berisi nadzîr (pemberi peringatan), namun juga basyîr (pemberi kabar gembira). Meskipun demikian, dalam ayat ini hanya disebutkan sebagai nadzîr. Menurut al-Alusi, karena di dalam surat ini memuat berita tentang orang–orang yang menjadi penentang Allah dan menjadikan anak dan sekutu bagi-Nya.
Ditegaskan ayat ini, Rasulullah saw. merupakan pemberi peringatan bagi al-‘âlamîn. Menurut Fakhruddin al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghayb, kata al-‘âlam adalah semua selain Allah dan mencakup seluruh mukalaf, baik dari kalangan jin, manusia, maupun malaikat. Akan tetapi, Rasulullah saw. bukanlah rasul untuk malaikat. Berarti, Nabi Muhammad saw. adalah rasul untuk seluruh jin dan manusia.
Kesimpulan yang sama juga dikatakan oleh para mufasir, seperti Ibnu Katsir, As-Samarqandi, Al-Jazairi, dan lain-lain. Imam al-Qurthubi juga mengatakan bahwa beliau adalah rasul untuk kedua makhluk tersebut, pemberi peringatan kepadanya, dan khâtam al-nabiyyîn, penutup para nabi.
Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa Rasulullah saw. dan risalah yang dibawanya ditujukan untuk seluruh manusia. Bukan hanya untuk kaumnya saja, atau hanya untuk sebagian manusia tertentu saja. Hal ini juga ditegaskan dalam beberapa ayat lain, seperti firman Allah Swt.,
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS Al-A’raf [7]: 158).
Juga firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya.” (QS Saba [34]: 28).
Dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda,
بُعِثْتُ إِلَى الأَحْمَرِ وَالأَسْوَدِ
“Dan aku diutus untuk manusia berkulit merah dan berkulit hitam.” (HR Ahmad dari Jabir bin Abdillah).
Khatimah
Demikianlah, manusia membutuhkan petunjuk yang membedakan antara yang hak dan batil, yang halal dan yang haram, yang mengantarkan kepada surga atau neraka, dan Allah Swt. telah menurunkan kitab yang menjadi petunjuk itu. Itulah Al-Qur’an.
Dengan demikian, siapa pun yang mengimani dan mempraktikkannya dalam kehidupan, niscaya hidupnya akan lurus dan berada dalam kebenaran. Kebahagiaan pun akan didapat di dunia dan akhirat.
Sebaliknya, siapa pun yang mengingkari, mengabaikan, dan menolak untuk mempraktikkannya, hidupnya akan diliputi dengan kesesatan dan berujung dengan kesengsaraan di dunia akhirat.
Oleh karena itu, sungguh aneh jika ada yang mengaku beriman kepada Al-Qur’an, tetapi menolak syariat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ironisnya lagi, mereka lebih memilih konsep dan pemikiran dari John Locke, Adam Smith, Karl Marx, dan semacamnya. Padahal, tokoh panutan mereka itu adalah orang-orang kafir yang dicela oleh banyak ayat dan diancam dengan neraka Jahanam.
Lantas atas dasar apa kita mau mengikuti langkah mereka dan membebek pemikiran dan ideologi mereka? Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. Wallahualam.
Sumber: https://muslimahnews.net/2022/01/25/1016/[]