Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan Allah SWT) (TQS ar-Rum [30]: 41).
NarasiPost.com - Ragam bencana menerpa sebagian wilayah negeri awal tahun 2021 ini. Pada Sabtu (9/1) terjadi bencana longsor di Sumedang. Akibatnya, 38 orang meninggal, 29 rumah rusak dan ribuan orang mengungsi.
Pada Rabu (13/1), bencana banjir terjadi di Kalimantan Selatan. Menurut LAPAN, sebanyak 13 kabupaten/kota terdampak. Akibatnya, 15 orang meninggal dan sekitar 112.709 orang mengungsi.
Selain di Kalsel, pada Sabtu (16/1), banjir dan longsor terjadi di Manado, Sulawesi Utara. Banjir juga terjadi di Kabupaten Lamongan dan Sidoarjo, Jawa Timur, Kabupaten Pidie, Aceh, hingga Kota Cirebon, Jawa Barat. Paling akhir, Selasa (19/1), banjir terjadi di kawasan Puncak Bogor.
Selain banjir, juga terjadi gempa bumi di Mamuju dan Majene pada Kamis (14/1). Akibatnya, 88 orang meninggal per Selasa (19/1) berdasarkan pencatatan Basarnas Makassar. Selain itu, menurut data BNPB, hingga Senin (18/1) sebanyak 253 orang mengalami luka berat, 679 orang luka ringan dan sebanyak 19.435 orang mengungsi (Cnnindonesia.com, 19/1/2021).
Bencana lain adalah gunung meletus. Gunung Semeru di Jawa Timur mengeluarkan Awan Panas Guguran (APG) dengan jarak luncur kurang lebih 4,5 kilometer pada Sabtu (16/1) pukul 17.24 WIB. Pada Senin (18/1), Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan DIY juga kembali mengeluarkan awan panas guguran.
Ridha dan Sabar
Berbagai bencana atau musibah tentu merupakan ketetapan atau qadha’ Allah SWT (QS at-Taubah [9]: 51). Tak mungkin ditolak atau dicegah. Sebagai ketetapan (qadha’)-Nya, musibah itu harus dilakoni dengan lapang dada, ridha, tawakal dan istirja’ (mengembalikan semuanya kepada Allah SWT) serta sabar (QS al-Baqarah [2]: 155-157).
Orang berakal akan menjadikan sikap sabar sebagai pilihan dalam menyikapi bencana/musibah. Ia meyakini bahwa sebagai manusia ia tak mampu menolak qadha’ Allah SWT. Karena itu ia wajib menerima qadha’ dan takdir Allah SWT (Lihat: Al-Jazairi, Mawsu’ah al-Akhlaq, 1/137).
Apalagi musibah yang menimpa itu bisa menjadi penghapus dosa-dosa. Rasul saw. bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah (bencana) berupa kesulitan, rasa sakit, kesedihan, kegalauan, kesusahan hingga tertusuk duri kecuali Allah pasti menghapus sebagian dosa-dosanya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tentu dosa-dosa terhapus dari orang yang tertimpa musibah jika ia menyikapi musibah itu dengan keridhaan dan kesabaran (Lihat: Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, 1/272; As-Samarqandi, Tanbih al-Ghafilin, 1/255).
Manusia Itu Lemah
Aneka bencana yang terjadi menunjukkan betapa lemahnya manusia. Betapa manusia membutuhkan pertolongan Allah SWT. Betapa tidak layak manusia bersikap membangkang terhadap ketentuan-Nya, bermaksiat serta berani mencampakkan petunjuk dan aturan-Nya. Allah SWT berfirman:
﴿أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (١٦) أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17)﴾
Apakah kalian merasa aman terhadap (hukuman) Allah yang (berkuasa) di langit saat Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? Ataukah kalian merasa aman terhadap (azab) Allah yang (berkuasa) di langit saat Dia mengirimkan angin disertai debu dan kerikil? Kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku (TQS al-Mulk [67]: 16-17).
Imam al-Baghawi dalam tafsirnya, Ma’âlim at-Tanzîl, menjelaskan bahwa Ibn Abbas ra. berkata: “Apakah kamu merasa aman dari yang ada di langit, yakni dari azab Allah Yang ada di langit, saat kalian bermaksiat kepada-Nya. Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga bumi berguncang.”
Mengambil Pelajaran
Kesabaran menghadapi musibah harus disertai perenungan untuk menarik pelajaran guna membangun sikap, tindakan dan aksi ke depan demi membangun kehidupan yang lebih baik. Termasuk untuk mengurangi potensi terjadinya bencana dan meminimalkan atau meringankan dampaknya.
Dalam semua bencana, ada dua hal yang mesti direnungkan. Pertama, penyebabnya. Kedua, penanganan dan pengelolaan dampak bencana, termasuk rehabilitasi.
Terkait penyebab bencana, Allah SWT menyatakan bahwa musibah, termasuk bencana alam, memang terjadi sesuai dengan kehendak dan ketentuan-Nya sebagai qadha’-Nya (QS at-Taubah [9]: 51).
Namun demikian, Allah SWT juga memperingatkan, banyak musibah yang terjadi yang melibatkan peran manusia. Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ﴾
Musibah apa saja yang menimpa kalian itu adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dosa-dosa kalian) (TQS asy-Syura [42]: 30).
Hal itu terlihat dengan jelas dalam kasus musibah banjir. Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat faktor: curah hujan; air limpahan dari wilayah sekitar; air yang diserap tanah dan ditampung oleh penampung air; dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar.
Dari semua itu, hanya curah hujan yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Tiga faktor lainnya sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia, termasuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Karena itu dalam bencana banjir, tidaklah bijak jika malah menjadikan curah hujan sebagai kambing hitam.
Curah hujan hanya satu dari empat faktor. Tiga faktor lainnya sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan. Degradasi lingkungan, di hulu dan hilir, juga di Daerah Aliran Sungai (DAS) berpengaruh besar atas terjadinya bencana banjir dan memperbesar skala dampaknya.
Persoalan tutupan lahan hingga semakin berkurangnya efektivitas DAS juga menjadi faktor lain yang memperburuk musibah banjir. Akibatnya, ketika memasuki musim hujan, banjir tidak bisa dihindari.
Menurut analis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tutupan lahan berupa hutan telah hilang di wilayah Kalsel. Akibatnya, ketika hujan deras mengguyur wilayah Kalimantan Selatan selama 10 hari berturut-turut, DAS Barito tidak mampu lagi menampung air hujan sehingga meluap dan menyebabkan terjadinya banjir bandang. Secara keseluruhan, jumlah lahan yang menyusut di wilayah tersebut mencapai 322 ribu hektar. Di lain sisi, perluasan area perkebunan terjadi cukup signifikan yaitu seluas 219 ribu hektar (Asiatoday.id, 18/1/2021).
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini. Menurut dia, Kalsel berada dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Sebabnya, dari total wilayah seluas 3,7 juta hektar di Kalsel, sebanyak 50 persennya sudah dialihfungsikan menjadi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Kisworo menjelaskan, tata kelola lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di Kalsel sudah cukup rusak dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan yang tidak memadai. Hal ini didukung data laporan 2020 yang mencatat, terdapat 814 lubang tambang di Provinsi Kalsel milik 157 perusahaan batubara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi (Lokadata.id, 19/1/2021).
Semua itu patut diduga terjadi karena adanya kolusi antara penguasa dan kekuatan oligarkhi. Dengan pembuatan UU baru seperti UU Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja, semua itu akan terus berlangsung, bahkan bisa makin parah.
Semua itu berpangkal pada pengadopsian sistem kapitalisme yang berlandaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Berbagai praktik yang menyebabkan degradasi ekologi itu sendiri merupakan kemaksiatan. Pangkal kemaksiatan tersebut adalah penerapan sistem kapitalisme yang berpangkal pada sekularisme.
Semua kemaksiatan itu mengakibatkan fasad (kerusakan) di muka bumi. Di antaranya berupa bencana alam dan dampaknya. Semua ini baru sebagian akibat yang Allah SWT timpakan karena berbagai kemaksiatan yang terjadi di tengah manusia. Tujuannya agar manusia segera sadar dan kembali pada syariah-Nya. Allah SWT berfirman:
﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾
Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan Allah SWT) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Karena itu, kunci untuk mengakhiri segala musibah tidak lain dengan mencampakkan akar penyebabnya, yakni ideologi dan sistem sekularisme-kapitalisme. Berikutnya, terapkan ideologi dan sistem yang telah Allah SWT turunkan. Itulah ideologi dan sistem Islam. Dengan kata lain, terapkan syariah Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Termasuk dalam pengelolaan lahan/tanah, sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Hikmah:
Rasul saw. bersabda:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Syuhada itu ada lima: orang yang mati karena tha’un, orang yang mati karena penyakit perut/diare, orang yang mati tenggelam, orang yang mati tertimpa reruntuhan dan yang meninggal di jalan Allah ‘Azza wa Jalla.
(HR Muslim). []
Sumber: BULETIN DAKWAH KAFFAH - EDISI 177
08 Jumada al-Akhirah 1442 H-22 Januari 2021 M