Politisasi Agama dalam Pilkada

Harus diakui, bahwa di sistem kapitalisme sesuatu yang sekalipun itu buruk, tetap akan dipelihara karena memang membawa keuntungan bagi pihak tertentu. Begitupun halnya dengan politisasi agama.


Oleh: Aina Syahidah

NarasiPost.Com-Demi mendulang banyak suara, sederet elit politik berlombah mencari dukungan dengan menempuh berbagai cara. Tak ketinggalan isu agama pun dijadikan alat untuk memikat hati dan simpati warga. Alhasil, Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) banyak diwarnai dengan berbagai isu agama.

Meski fenomena ini bukan hal baru. Tetapi tetap saja menghebohkan. Menurut pakar, isu ini subur karena memang ada supply dan demand. Selain politisasi agama, adapula politik uang yang juga turut serta meramaikan jalannya pesta demokrasi di manapun berada. Bahkan di kancah dunia internasional sekalipun seperti kampanye Biden yang sarat sentimen agama. Biden tak sungkan mengutip hadist Nabi SAW dan berbagai janji manis kepada penduduk muslim AS.

Di tanah air sendiri, sebagaimana diketahui, Pilkada tahun ini ramai dengan isu/sentimen agama. Sampai-sampai TGB Muhammad Zainal Majdi, angkat bicara. Pihaknya mengingatkan, isu/sentimen agama dalam memenangkan suatu kelompok partai, berbahaya (m.republika.co.id, 19/11/2020).

Ya, karena dewasa ini perpolitikan kita tidaklah mengadopsi nilai-nilai mulia agama ini. Menurutnya, politisasi agama bisa baik kalau nilai-nilai mulia agama menjadi prinsip dalam berpolitik. Hanya saja kondisinya kan memang tidak demikian.
Sehingga tentu akan berbahaya, para elit menggaet suara rakyat dengan isu agama, sementara kelak, regulasi yang tercipta kering dari nilai-nilai syariah. Bahkan kental dengan aroma sekuler kapitalis. Kondisi ini bila berlarut-larut akan berdampak pada rendahnya tingkat kepercayaan publik kepada para wakilnya di parlemen.

Harus diakui, bahwa di sistem kapitalisme sesuatu yang sekalipun itu buruk, tetap akan dipelihara karena memang membawa keuntungan bagi pihak tertentu. Begitupun halnya dengan politisasi agama. Walaupun menurut para tokoh ini berbahaya. Tetapi tetap saja digunakan sebagai alat untuk mendulang simpati di saat ajang-ajang bergengsi pesta Demokrasi.
Hal ini secara tidak langsung menginformasikan, bahwa kondisi demikian memang mendapat dukungan atau legal di dalam sistem. Belum lagi, kemenangan politik di dalam sistem demokrasi ditentukan oleh perolehan suara saat pemilu. Sehingga setiap petarung politik tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk berburu simpati dari pemilih.

syu’ur Islam dan kerinduan umat untuk diatur sesuai dengan hukum agama mulai terlihat.

Meski begitu, rakyat tentu tidak boleh terlena. Pasalnya, apa yang digembar-gemborkan para elit bukanlah menggambarkan kesungguhan hatinya. Mereka hanya sebatas melakukan tugasnya untuk meraih simpati rakyat. Toh juga janji kampanye bukanlah sesuatu yang harus ditunaikan. Tidak akan ditagih dan diadili bila tidak terealisasi. Buktinya belum lama ini, RUU Minol yang katanya sarat dengan aroma syariah ditolak. Padahal, ketika kampanye isu agama santer diangkat. Inilah wujud inkosistensi sistem saat ini.
Olehnya itu, rakyat tentu harus bijak menyikapi situasi ini. Sampai kapanpun juga, Islam dan sekuler tidak akan mungkin bisa disatukan. Sistem demokrasi yang hari ini membimbing jalannya perpolitikan, tidak akan mengizinkan aturan

Lantas, Bagaimana Posisi Agama dan Politik Sebenarnya?

Islam mengajarkan, agama haruslah membimbing dan membersamai jalannya perpolitikan negeri. Artinya, roda kepemimpinan politik suatu negara harus dibangun atas dasar prinsip-prinsip beragama, yakni Islam itu sendiri. Karena syariah Islam itu paripurna. Tidak semata urusan pribadi yang diaturnya, melainkan pula urusan dalam bernegara. Dan di dalam Islam, tujuan kepemimpinan ialah untuk mengurusi urusan umat dengan aturan berdasarkan pada Islam itu sendiri. Bukan aturan atau hukum selainnya.
Para penguasa di dalam Islam juga kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Agar selamat, maka mereka tentu harus meninggikan prinsip-prinsip berpolitik yang telah Islam gariskan. Dimana tidak ada pemisahan agama dari urusan politik. Kedua saling berjalan beriringan. Berbeda dengan sistem Demokrasi yang hanya menjadikan agama sebagai alat untuk mendongkrak suara. Setelah itu diabaikan. Wallahu’alam[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Aina Syahidah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Menyongsong Harapan Baru
Next
UMKM Digenjot demi Perbaikan Ekonomi, Mampukah?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram