Banyaknya kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini, menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah serta mempertanyakan mekanisme penerapan sisem kenegaraan.
Oleh : Emmy Emmalya ( Pemerhati Kebijakan Publik )
NarasiPost.Com-Belum selesai kasus korupsi benih lobster sudah muncul lagi korupsi di kementriaan sosial, ironisnya yang menjadi aktor utamanya menteri sosial sendiri. Seperti di beritakan oleh kompas, tanggal 6/12/20, Menteri Sosial Juliari P Batubara (JPB) ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang atau jasa terkait bantuan sosial.
Korupsi tersebut berkaitan dengan pengadaan bantuan sosial untuk penanganan covid-19. Bantuan itu berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 yang memiliki nilai sekitar Rp5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dalam dua periode.
“ada lima orang tersangka yang ditetapkan KPK. Sebagai penerima JPB, MJS dan AW. Kemudian sebagai pemberi AIM dan HS,” kata Ketua KPK Firli Bahuri saat konferensi pers, Minggu (6/12/2012).
AW dan MJS dikabarkan merupakan pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial. Sementara HS dan AIM merupakan pihak swasta.
Tega- teganya mereka mengambil dana sosial Covid-19 di saat masyarakat mengalami beban hidup yang semakin meningkat dan kesenjangan ekonomi yang semakin menganga, menteri sosial malah tidak punya hati nurani merampok dana sosial.
Banyaknya kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini, menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah. Dan mulai banyak yang mempertanyakan bagaimana mekanisme penerapan sistem kenegaraan saat ini.
Apalagi korupsi terbukti sudah memapar seluruh sisi penyelenggaraan negara di berbagai levelnya. Beberapa analis menyebut bahwa, pertama, biaya politik yang mesti dikeluarkan dalam sistem kepartaian di Indonesia meniscayakan adanya korupsi berjamaah mudah terjadi.
Akibatnya, parpol dan individu yang maju ke kontestasi harus berpikir keras untuk mencari dan menutup modal dengan berbagai cara. Dan yang paling mudah adalah bekerjasama dengan para pengusaha dan pejabat negara dalam hubungan simbiosis mutualisme.
Kedua, sistem pengawasan dan sistem hukum yang lemah membuat praktik korupsi dianggap sebagai kewajaran. Kalau kita menelisik akar masalah maraknya korupsi di negeri ini, ternyata disebabkan oleh salahnya para pemimpin negeri ini dalam mengambil arah sistem kehidupan.
Indonesia mengadopsi sistem demokrasi sebagai acuan bernegara, padahal demokrasi merupakan sistem sekuler yang memisahkan kehidupan agama dari politik. Sehingga penerapan sistem demokrasi meniscayakan jauhnya para pemangku kekuasaan dari nilai-nilai beragama.
Berpijak dari paparan di atas, nampak bahwa korupsi sudah seperti borok yang tidak bisa disembuhkan. Korupsi adalah dampak ikutan dari sebab diterapkannya sistem aturan yang rusak. Di pihak lain, sekularisme yang menjadi landasan demokrasi juga tak bisa lepas dari paham kebebasan dan serba boleh serta sikap individualis.
Berbeda dengan Islam yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan karena setiap sisi kehidupan, seorang muslim harus selalu terikat dengan hukum-hukum Allah Swt. Bahkan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.
Dalam sistem Islam, keimanan kepada Allah Swt, menjadi landasan utama dalam menjalani kehidupan, baik dalam kehidupan individu, masyarakat maupun bernegara.
Untuk menjaga agar keimanan setiap pejabat negara, maka Islam menjadikan negara berfungsi sebagai penjaga mereka dari segala bentuk kerusakan dan kezaliman. Sistem ekonomi Islam akan menjamin kesejahteraan paran pejabat negara dengan cara-cara yang halal. Yakni, dengan membuat sistem penggajian yang memadai sehingga bisa menutup celah-celah korupsi.
Dalam Islam suasana amar ma’ruf nahi munkar akan terus terjadi sehingga segala bentuk kecurangan bisa tercegah dari awal. Selain itu Islam juga membuat mekanisme sanksi yang berat bagi pelaku korupsi sehingga memberi efek jera pada pelakunya.
Hal ini tercermin dari sikap tegas penguasa, termasuk pada keluarganya sendiri.
Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saw. Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra.,
“Rasulullah saw. berkhotbah :
"Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan, namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah, maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’.”
(HR Bukhari dan Muslim).
Begitu juga ditunjukkan oleh para khalifah sesudah Beliau saw. Salah satunya Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menyita tanah-tanah yang dikuasai oleh Bani Umayyah secara tidak sah dan hasil sitaannya itu dikembalikan pada yang berhak atau ke baitulmal untuk dikelola demi kemaslahatan rakyat.
Oleh karena itu , selama demokrasi masih diterapkan maka kasus korupsi dan penyimpangan lain tak mungkin bisa di minimalisir apalagi dihapuskan. Kerusakan demokrasi termasuk korupsi di dalamnya tidak mungkin hilang jika masih tetap menerapkan sistem demokrasi. Maka sudah saatnya untuk kembali kepada Islam kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah. Waallahu’alam bishowab.[]