Kita tak bisa berharap banyak dari solusi apapun yang ditawarkan selama demokrasi yang menjadi habitatnya. Karena korupsi dan demokrasi seperti dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan.
Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I
NarasiPost.Com-Korupsi akut sudah merasuki pejabat negeri ini. Bahkan uang bantuan untuk rakyat di saat pandemi ini pun menjadi sasaran empuk. Tega dan rakus, luntur rasa kemanusiaannya. Korupsi menjadi konsekuensi akan mahalnya ongkos kekuasaan di alam demokrasi.
Kembali Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan terciduknya Menteri Sosial Juliari Peter Batubara (JPB) dan empat orang lainnya oleh KPK sebagai tersangka korupsi bantuan sosial penanganan virus corona
(covid-19). (CNN, 6/12)
Pemberantasan korupsi di negeri ini seakan cuma isapan jempol. Pasalnya berbagai cara telah dilakukan bahkan lembaga khusus telah dibentuk tapi tindak korupsi malah makin menggila. Hal ini wajar karena demokrasi meniscayakan mahalnya ongkos kekuasaan.
Para pejabat yang berkuasa ini dahulunya disokong pendanaannya oleh para kapitalis untuk meraih kursi kekuasaan. Sehingga ketika mereka telah menjabat, ada kompensasi yang harus dibayar. Gaji pejabat mustahil bisa melunasinya. Sehingga korupsi uang dan kebijakan menjadi jalan yang mereka tempuh demi balas budi.
Kita tak bisa berharap banyak dari solusi apapun yang ditawarkan selama demokrasi yang menjadi habitatnya. Karena korupsi dan demokrasi seperti dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan.
Saatnya masyarakat beralih pada sistem yang manusiawi dan antikorupsi. Islam dengan sistem Khilafah-nya dengan ketegasan aturan dan hukumnya layak menjadi solusi bagi pemberantasan korupsi hingga akarnya. Bahkan berani menghukum mati para koruptor. Adakah hukuman yang bisa membuat jera lebih dari hukuman ini?[]