Potret suram tersebut pun seakan menjadi lumrah yang harus ditanggung oleh mereka yang berstatus guru bukan PNS. Minimnya kesejahteraan yang mereka dapatkan, tak sedikit dari mereka yang berstatus sebagai guru non PNS mencari pekerjaan tambahan untuk menyambung hidup
Oleh: Fitri Suryani, S. Pd.
Terima kasihku ku ucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti
Setiap hariku dibimbingnya
Agar tumbuhlah bakatku
Kan ku ingat selalu nasihat guruku
Trima kasihku ucapkan
NarasiPost.Com-Itulah bait lagu terkait guru yang sarat akan makna. Mengingat pengorbanan mereka yang begitu banyak dilakukan dalam mendidik anak bangsa dengan harapan anak didik mereka akan mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, dibalik pengorbanan yang mereka lakukan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa, tidak sedikit kisah pilu yang harus mereka rasakan. Dalam hal ini terkait masih minimnya honor yang mereka dapatkan. Khususnya bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru non PNS. Padahal tugas yang mereka jalankan sama saja dengan guru PNS, tapi sayang dari segi gaji tidak sama, bahkan cenderung memiliki perbedaan yang jauh.
Padahal pada tanggal 25 November tiap tahunnya senantiasa diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Hari itu pun diperingati sebagai bentuk untuk mengapresiasi, mendukung, serta mendorong kualitas guru di negeri ini. Dengan cara tersebut diharapkan kualitas pendidikan akan lebih baik lagi ke depannya.
Adapun terkait kesejahteraan guru honorer yang masih belum memadai, hal itu pun disadari oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang mengaku prihatin melihat minimnya kesejahteraan guru honorer. Guru honorer di sekolah negeri hanya mendapatkan gaji dari dana BOS sebesar Rp 150 ribu per bulan. Itu pun dibayar per triwulan (Jpnn.com, 10/02/2020).
Seperti kisah pilu Atik Dyat Prastuti, satu di antara pengajar SDN 02 Cawet Pemalang, selama 17 tahun ia mengajar, Atik belum merasakan perubahan pada nasibnya. Janji pemerintah untuk memperbaiki nasib pengajar, menurutnya juga tak terealisasikan hingga sekarang.
Dikatakan Atik, belasan tahun mengajar ia hanya menerima gaji Rp 200 ribu setiap bulan, dan baru tahun ini dapat tambahan Rp 500 ribu. Ia pun mengatakan bahwa dengan gaji kecil, mereka dituntut memberikan ilmu secara optimal. Padahal sebenarnya mereka juga butuh kehidupan layak, namun semangat untuk menuntut jaminan masa depan mereka sudah padam. Karena hanya janji yang diberikan (Tribunnews.com, 04/09/2020).
Dari secuil fakta di atas, tentu tidak sedikit cerita duka menjadi seorang tenaga pendidik di masa kini, apalagi yang masih bersatus sebagai guru bukan PNS. Perjuangan mereka seolah tak sebanding dengan apa yang menjadi hak yang seharusnya mereka dapatkan. Di satu sisi mereka bertugas mendidik dan mencerdaskan anak bangsa dan di sisi lain mereka juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena minimnya kesejahteraan yang mereka dapatkan, tak sedikit dari mereka yang berstatus sebagai guru non PNS mencari pekerjaan tambahan untuk menyambung hidup. Sebab, jika hanya mengharapkan gaji dari mengajar, dapat dipastikan tidak akan mampu menutupi kebutuhan hidup. Apalagi di tengah kehidupan saat ini, di mana semua harga kebutuhan pokok semakin meroket.
Sementara jika menengok tugas dan amanah yang mereka laksanakan, pada hakikatnya tak jauh berbeda dengan mereka yang berstatus sebagai guru PNS. Namun sayangnya, dari sisi kesejahteraan sangat jauh berbeda. Miris!
Potret suram tersebut pun seakan menjadi lumrah yang harus ditanggung oleh mereka yang berstatus guru bukan PNS. Karena hal itu telah berlangsung lama dan hingga kini belum mendapat titik terang yang dapat membuat guru honorer tersebut sejahtera.
Lain halnya dalam Islam yang mana pendidikan merupakan perkara yang tak kalah penting dengan perkara yang lainnya. Salah satunya yang berkaitan dengan para pendidik. Dimana diharapakan mampu mencetak generasi yang tak hanya cerdas dari sisi IPTEK, namun juga keterikatan kepada-Nya. Tentu untuk mewujudkan hal itu perlu adanya dukungan dari pihak berwenang. Salah satunya yang berkaitan dengan kesejahteraan para pengajar.
Sebagaimana pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing-masing sebesar 15 dinar, di mana satu dinar pada saat itu sama dengan 4,25 gram emas. Jika satu gram emas Rp. 500.000 saja dalam satu dinar berarti setara dengan Rp 2.125.000,00. Dengan kata lain, gaji seorang guru mengaji adalah 15 dinar dikali Rp 2.125.000, yaitu sebesar Rp 31.875.000.
Oleh karena itu, tidak mudah mengubah nasib para guru honorer menjadi lebih baik, jika kesejahteraan mereka masih minim perhatian dari pihak berwenang. Sementara Islam menjadikan pendidikan sebagai pilar peradaban mulia dan menempatkan para guru sebagai salah satu arsiteknya. Hal itu nampak dari perhatian sistem Islam terhadap pendidikan dan jaminan kesejahteraan para guru. Wallahu a’lam.[]