"Jangan terjebak wahai Saudaraku terhadap makar orang-orang zalim yang ingin melanggengkan kezalimannya. Ulama melindungi umat, dan Allah melindungi ulama lewat tangan-tangan orang yang hanif dari arah yang tidak disangka-sangka. Jelas sudah, umat butuh ulama! Janganlah kita termasuk orang-orang yang suka mencibir ulama sebab daging ulama itu beracun."
Oleh. Alga Biru
NarasiPost.Com-Ketika di tengah-tengah kita muncul persoalan baru, problematika sosial, keagamaan bahkan polemik individual, kepada siapa kita meminta nasihat? Pertama dan utama, biasanya kita akan pergi ke orang tua atau keluarga dekat. Namun, jika dirasa kurang mampu, apalagi jika persoalannya pelik dan butuh ilmu, maka sudah pasti kita akan pergi kepada para ulama. Kita akan meminta nasihat dan saran ulama, karena kita tahu sepak terjang mereka yang memiliki sifat adil dan pertimbangan spiritual, yang lebih jelas halal dan harammnya. Contoh kecil saja, saat kita memilih makanan dan kosmetik yang halal. Cara paling gampang mempertimbangkan kehalalannya yakni dengan mengecek label halal yang dikeluarkan resmi oleh lembaga ulama (MUI). Kita yakin lembaga yang dinaungi ulama tersebut punya spirit keumatan dan keagamaan, yang mana itulah ikhtiar kita agar terjauh dari perkara yang haram maupun syubhat.
Ulama bukan hanya lembaga yang mengeluarkan label, lebih dari itu, ada harapan besar umat bahwa lembaga ulama tersebut jadi kelompok terdepan yang mempertahankan nilai-nilai Islam. Tidak peduli, apakah itu nilai-nilai yang sudah diketahui bersama seperti akhlak dan moral, tetapi lebih jauhnya lagi menghalangi umat dari kesyirikan, sekularisme, pluralisme, liberalisme dan lainnya. Bahkan tidak bisa tidak, lembaga ulama hendaknya diisi orang-orang yang jujur dan keteladanan dalam ucapannya. Mengatakan hak itu hak, batil itu batil. Meskipun banyak orang membenci dan melawan arus propaganda, kebenaran Islam tetap harus disampaikan. Ide khilafah dan jihad terus mengalami penyusutan makna dan dimonsterisasi. Padahal perintah jihad fii sabilillah termuat jelas di dalam Al-Qur’an dan terpampang nyata di sepanjang sejarah kerasulan dan para khalifah. Begitu juga para penerus beliau (khalifah) yang melanjutkan estafet kejayaan Islam dari masa ke masa terlepas dari beragam corak dan gaya kepemimpinannya.
Para ulama kurang terdengar gaungnya jika mereka bergerak sendiri-sendiri. Mutiara umat ini perlu bahu membahu dalam beragam jalur dan sektor. Hadirnya MUI dari masa ke masa telah menorehkan kenangan dan kebanggaan umat. Lalu, bagaimana bisa muncul suara-suara sumbang yang mengkriminalisasi ulama dan lembaganya? Bukankah itu semacam kebencian terselubung terhadap kebajikan dan ulama itu sendiri?
Jangan terjebak wahai Saudaraku terhadap makar orang-orang zalim yang ingin melanggengkan kezalimannya. Ulama melindungi umat, dan Allah melindungi ulama lewat tangan-tangan orang yang hanif dari arah yang tidak disangka-sangka. Jelas sudah, umat butuh ulama! Janganlah kita termasuk orang-orang yang suka mencibir ulama sebab daging ulama itu beracun. Lantas berhati-hatilah kita kepada ucapan yang kelak kita sesali. Jangan pula kita mencibir syariat Islam. Sebab syariat itu tidak datang dari hawa nafsu, melainkan wahyu dari Rabb yang Mahatinggi. Terlepas apakah itu syariat yang kita ketahui maupun tidak, syariat yang kita senangi maupun tidak kita kenali hikmahnya.
Sesungguhnya orang-orang beriman itu memiliki hati bersih, berserah dan terikat, yakni kecenderungan pada sikap sami’na wa ato’na ketika diserukan syariat padanya.“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum di antara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. An Nuur: 51]
Termaktub pula suatu kaidah fiqhiyyah yang berbunyi : “Islam tidak memerintahkan sesuatu, kecuali mengandung kebaikan sepenuhnya, atau kebaikannya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu, kecuali mengandung keburukan sepenuhnya, atau keburukannya lebih dominan.”
Bukankah ini bermakna Allah Subhanahu wata’ala ingin menyelamatkan kita dari bencana kehidupan dunia maupun akhirat? Masya Allah, merekalah hamba-hamba Allah yang beruntung. Wallahu’alam. []