"Sistem saat ini menjadikan anak selalu menghitung setiap materi yang ia keluarkan untuk merawat orang tuanya. Sistem kapitalisme telah menghilangkan naluri kasih sayang dan menggantinya dengan untung rugi dalam setiap perbuatan, termasuk merawat orang tua."
Oleh. Ummu Syaakir
NarasiPost.Com-Air susu dibalas air tuba. Tampaknya peribahasa ini sedang dialami oleh seorang perempuan lanjut usia asal Magelang, Jawa Tengah yang bernama Trimah. Ia harus menerima kenyataan bahwa anak-anaknya tidak lagi menginginkannya. Ia dititipkan di sebuah panti jompo di Kecamatan Wajak, Malang, Jawa Timur sejak akhir Oktober lalu. Semula ia diajak jalan-jalan. Namun, ternyata ia diajak ke sebuah panti jompo dan ditinggalkan di sana. Anaknya pun sempat mengatakan agar ia sabar dan tabah. Meskipun kecewa, ia tetap mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya. Namun, ia mengaku sudah tidak mau jika dijemput oleh anak-anaknya. (Kompas.com, 1/11/21)
Tak hanya Trimah, ada dua orang lainnya yang juga memiliki nasib sama. Bagai kehilangan naluri kasih sayang, sistem saat ini telah melahirkan anak-anak yang durhaka. Kesulitan ekonomi yang dibentuk oleh sistem kapitalisme semakin menjadi alasan klise bagi anak-anak yang merasa terbebani, jika harus mengurus orang tua. Kapitalisme juga telah menanamkan mindset bahwa orang lanjut usia adalah sumber beban negara. Ia tidak lagi produktif dan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Sebaliknya ia hanya menjadi beban bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Sistem ini telah berhasil membentuk manusia apatis dan egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Menyibukkan diri dengan bekerja, namun kehilangan naluri kasih sayang terhadap orang tua yang telah melahirkannya. Tidak sedikit pula kasus buang bayi atau anak karena alasan ekonomi.
Inilah fenomena gunung es yang akan terus terjadi selama sistem kapitalisme masih diterapkan. Menuntaskan kasus anak durhaka semacam ini membutuhkan solusi tersistem. Sebuah sistem yang memerintahkan setiap anak untuk berbakti kepada kedua orang tua adalah sistem Islam. Terlebih kepada seorang ibu. Islam begitu memuliakan kedudukan seorang ibu. Bahkan Rasulullah saw menyebutkan hendaknya setiap anak menghormati ibunya sebanyak tiga kali, baru kemudian menyebutkan ayah. Ini menandakan betapa mulianya jasa seorang ibu terhadap anak-anaknya. Tiada balasan materi yang mampu menggantikan jasa seorang ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan menyusui anaknya. Sedangkan, sistem saat ini menjadikan anak selalu menghitung setiap materi yang ia keluarkan untuk merawat orang tuanya. Sistem kapitalisme telah menghilangkan naluri kasih sayang dan menggantinya dengan untung rugi dalam setiap perbuatan, termasuk merawat orang tua.
Sebaliknya, Islam menempatkan posisi seorang ibu dalam kemuliaan. Bahkan, pengibaratan surga berada di telapak kaki ibu menggambarkan betapa seorang ibu harus dimuliakan. Islam juga menjamin nafkah atas perempuan. Maka, jika seorang perempuan sudah tidak memiliki suami, sedangkan ia memiliki anak, maka kewajiban anak laki-laki adalah menanggung nafkahnya semampunya. Kemiskinan bukanlah alasan untuk melepaskan tanggung jawab berbakti kepada orang tua. Oleh karena itu, butuh adanya peran negara yang memastikan kebutuhan sandang, pangan, dan papan setiap warga negaranya. Jika negara abai, maka ke mana lagi hendak mengadu bagi rakyat yang kesusahan. Karena itu, Islam menempatkan pemimpin layaknya penggembala yang menjamin gembalaannya tidak mati kelaparan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)
Hanya sistem Islamlah yang mampu menuntaskan masalah kehidupan. Saatnya kaum muslimin menyadari bahwa masih ada harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, yaitu dengan kembali pada sistem yang menjaga berbagai naluri manusia, agar tidak mati akibat beratnya beban kehidupan akibat penerapan sistem rusak. Sistem tersebut adalah sistem Islam. Allahu a'lam.[]